Hidup di Dunia adalah untuk Hidup di Akhirat
Iman kepada hari akhir memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku dan amal seseorang. Karena iman kepada hari akhir menjadikan seseorang berprilaku lurus dan mendorongnya beramal dan bekerja untuk dunia dan akhiratnya sampai detik-detik akhir dari kehidupannya. Ia terus berusaha dan berjuang untuk memperbaiki kehidupan masa depannya di akhirat kelak.
Rasulullah SAW bersabda, “Jika hari kiamat datang sedangkan salah satu di antara kalian ada yang memegang bibit pohon kurma, jika ia mampu untuk menanamnya sebelum ia berdiri, hendaklah ia lakukan hal itu.” (HR Ahmad)
Ada sebagian ulama terdahulu masih saja menyempatkan diri membahas masalah-masalah fiqih dan keilmuan lainnya padahal ia sudah terbaring lemah di atas “dipan kematian.” Lalu dikatakan kepadanya, “Apakah dalam kondisi seperti ini kamu masih saja sempat melakukan hal ini?” Lalu ia berkata, “Bersama al-Mahbarah (tempat tinta, maksudnya tetap memiliki perhatian terhadap ilmu) sampai ke kuburan.”
Sesaat sebelum meninggal dunia, Muhammad bin Jarir ath-Thabari mendengar sebuah doa yang menarik hatinya. Lalu ia minta diambilkan tinta dan satu lembar kertas, lalu ia menulis doa tersebut. Lalu dikatakan kepadanya, “Apakah dalam kondisi seperti ini, kamu masih saja sempat melakukannya?’ Lalu ia berkata, “Seyogyanya seseorang tidak meninggalkan usaha mendapatkan ilmu sampai mati.”
Kesuksesan di dunia dan akhirat bergantung dari bentuk amal seseorang, Allah SWT berfirman, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli-Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS. An-Nisaa`: 123, 124)
Iman kepada hari akhir bukan berarti melupakan kehidupan dunia, karena Allah SWT berfirman, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)
Yang diminta adalah seseorang beramal untuk akhirat dengan memanfaatkan dunia dan membangunnya. Ia mengambil dari dunia apa yang bisa membantunya melakukan amal untuk akhirat. Ia bekerja di dunia mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya agar dirinya terhindar dari meminta kepada orang lain. Bahkan, ia dianjurkan untuk bekerja dan mengumpulkan harta untuk memberi kecukupan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya atau untuk membantu mencukupi kebutuhan orang fakir atau orang yang sedang butuh.
Rasulullah saw. bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah, tangan yang di atas adalah yang memberi sedekah sedangkan tangan yang di bawah adalah yang meminta sedekah.” (HR Bukhari Muslim)
Tidak masalah seseorang mengumpulkan harta dan memperkaya diri selama ia tetap mengeluarkan hak Allah di dalam harta tersebut (maksudnya zakat dan sedekah) dan selama hal itu tidak melalaikannya dari kewajiban agama. Sahabat Utsman bin Affan r.a. dan Abdurrahman bin ‘Auf r.a adalah termasuk hartawan di Madinah kala itu. Harta kekayaan mereka berdua dan harta kekayaan orang-orang seperti mereka berdua menjadi sumber bantuan bagi para fakir miskin ketika mereka sedang membutuhkan, juga menjadi sumber dana bagi militer Islam ketika keadaan ekonomi umat Islam sedang sulit.
Bila kita sedang bekerja, tanamkan pada diri kita bahwa kita akan hidup seribu tahun lagi. Namun, tanamkan pula bahwa kita akan mati besok sehingga kita menjadi ingat akhirat dan selalu berbuat baik dalam kehidupan. Setinggi apa pun karier kita, sekaya apa pun kita, kelak hanya amal yang akan menemani kita di dalam kubur.
Oleh sebab itu, jadilah kita manusia yang ikhlas dan istiqamah dalam beramal shaleh supaya Allah SWT ridha kepada kita. Seperti diungkapkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Tauhid Asmaa was Shifat yang menyebutkan bahwa masuknya seseorang ke surga adalah karena ikhlasnya dia beramal dan ridha-Nya Allah SWT kepada dirinya bukan oleh banyak-sedikitnya dia beramal. Wallahu’alam bisshawab. (w-islam.com)
Leave a Reply