Makna Tauhid dan Etos Kerja Muslim

Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk bekerja dan berusaha. Sampai Rasulullah pada suatu ketika memuji seorang sahabat yang mencari nafkah dengan mencari dan membelah kayu di hutan. Tangannya keras dan kaku, pakaian dan penampilannya begitu sederhana dan bersahaja. Itu dilakukannya setiap hari untuk menafkahi anak dan istrinya. Rasulullah menghampiri sahabat tersebut dan memegang tangannya seraya berkata, “Inilah tangan yang dicintai oleh Allah SWT..”

Demikian tingginya agama memberikan apresiasi kepada siapa pun yang melakukan kerja keras mencari rezeki yang halal, thayyib, dan berkah. Lebih dari itu, bekerja merupakan suatu lahan untuk menjadikan watak dan kepribadian manusia bersifat mandiri, tekun, teliti, peduli, berani, taat, dan bertanggung jawab.

Rasulullah sendiri dalam usia 8 tahun, suatu tingkatan usia yang sangat dini sudah bekerja menggembala kambing yang hasilnya diserahkan kepada pamannya untuk meringankan beban ekonomi dalam keluarga pamannya, Abu Thalib. Pada usia 12 tahun, beliau sudah diperkenalkan berwiraswasta oleh pamannya untuk berdagang ke negeri Syam.

Secara tidak langsung, didikan wiraswasta yang dilakukan pamannya menjadikan Muhammad menjadi seorang businessman sejati dan islami. Beliau memiliki kejujuran dan tanggung jawab yang sangat besar pada konsumen dan majikannya (Khadijah). Kejujuran dan tanggung jawabnya dalam berusaha menjadi kepuasan mitra bisnisnya. Karenanya beliau mendapat gelar dari masyarakat sebagai “al-Amin”, yaitu trusted man (orang yang dipercaya atau pandai menjaga amanah) dan responssibility (bertanggung jawab).

Keteladanan Rasulullah dalam bekerja patut dicontoh dan dijadikan teladan bagi seluruh aktivitas kita sehari-hari. Semangat kerja yang dilandasi dengan ketauhidan kepada Allah SWT semata akan melahirkan produktivitas yang dapat menghadirkan manfaat bagi dirinya, usahanya, dan orang lain.

Bagi dirinya, selain mendapatkan keuntungan duniawi, ia pun mendapat pahala dari Allah atas usahanya. Usahanya akan mendapatkan berkah dan kepercayaan dari orang lain sehingga perusahaannnya menjadi lebih dinamis. Sedangkan orang lain mendapatkan rasa puas dan senang karena mendapatkan pelayanan yang profesional. Yang pada akhirnya ia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Berdasarkan hal ini Uqbah bin Amir menceritakan kepada kita bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah kagum kepada seseorang yang menggembala kambingnya di atas gunung. Ia azan dan melaksanakan shalat. Allah berfirman, ‘Lihatlah oleh kalian (wahai malaikat terhadap) hamba-Ku itu! Ia azan dan shalat. Ia takut kepada-Ku. Aku mengampuni dosanya dan Aku akan memasukkannya ke dalam surga.’” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i, dan Ahmad)

Kisah yang diambil dari hadits qudsi tersebut memberi isyarat kepada kita agar dalam bekerja harus dibekali dengan keimanan yang kuat. Di mana pun kita berada dan bekerja, nilai-nilai tauhid ini harus tetap istiqamah (mantap) dan oprtimal. Dasar yang mendorong manusia untuk bekerja bukan hanya untuk mencari materi saja, melainkan berupaya untuk terus selalu meningkatkan semangat dalam beribadah kepada-Nya. Karena dalam Islam, bekerja juga salah satu bentuk ibadah.

Artinya yang membuat seseorang dekat dengan Allah bukan hanya shalat, puasa, dan lain sebagainya. Karena juga sebagai ibadah, pada saat kita bekerja sebenarnya Allah hadir di tengah-tengah kehidupan. Walhasil, jiwa orang yang dipenuhi oleh nilai-nilai tauhid, di jengkal bumi mana pun dia berada, dirinya akan selalu merasakan kehadiran Allah yang begitu dekat dalam hidupnya.

Ini yang mendorong hidupnya menjadi teratur, taat asas, penuh kemandirian, dan selalu didasari dengan perencanaan yang matang. Salah satu ciri orang bertauhid kepada-Nya adalah mereka yang dianugerahkan potensi untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Di samping itu, disebutkan juga salah satu karakter dasar mereka adalah selalu menjauhi perbuatan dan perkataan (perencanaan) yang tidak berguna. (Lihat surah al-Mu’minuun ayat 1-3).

Islam selalu menganjurkan dalam berusaha selayaknya mencari kepentingan dunia untuk kepentingan akhirat. Maksudnya adalah dalam bekerja harus diiringi dengan upaya berdoa meminta kebaikan amal dunia maupun akhirat. Anjuran ini terekam dengan jelas dalam firman-Nya,

“Dan di antara mereka ada yang berdoa, ’Ya Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka.’” (al-Baqarah: 201)

Makna kebaikan di dunia salah satunya adalah keseriusan kita dalam bekerja dengan target mewujudkan hasil dengan kualitas yang terbaik, bagi dirinya maupun lembaga atau perusahaan tempat ia bekerja. Kualitas terbaik bagi diri adalah penampilan, kejujuran, tanggung jawab, rasional, cerdas, cepat, akurat, disiplin, amanah, adil, dan sebagainya. Adapun kualitas bagi tempat kita bekerja adalah berupa produk atau jasa bagi orang lain agar terpuaskan hatinya.

Sedangkan makna kebaikan di akhirat merupakan harapan semua manusia untuk menjadi penghuni surga melalui pendekatan diri kepada Allah secara sungguh-sungguh. Introspeksi diri dilakukan setiap saat, berzikir kepada Allah dengan tekun setiap saat menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk mendapatkan kebaikan akhirat. Dengan pola seperti ini, secara tidak langsung kita senantiasa bertauhid kepada Allah ketika kita bekerja di mana pun kita berada.

Berangkat dari hal di atas, nilai-nilai ketauhidan yang mengisi kalbu kita ketika dalam bekerja akan mengantarkan kita ke jalan yang dapat mengantarkan diri semakin mendekat dengan Allah. Bahkan harta maupun karunia Allah lainnya akan lebih berkah dan mempunyai nilai kemaslahatan bagi keluarga maupun keturunannya di masa depan. Wallahu’alam. (w-islam.com)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>