Ramadhan bagi “Perawat Hati” Muallaf Masjid H. Karim Oei
Hiasan warna merah dan kuning yang mencolok langsung menyambut mata begitu memasuki Masjid Haji Karim Oei atau yang lebih dikenal dengan Masjid Lautze. Masjid yang banyak dikenal tempat bersyahadatnya muallaf keturunan Tionghoa ini memiliki berbagai pengalaman menarik khususnya para muallaf keturunan Thionghoa. Maka jangan heran jika 95% muallaf di sini adalah kalangan Thionghoa.
Adalah Yenci Liu, salah satu aktivis dakwah yang juga pembina para muallaf di Masjid Lautze mengungkapkan pengalamannya kepada hidayatullah.com. Usai shalat Tarawih, ia bercerita tentang suka-dukanya membina kaum muallaf di tempat ini. Menurut Yenci, muallaf yang datang ke tempat ini datang dengan beragam motif. Ada seorang ibu mengantar anaknya yang ingin mengetahui berbagai hal tentang Islam namun ia tidak ingin masuk Islam.
“Padahal ibu itu tidak ada keinginan masuk Islam. Dia hanya mensupport keingintahuan anaknya tentang Islam,”ulas perempuan ramah itu. Meski demikian, Yenci tidak bisa menolak keinginan orang yang memiliki keingintahuan besar terhadap agama Islam.
Di lain waktu ia dijumpainya seseorang yang diantar oleh pasangannya untuk masuk Islam dengan motif pernikahan. Kasus yang kedua ini menurut Yenci sering terjadi. Banyak pasangan datang ingin memeluk Islam karena alas an pernikahan. Namun masalahnya, justru beberapa kasus seperti ini sering menjadikan rumah-tangganya rapuh dan tidak bisa dipertahankan. “Banyak yang seperti itu walaupun ada juga yang datang dengan niat untuk benar-benar cari ilmu,”tuturnya.
Menurutnya, jika masuk Islam semata karena ingin menikah dengan Muslim, akan lebih mudah rapuh. Ketika rumah tangga terguncang, kemungkinan kembali pada agama semula lebih besar.
Hal itu pernah dialami oleh salah satu muallaf yang pernah berkonsultasi dengan Yenci. “Saat pernikahannya kandas, ia kembali lagi ke agama sebelumnya, ke Budha,”ungkapnya. Hanya dua tahun saja pernikahan mereka bisa dipertahankan.
Berpengalaman dengan kasus ini, Yenci selalu ingin berusaha mengantisipasi teman-temannya jika ada yang berkeinginan untuk murtad. “Kami berusaha kasih support supaya imannya tetap kuat. Tapi soal pernikahan, ini soal hati,” tuturnya.
Kejadian seperti ini pernah dialami temannya sendiri. Awalnya sang teman datangan ke Masjid yang terletak di jalan Lautze no. 87-89 itu seolah gigih bertanya tentang Islam. Ia menyatakan keinginannya belajar sebelum melangsungkan pernikahan.
Yenci masih mengingat sambungan telepon antara ia dan sang teman untuk membuat janji. “Kami juga SMS-an. Janjian di lokasi yang bisa diakses dari tempat kerjanya di Glodok,” ulasnya. “Karena keinginan belajarnya tinggi, Saya jabanin deh ketemuan,”ungkapnya.
Pertemuan berjalan sekitar dua bulan. Setiap seminggu sekali, mereka bertemu dan berdiskusi. Diskusi banyak membahas tentang tata cara shalat dan puasa. “Tapi saya lebih menekankan akidah, berharap dalam kondisi apapun, dia tidak mudah guncang,” jelasnya. Pasca masuk Islam dan tak lama setelah menikah-pun, perempuan itu masih menghubungi Yenci sekaligus menyatakan ketertarikannya belajar al-Quran dengan metode Iqro’. Namun, ia kaget mendengar pernikahan mereka berakhir kandas.
Yenci menyesalkan keputusan sang teman untuk keluar Islam. Belajar dari kasus semacam itu, akhirnya ia berusaha untuk menambah porsi materi akidah pada setiap muallaf yang mau belajar tentang Islam.
Konsep kekeluargaan. Meski sudah menjadi jamaah di sana sejak tahun 1994, Yenci mengaku baru intensif membina para muallaf secara personal sejak tahun 2008.
Perempuan yang pernah aktif di Himpunan Remaja Masjid H. Karim Oei (HIRKO) itu memaparkan perbedaan pembinaan muallaf di sana dengan masjid lainnya. “Masjid lainnya seperti Masjid Agung Sunda Kelapa menyediakan kelas setiap minggunya untuk para muallaf. Tapi hal itu sulit diterapkan di sini. Rata-rata muallaf di sini berprofesi sebagai karyawan dan wiraswasta. Mereka sibuk,” ungkap perempuan berusia 40 tahun itu.
Kelas pembinaan pernah dibuka. Sayangnya hanya berjalan beberapa kali saja. Selebihnya para muallaf itu lebih nyaman belajar secara personal dengan sang ustadz ataupun ustadzah yang ada di sana.
Selain itu, keberadaan para muallaf di Masjid yang berada di bawah naungan Yayasan Haji Karim Oei itu sangat bergantung dengan seberapa intens mereka mengadakan konsultasi. “Muallaf yang nyangkut di sini biasanya adalah orang-orang yang pernah konsultasi di sini,”ucap Yenci yang bersuamikan salah satu jamaah di sana.
Selain itu, mayoritas muallaf Tionghoa masih asing dengan Islam. Minimnya dukungan dari keluarga juga menjadi kendala tersendiri. “Bicara sama muallaf ini harus personal, dari hati ke hati. Terus kita pantau perkembangannya,”ucap mahasiswa semester empat LIPIA jurusan Syariah ini.
Konsep kekeluargaan yang dikedepankan membuat nyaman para muallaf itu. Peranan keluarga terhadap muallaf dinilai Yenci juga berpengaruh besar. Para tetua di Masjid Lautze menyediakan diri mereka sebagai mediator dengan keluarga muallaf. Harapannya, dengan diskusi kekeluargaan, mereka bisa menerima keputusan anaknya yang ingin memeluk Islam.
“Para tetua di sini nantinya akan menjelaskan bahwa mereka tidak perlu takut pada Islam. Islam itu agama rahmatan lil ‘alamin,” ujar Yenci menjelaskan sembari membalas sapaan dari jemaah. Citra adalah salah satu contoh muallaf yang menggunakan mediator terhadap keberhasilan proses bermuallafnya.
Awalnya, kabar keinginan pindah agama diterima ayah Citra dan kakak-kakaknya bagaikan petir disiang bolong. Citra dipanggil menghadapan. Lontaran pertanyaan mengenai keputusannya itu bertubi-tubi datang. Dalam pengakuannya, Citra mengatakan bahwa ia mencintai seorang pria Muslim. Selain motif cinta, ada gerakan dalam hatinya untuk mengenal Islam lebih dalam.
Tidak mudah meluluhkan hati keluarganya. Berbagai argumentasi yang bersifat menentang, sempat membuat hatinya galau.
Citra tak hilang akal. Ia menggunakan mediasi dari sesama muallaf, seorang teman sekantornya berkebangsaan Canada sudah menjadi Muslim lebih dulu. Ia berbicara di hadapan keluarga Citra tentang berbagai hal positif mengenai Islam.
Mediasi itu mempengaruhi pemikiran keluarga sedikit demi sedikit. Meski begitu, tidak serta merta keluarganya luluh begitu saja terhadap keinginan Citra berislam. Ada toleransi bersyarat yang diberikan. “Awalnya cici-cicinya (kakak-kakak perempuan) menentang. Tapi melihat kesungguhan Citra, mereka membolehkannya memeluk Islam asalkan tidak shalat di rumah,”ungkap Yenci.
Kemudian masih ada lagi, “Mamanya Citra sudah meninggal. Sebagai penghormatan pada arwah mamanya, cici-cicinya minta supaya Citra tidak shalat di rumah.”
Citra memaklumi hal itu. Akhirnya, shalat Subuh dilakukannya secara berjamaah di rumah tetangganya. Sedangkan shalat empat waktu lainnya lebih mudah dikerjakan karena ia masih berada di kantor.
Belum selesai urusan keluarga sendiri, Citra harus mengalami penolakan dari pihak keluarga calon suaminya. Darah yang mengalir dalam dirinya sebagai warga keturunan dipermasalahkan.
Akhirnya, merasa menemui jalan buntu dalam menggapai hidayah, Citra putus asa. Apalagi ketika orangtua pria sudah menyiapkan satu nama perempuan yang siap disandingkan sebagai pengganti posisi Citra. “Setiap bertemu dia, saya selalu menekankan padanya, walaupun jatuh bangun, tetaplah bergantung hanya pada Allah,”ungkapnya.
Butuh waktu sekitar dua tahun untuk bisa mencairkan persepsi tentang ras. Seiring berjalannya waktu, keluarga pihak pria bisa menerima kehadirannya. Akhlak dan kesabaran yang dikedepankan, membuat Citra akhirnya diterima. Bulan Juni tahun ini, pernikahan yang sejak lama diimpikan terlaksanakan dengan baik.
Masalah Aurat dan Finansial
Menutup aurat secara syar’i merupakan tantangan lain bagi seorang muallaf. Citra sendiri baru leluasa berjilbab setelah menikah. “Sebelumnya, selama di luar rumah, ia berjilbab. Begitu pulang kerumah, jilbab ia lepas,”tutur Yenci. Bertahun-tahun hal ini dilakukan Citra karena ua masih memikirkan perasaan keluarganya dan tidak ingin tercetus polemik.
Menurut Yenci, bagi seorang muallaf, ada tahapan spiritual yang perlu dijalani dengan penuh kesabaran. Ia akhirnya mafhum melihat para muallaf yang belum bisa menggunakan jilbab. Bagi Yenci, setiap kasus para muallaf yang ditanganinya selalu menyisakan pelajaran berharga. “Ternyata kalau kita gigih mengejar Allah melalui Islam, maka jalan kita akan dipermudah,” tuturnya.
Menurutnya, kalangan muallaf seperti tumbuhan yang terus menerus harus disirami. Karena itulah perlu pendekatan personal. Kalau tidak begitu, spiritual yang masih labil, mudah terguncang. Resiko terbesar mereka keluar Islam dan kembali lagi ke agama asalnya. Karenanya, selama tiga kali dalam sebulan Yenci rutin mengunjungi Lautze.
Selain itu masalah besar lainnya adalah tunjangan ekonomi bagi mereka. Tidak semua muallaf Tionghoa merupakan orang yang mampu secara finansial. “Ada juga yang harus berjuang dengan keterbatasan karena setelah bersyahadat ia langsung dijauhi oleh keluarganya,”ungkapnya.
Yenci mengakui perlu adanya divisi tersendiri untuk mengurusi hal ini. Namun sementara ini para muallaf di tempat ini mengeluarkan dana dari kocek pribadi. Mereka saling membantu demi hidayah yang harganya dinilai begitu mahal ini. Yenci berharap, Ramadhan ini bisa memberi keberkahan pada dirinya untu bisa istiqamah membina dan mendampingi para mulallaf. (sumber: hidayatullah.com/29/7/2013)
Leave a Reply