Quran Bukan Hanya untuk Orang Arab
Al-Qur’an adalah kitab suci dan sumber utama ajaran Islam yang bersifat universal dalam hal waktu dan tempat. Al Qur’an diturunkan selama kehidupan Nabi Muhammad SAW yang ditulis dalam bahasa Arab namun untuk tujuan universal. Target audiens Al-qur’an adalah seluruh umat manusia, tanpa memandang bahasa mereka atau bahkan agama.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABeL) UIN Sunan Kalijaga Ahmad Rafiq, Ph.D. di Yogyakarta, Senin (30/9/2014).
“Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Meskipun bahasa Arab bukanlah bahasa rakyat negeri ini, mereka memahami al-Qur’an sebagaimana penduduk Muslim lainnya di seluruh dunia, dan menempatkannya dalam konteks kebutuhan dan situasi lokal mereka”.
Pada kesempatan diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerjasama dengan AIFIS (American Institute for Indonesian Studies), Rofiq membeberkan disertasinya berjudul “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community.”
Dalam kesempatan tersebut, Rafiq menjelaskan bahwa dalam konteks masyarakat Banjar sebagai penghuni utama Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan, mereka menerima al-Qur’an sebagai teks tertulis maupun non-tertulis (pembacaan).
Lebih lanjut, Al-Qur’an menjadi bagian dari kehidupan warga Banjar yang bersifat ekstensif. Al-Qur’an hadir dalam berbagai sisi kehidupan warga Banjar, sejak lahir sampai ke liang kubur. Untuk menjembatani hambatan bahasa, warga Banjar membaca al-Qur’an sebagai bagian dari ritual zikir.
Ritual ini menekankan pada tradisi lisan yang dianggap sebagai cara untuk mengundang berkah, penghargaan, dan nilai-nilai kesalehan Al-Qur’an.
“Warga Banjar menilai bahwa setiap bagian dari Al-Qur’an yang dibaca akan berharga dan berkhasiat untuk memenuhi kebutuhan material dan rohani,” katanya.
Sementara itu, Mukhlis Rahmanto, Lc., M.A., dosen Fakultas Agama Islam UMY, yang menjadi pembahas dalam forum tersebut memaparkan bahwa penemuan dalam disertasi Ahmad Rafiq menjelaskan tentang praktek kaum Muslim peri-peri yang tinggal jauh dari pusat perkembangan Islam di Makkah dan Madinah. Dalam konteks ini, masyarakat Muslim peri-peri tidak lagi mempertimbangkan apakah praktek yang mereka lakukan itu memiliki rujukan yang shohih atau tidak. (sumber: islampos/1/10/2014)
Naskah Terkait Sebelumnya :
- 52 Persen Warga Jerman Sebut Islam Bukan Bagian dari Negaranya
- Bolehkah Kita Memohonkan Ampun untuk Orang Kafir?
- Empat Bonus Istimewa untuk Orang yang Berinteraksi dengan Al-Quran
- OKI dan Liga Arab: Akhiri Serangan Israel dan Bantu Warga Gaza
- Program Hafal Al Quran untuk PNS Rokan Hulu Terus Dilakukan
Indeks Kabar
- Ilustrasi Koran “Garuda Sobek Bendera Tauhid” Tuai Kecaman
- Penghimpunan Baznas Selama Ramadhan Lampaui Target
- Belanda Ancam Tutup Masjid Jika Imam Katakan Homoseksual Kejahatan
- Pebasket Muslimah Amerika Ini Gugat FIBA Cabut Larang Jilbab
- Heboh “Video Kristenisasi”: “Kenapa Ibu Pakai Kerudung Disuruh Percaya Tuhan Yesus?”
- Jamaah Dua Masjid di Birmingham Diserang Tembakan Ketapel
- Tidak Ada Masjid, Muslim Washington Shalat Id di Gereja
- PP Muhammadiyah: Jangan Menafikan Peran Ormas Islam Lain
- Ustaz Adi Hidayat Hadiahi Umrah untuk Lalu Zohri
- Subhanallah, 20 Pekerja Asing dari Filipina Nyatakan Memeluk Islam selama Ramadhan Ini
-
Indeks Terbaru
- Lebih dari 16.000 Madrasah di Uttar Pradesh India Ditutup
- Selamat Idul Fitri 1445 H, Mohon Maaf Lahir-Batin
- Baznas Tolak Bantuan Palestina dari McDonald’s Indonesia
- Malam Lailatul Qadar, Malaikat Berhamburan ke Bumi
- Puasa Ramadhan Menghapus Dosa
- Paksa Muslimah Lepas Hijab saat Mugshot, Kepolisian New York Ganti Rugi Rp 278 Miliar
- Dari Martina Menjadi Maryam, Mualaf Jerman Bersyahadat di Dubai
- Al Shifa, Rumah Sakit Terbesar di Gaza Dihabisi Militer Zionis
- Tiga Macam Mukjizat Alquran
- Prof Maurice, Ilmuwan Prancis yang Jadi Mualaf Gara-Gara Jasad Firaun
Leave a Reply