Strategi Anti Terorisme Yang Digagas Amerika Dinilai Telah Gagal
Indeks terorisme global mencatat naiknya serangan teror dan rekor jumlah korban tewas di seluruh dunia. Statistik menunjukkan strategi yang dijalankan saat ini tidak berfungsi, demikian tinjauan Grahame Lucas dikutip DW.DE.
Serangan yang dilancarkan Al-Qaidah pada 2001 terhadap Amerika memicu balasan berupa “perang melawan teror” yang digagas presiden Amerika Serikat (AS) saat itu George W. Bush. Dilihat dari perspektif saat ini, 13 tahun setelah dilancarkannya aksi tersebut, nyatanya perang melawan teror gagal menghentikan aksi teror.
Sebaliknya, indeks terorisme global menunjukkan, aksi terorisme justru meningkat drastis ke tingkat amat mencemaskan. Tahun 2013 tercatat 10.000 kali serangan teror yang menewaskan 18.000 orang. Jika disimpulkan, perang melawan teror ternyata menciptakan lebih banyak teror.
Dalam indeks juga disebutkan, 80 persen organisasi teroris bisa dilumpuhkan, dengan menjalin kesepakatan politik yang bisa diterima banyak pihak. Hanya 10 persen organisasi teroris menghentikan aksinya karena mereka telah mencapai target yang digariskan.
Yang lebih menarik, hanya tujuh persen aksi terorisme yang berhasil ditumpas dengan intervensi militer. Prestasi yang rendah itu, juga mempertimbangkan ongkos yang harus dibayar, berupa korban jiwa.
Data memberikan kesan kuat, bahwa negosiasi dan partisipasi harus menjadi program utama dalam memerangi terorisme. Tapi di sejumlah negara, aksi militer atau paramiliter tetap menjadi opsi utama dari reaksi pemerintah.
Masalahnya, di zaman perang asimetris ini, kelompok milisi bersenjata juga mampu mengalahkan militer yang terorganisir rapi.
Caranya dengan mempublikasikan serangan-serangan yang sukses lewat dunia maya, dan menghindari perang frontal dimana militer bisa meraih kemenangan. Contoh paling tegas adalah gagalnya misi militer barat di Afghanistan menghadang Taliban.
“Di sini, dilema terlihat nyata. Negosiasi tidak akan menghasilkan apapun. Sebab solusi pragmatis tidak punya peluang menang melawan ideologi islamis. Juga aksi militer mustahil sukses. Paling banter, aksi militer semacam itu hanya bisa menahan sementara bukan mengalahan ideologi ini, ujar Grahame Lucas, pimpinan redaksi South-East Asia DW. (sumber: hidayatullah/29/12/2014)
Naskah Terkait Sebelumnya :
Indeks Kabar
- MIUMI Aceh: Pemerintah Pusat Harus Larang Kontes Miss Indonesia
- Ikadi Serukan Medsos untuk Dakwah
- MUI, TPM, dan Ormas Islam Sepakat Bawa Kasus The Jakarta Post ke Ranah Hukum
- Jumlah Umat Islam di Italia Meroket dari 2.000 Menjadi 2 Juta Orang
- Populasi Muslim Eropa Tumbuh Pesat Meski Imigrasi Dihentikan
- Pesan Natal Presiden Ceko Berisi Penolakan terhadap Pengungsi
- 11 Ribu Muslim Amerika Tunaikan Ibadah Haji
- Peran Muslim Inggris Bantu Atasi Krisis Covid-19
- Di Washington, Sejumlah Bus Edarkan Iklan Anti Islam
- Yang Tuduh Islam Anti-Pancasila, Harus Belajar Sejarah
-
Indeks Terbaru
- Belajar dari Imam Masjid Buat Ben Jadi Mualaf
- Uskup Agung Yunani Menghina Islam, Bilang Islam Bukan Agama
- Lebih dari 32 Orang Tewas dalam Pemboman Kembar di Ibu Kota Iraq, Baghdad
- Dewan Muslim Los Angeles Apresiasi Gerak Cepat Joe Biden
- Musibah Banjir Kalimantan Selatan: 63 Ribu Orang Mengungsi, 110 Rumah Ibadah Terendam
- Penutupan Masjid Picu Protes Wali Kota Montmagny Prancis
- Prancis Menutup Banyak Masjid Jelang Debat ‘RUU Separatisme’ yang Kontroversial
- Diyanet Turki Kritik Uskup Agung Athena yang Hina Islam
- Syekh Ali Jaber Berpulang
- Kelompok Hak Asasi Rohingya Desak Facebook Memblokir Kampanye Online Militer Myanmar
Leave a Reply