Sentimen Anti-Islam Meningkat Pasca Serangan Charlie Hebdo
Unjuk rasa anti-Islam di Amerika Serikat muncul kembali Januari tahun ini setelah ‘diam’ seketika setelah kejadian serangan terhadap kantor Charlie Hebdo di Paris, demikian kata Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam satu pernyataan terbaru.
Organisasi berbasis di Jeddah itu mengatakan beberapa masjid diancam, sementara kebijakan kontroversial memantau ketat gerakan masyarakat Islam yang dilaksanakan sejak kejadian serangan 11 September di Amerika, memperoleh pembenaran baru untuk ditingkatkan, demikian dikutip Kantor Berita Bernama.
Menurut OKI, media Amerika memberikan fasilitas serta ruang berkampanye kepada pihak yang membenci Islam seperti Bill Maher dan Salman Rushdie, sementara rakyat Amerika memandang dengan penuh kecurigaan terhadap kebijakan yang dianggap ‘ramah Islam’.
OKI mengatakan umumnya, Islamophobia di Prancis agak hangat setelah tragedi Charlie Hebdo ketika tiga pria bertopeng melepaskan tembakan terhadap kantor majalah itu pada 7 Januari, yang merenggut nyawa 12 orang dan menyebabkan tiga lagi cedera parah.
Turut terbunuh – editor majalah itu, Stephane Charbonnier, dan tiga kartunis terbaiknya.
Sebagaimana diketahui, Charlie Hebdo terkenal karena menyiarkan karya sindiran yang mengkritik politisi, dan semua agama.
OKI mengatakan, pendirian Presiden Prancis, Francois Hollande ketika menanggapi tentang kondisi kritis di negara itu, patut diberi perhatian, terutama tentang sikap beliau terhadap pendatang beragama Islam.
Menurut organisasi itu, dalam argumennya, Hollande mengatakan, hak minoritas terbela bukan melalui penyerapan agama ke dalam pemerintah, tetapi karena adanya negara sekuler, yang memberikan layanan sama rata kepada semua agama.
“Prancis memicu gelombang besar ketika presidennya menempatkan sentimen anti-Islam setara dengan anti-Semitisme,” kata pernyataan itu.
Sementara itu, Vatikan kini begitu aktif menunjukkan penentangannya terhadap cara yang tidak benar dalam mengamalkan kebebasan berekspresi, termasuk perbuatan media Barat yang menggunakan lukisan kartun bagi mempersenda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
OKI mengatakan, di Eropa, perdebatan secara ekstrim tentang kebebasan menyuarakan pendapat terkait batas dan caranya, menyebabkan semakin meningkatnya sentimen anti-Islam.
Katanya, pendapat orang banyak dibayangi ide bahwa kebebasan berekspresi adalah ‘harga tetap’ bagi masyarakat Eropa dan oleh itu, tidak bisa ada setiap ruang untuk dinegosiasikan dengan ‘ideologi lain’, termasuk Islam.
OKI mengatakan, di negara tertentu, burqa, niqab dan cadar mulai menjadi mode pakaian wanita Islam, tetapi di negara lain, pakaian itu dianggap mengancam dan melanggar hukum negara. (sumber: hidayatullah)
Naskah Terkait Sebelumnya :
Indeks Kabar
- rdogan: Muslim tak akan Menyerah Lawan Islamofobia
- Ulama Muslim Dunia Serukan Kebangkitan Kaum Muslim
- Cegah HIV/AIDS, 100.000 Pria Mozambique akan Disunat
- Pesat, Perkembangan Sekolah Islam Terpadu
- Kristolog: Kajian Perbandingan Agama Dilindungi Undang-Undang
- Prancis Siapkan UU Anti-Zionis dengan Anti-Semit, Tapi Anti Islam Tidak
- Deddy Mizwar: “Saya Lebih Baik Kehilangan Jabatan daripada tak Bisa Membela Kesucian Al-Qur’an”
- Ikadi: Tantangan Umat Islam Sangat Banyak
- Jelang Pilpres, Aa Gym Imbau Masyarakat Jaga Ukhuwah
- Rapper Muslim Perbaiki Citra Islam Lewat Musik
-
Indeks Terbaru
- Lebih dari 16.000 Madrasah di Uttar Pradesh India Ditutup
- Selamat Idul Fitri 1445 H, Mohon Maaf Lahir-Batin
- Baznas Tolak Bantuan Palestina dari McDonald’s Indonesia
- Malam Lailatul Qadar, Malaikat Berhamburan ke Bumi
- Puasa Ramadhan Menghapus Dosa
- Paksa Muslimah Lepas Hijab saat Mugshot, Kepolisian New York Ganti Rugi Rp 278 Miliar
- Dari Martina Menjadi Maryam, Mualaf Jerman Bersyahadat di Dubai
- Al Shifa, Rumah Sakit Terbesar di Gaza Dihabisi Militer Zionis
- Tiga Macam Mukjizat Alquran
- Prof Maurice, Ilmuwan Prancis yang Jadi Mualaf Gara-Gara Jasad Firaun
Leave a Reply