Karena Mimpi, Orang Ini Putuskan Jadi Muslim

Beberapa orang yang masuk Islam lebih suka menyebutnya sebagai pengembalian, karena semua orang secara alami lahir dalam keadaan Islam, tunduk kepada kepada ajaran Allah. Kasus saya ini lebih sulit dan rumit dua kali lipat dari yang lainnya.

Orang tua saya masuk Islam tidak lama sebelum saya lahir, namun karena saya tidak dibesarkan dengan penjelasan yang jelas bahwa saya harus menjadi seorang Muslim, saya tidak menerima Islam sampai saya menghabiskan waktu untuk mencari kebenaran.

Saat anak-anak saya sempat merasakan praktek-praktek ajaran Islam seperti puasa Ramadhan, tapi setelah ayah saya meninggal ketika saya berumur lima tahun, ibu saya menjadi berubah. Saat saya berumur 13 tahun, dia melarang saya untuk melaksanakan sholat. Padahal saya sudah menunggu sampai umur saya sudah cukup tua untuk menentukan agama yang harus saya yakini.

Pada usia 16 tahun, ibu saya menikah lagi dengan pria Mesir dan saya tinggal bersama mereka di London selama dua tahun. Saat itu saya merasa bahwa saya perlu mengidentifikasi, menjelaskan dan membenarkan tujuan hidup saya. Saya mulai membaca buku filosofi milik ayah saya. Ada begitu banyak buku, diantaranya buku prinsip logika, bahasa, makna, dll.

Pendekatan saya dalam membaca buku adalah sampai saya merasa bahwa saya tidak bisa lagi menerima apa yang diusulkan oleh ibu saya. Oleh karena itu saya membaca banyak sekali buku.

Jalan Filsafat

Saya sangat ingat sebuah buku berjudul “Ajarilah Diri Anda dengan Filsafat”, halaman awal buku itu dimulai dengan mengatakan bahwa studi filsafat bukan untuk menemukan jawaban, tetapi dengan melaluinya kita bisa menikmati menjelajahi pertanyaan. Aku benar-benar tidak berpikir bahwa sikap ini adalah cara yang sehat untuk membantu saya mencari kebenaran.

Setelah membaca beberapa buku dan menanyakan beberapa pertanyaan tentang Islam kepada orang lain, saya menemukan bahwa saya benar-benar tidak bisa menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan saya. Saya mengambil bentuk filosofi untuk hidup saya dan saya menyimpulkan bahwa saya adalah seorang agnostik yang tujuan dalam hidupnya adalah untuk melanjutkan proses penemuan alam semesta.

Sampai usia 21 tahun, saya mengikuti filosofi ini dengan tulus. Pada saat itu, ketika saya sedang belajar di University of Manchester, motivasi saya mulai tergelincir. Saya menemukan diri saya, meskipun saya yakin akan keakuratan evaluasi saya tentang bagaimana dunia ini dan bagaimana kehidupan ini dapat menerjemahkan ke dalam motivasi untuk bertindak. Hidup hanya lebih mudah jika saya mengikuti berbagai kegiatan kesenangan. Jadi bagaimana jika tujuan hidup adalah untuk belajar? Mengapa saya harus bekerja ? Hal inilah yang membuat motivasi saya surut, begitu pula hasil akademis saya. Jadi di liburan musim panas, saya memutuskan untuk meninjau filosofi hidup saya.

Dalam upaya untuk menghindari pengaruh dari pertimbangan emosional, saya memutuskan untuk pergi ke Jerman tahun ini. Saya tinggal sendiri di Hamburg. Selama ini, saya bergumul dengan beberapa pertanyaan dan berusaha untuk mencapai beberapa jawaban. Dalam proses ini, saya mengalami mimpi yang sangat mendalam.

Mimpi yang Mendalam

Saya sedang duduk dengan sekelompok orang di tanggul yang menghadap dataran terbuka. Di kaki tanggul terdapat satu set jalur kereta yang membentang dari kejauhan terlihat trek itu bergerak ke kiri dan kanan, secara singkat kami menuruni trek. Ketika kami duduk di tepi, kami berdebat apakah ini rel kereta api atau bukan, karena tidak pernah ada satu kereta pun yang menghampiri kami. Setelah beberapa saat, satu orang dalam kelompok ingin menunjukkan keyakinannya bahwa ini bukan rel kereta api dan tidak akan ada kereta yang akan datang. Jadi dia duduk sendiri di tengah rel itu.

Beberapa saat kemudian, sebuah kereta besar datang dan bergerak dengan cepat di sepanjang rel, kemudian dalam beberapa saat kereta itu menghilang ke kejauhan. Kaget, saya pun pergi mencari orang yang begitu percaya diri dalam pernyataannya bahwa tidak akan ada kereta yang datang. Orang itu telah menghilang, kereta telah menabraknya dan pergi ke kejauhan. Saya kembali ke yang lain duduk di tanggul. Mereka mulai berbicara satu sama lain, dan sekarang mereka sudah memiliki bukti atas pertanyaan, apakah kereta benar-benar ada atau tidak mungkin ada?.

“Apa kau tidak melihatnya?” saya bertanya, kagum pada mereka.

“Mungkin, tapi kita tidak bisa melihat apa-apa sekarang, jadi kita tidak bisa yakin bahwa ini benar-benar rel kereta api atau bukan,” jawab mereka.

“Bagaimana dengan orang yang sedang duduk di atas rel?” saya bertanya lagi.

“Saya tidak bisa melihat dia sekarang” jawab salah satu dari mereka.

“jadi bagaimana saya tahu kalo dia pernah ada? Buktikan kepada saya!” Mereka melanjutkan perdebatan, saya putus asa atas penolakan jelas mereka, mereka menilai sesuatu adalah fakta apabila sesuatu itu terus berada di depan mata mereka sepanjang waktu.

Pada saat itu saya terbangun, dan menyadari bahwa mimpi ini mencerminkan diskusi sia-sia dari para filsuf, dan saya telah menghabiskan begitu banyak waktu dalam mengamatinya. Saya menyadari bahwa kadang-kadang kepastian berasal dari peristiwa tunggal yang tidak bisa diulang. Mimpi menggema kuat situasi seseorang. Percaya akan Tuhan belum dapat membujuk orang lain untuk percaya akan keberadaan Tuhan, dan sesungguhnya tidak akan ada yang mampu membuktikan wujud Tuhan dan tempat tinggal-Nya. Tuhan tak terlihat tetapi ada bukti yang jelas bagi mereka yang mengetahuinya.

Sebagai akibat dari mimpi dan refleksi lainnya, saya teringat do’a yang pernah saya panjatkan saat pertama kali saya memutuskan untuk mencari kebenaran “Tuhan, jika Anda ada maka bimbinglah saya”.

Menemukan Jalan yang Benar

Selama beberapa bulan saya terus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikiran saya tentang kehidupan, Tuhan, wahyu dan pertanyaan yang lainnya. Salah satu masalah yang sangat penting adalah perlunya wahyu dalam membimbing seseorang untuk berperilaku baik. Akhirnya saya menyadari bahwa bagi sebagian orang untuk mencapai perilaku yang baik, mereka belajar dengan tulus dan serius, termasuk mencoba belajar dari perilaku yang benar dan yang salah, mereka terlebih dahulu harus menerima kebutuhan moral dalam melakukannya. Wahyu memang diperlukan untuk alasan ini. Tapi tidak ada hubungannya dengan apa yang harus kita lakukan.

Berusaha untuk mencapai pemahaman yang baik tentang apa yang benar dan yang salah, moral kita sendirilah yang dapat menentukannya. Jadi kita memiliki dua kemungkinan yang jelas, yaitu menerima moral yang benar atau menerima moral yang salah dan semua itu akan dipertanggung jawabkan di hari kemudian, atau menyangkal bahwa ada pertanggung jawaban moral dan kemudian tidak perlu berusaha mengarahkan hidup Anda untuk melakukan moral yang baik. Itu adalah kedua posisi yang memperkuat diri.

Putuskan Jadi Muslim

Atas dua pemahaman yang saling bertolak belakang ini, saya memutuskan bahwa sebagai manusia, kita tidak bisa membiarkan kehidupan ini hanya berakhir menjadi sia-sia. Saya menyimpulkan pada suatu malam bahwa saya percaya pada Tuhan, bahwa berdasarkan apa yang saya tahu dari berbagai agama, Islam jauh lebih masuk akal daripada sistem kepercayaan lainnya. Saya menuliskan kesaksian iman (dua kalimat Syahadat) pada beberapa kertas dan menandatanganinya. Dan Saya sekarang adalah seorang Muslim.

Selama sebulan saya membaca Al-qur’an dengan sikap “Jika saya tidak dapat menemukan apa pun di sini maka saya akan tetap dengan itu. Masih ada sesuatu yang bisa diperdebatkan”. Seperti yang saya baca, saya menjadi semakin yakin atas keputusan saya dan saya tidak menemukan sesuatu yang membuat saya ragu. Selama bertahun-tahun saya terus berpikir hati-hati tentang semua yang saya terima.

Kadang-kadang, saya membuat kesalahan, saya mengerti bahwa hidup adalah proses pembelajaran. Kesalahan adalah pengalaman yang membuat kita semakin maju. Kuncinya adalah harus belajar yang baik, dengan pemikiran yang baik, dengan mengakui bahwa menjadi baik harus diikiuti dengan moral. Memiliki moral mengharuskan kita untuk percaya bahwa Allah adalah hakim di hari akhir yang akan menghitung moral baik yang pernah dilakukan.

Hidup saya telah berubah dan saya tidak akan pernah melihat kembali ke belakanga, sejak saya mengatakan “Alhamdulillah Saya seorang Muslim” (sumber: onislam/islampos)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>