Ucapkanlah Kalimat Thayyibah

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang berbicara dengan kalimat yang disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat di surga. Sementara seorang hamba yang berbicara dengan kalimat yang dibenci Allah, niscaya Allah akan menjerumuskannya ke dalam neraka Jahanam.”

Dalam hadits Nabi tersebut terdapat anjuran dan peringatan, yaitu anjuran untuk berbicara dengan ucapan baik dan peringatan terhadap perkataan yang buruk. Di dalamnya juga terdapat “timbal balik” yang bijaksana antara anjuran dan peringatan.

Timbal balik tersebut menerangi jalan orang yang beriman dan mendorong supaya ia memilih sesuatu yang memberatkan timbangan di sisi Tuhan pada saat hari perhitungan.

Tidak ada yang lebih utama dan mulia di sisi Tuhan dan para dai daripada kalimat thayyibah (baik). Kalimat thayyibah merupakan kunci dan jalan kasih sayang di antara hati orang-orang yang beriman, serta sebagai pelumas yang dapat mengendurkan atau melunakkan pendengaran dan perasaan (hati). Kalau begitu, tidak mengherankan –sebagaimana yang disinyalir oleh hadits di atas– apabila seorang yang beriman berbicara dengan kalimat yang baik, maka Allah akan mengangkatnya beberapa derajat dan mengganjarnya dengan pahala yang paling baik.

Allah adalah baik, Dia tidak menerima melainkan sesuatu yang baik. Allah berfirman dalam Kitab-Nya, “…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia…” (Al Baqarah: 83)

Apabila kalimatnya benar secara isi dan riil, maka ia termasuk kebaikan yang diridhai dan diganjar pahala oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (Faathir: 10)

Rasulullah menganggap keistiqamahan lisan merupakan salah satu bagian dari pekerti iman, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya, “Iman seorang hamba tidak akan lurus (istiqamah) sehingga hatinya lurus, dan hatinya tidak akan lurus sehingga lisannya lurus (istiqamah).”

Beliau juga bersabda, “Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat keimanan sehingga ia menyimpan lisannya.”

Dalam sebuah atsar yang mulia disebutkan, pada suatu hari Aswad bin Ashram Al Muharibi mendatangi Rasulullah dan berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, wasiatkanlah kepadaku!”

Beliau menjawab, ‘Apakah kamu menguasai lisanmu?” Aswab bertanya, “Apa harapanmu bila aku tidak menguasai lisanku?”

Beliau menjawab, ‘Apakah kamu menguasai tanganmu?” Aswab bertanya lagi, “Apa harapanmu bila aku tidak menguasai tanganku?”

Lalu beliau bersabda, ‘Janganlah kamu berkata dengan lisanmu kecuali kebaikan, dan jangan kamu bentangkan tanganmu kecuali hanya untuk kebaikan.”

Sebagaimana Rasulullah menganjurkan berkata dengan baik (kalimat thayyibah) dan menunjukkan bahwasanya kalimat thayyibah adalah jalan untuk mencapai keridhaan Tuhan alam semesta, beliau juga melarang berkata buruk.

Beliau menjelaskan, “kalimat buruk” dapat mengundang kemurkaan Allah. Kalimat buruk adalah jalan menuju pertentangan dan permusuhan, serta ia merupakan jalan yang menutupi hati dengan kebencian. Ia juga bertentangan dengan pekerti keimanan, di mana bagi seorang yang beriman wajib menghiasi dirinya dengan kalimat thayyibah.

Seorang hamba terkadang berucap dengan kalimat yang buruk, padahal ia tidak menyadarinya. Yang demikian menyebabkan ia terjerumus ke lubang Jahanam yang dikelilingi oleh adzab yang pedih.

Dalam riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya seorang laki-laki yang berbicang dengan kalimat yang sudah jelas kandungannya (buruk), niscaya ia akan terjerumus ke dalam neraka yang kedalamannya lebih jauh antara jarak timur dan barat.”

Oleh karena itu lisan adalah jalan untuk menuju ke surga atau neraka. Barangsiapa yang menghendaki keridhaan Tuhannya, maka jagalah lisannya dari keburukan dan bergaullah dengan moral yang baik.

Jembatan untuk menuju ke sana adalah kalimat thayyibah, yaitu sebagai langkah untuk mengingat Allah, menasihati orang lain, memerintah berbuat kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran, dan sebagai panutan dari sabda Nabi kepada Mu’adz bin Jabal ra, yaitu: “Sesungguhnya kamu tidak serta-merta menjadi selamat akibat berdiam. Maka apabila kamu berbicara, niscaya ditulis baik atau buruk bagimu.”. (sumber: hidayatullah/Athiyah Raja’i “Di Bawah Asuhan Nabi SAW”)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>