Ini Pokok-pokok Pembahasan Revisi UU Terorisme

Pembahasan Revisi Undang-undang (RUU) Terorisme saat ini mencapai tahap persiapan pembentukan panitia khusus (pansus) di DPR RI. Nantinya, pansus tersebut akan diisi oleh perwakilan fraksi dari Komisi I dan III yang berjumlah sekitar 30 orang.

“Sudah diserahkan pada pertengahan masa sidang yang lalu. Sekarang lagi reses, nanti setelah masuk pada awal April akan dilanjutkan prosesnya,” ujar Asrul Sani, anggota Komisi III DPR saat menjadi pembicara pada diskusi tentang terorisme di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, Rabu (23/03/2016).

Terkait RUU Terorisme tersebut, kata Asrul, ada tujuh poin yang akan dibahas. Pertama, soal finalisasi yang disebut pemerintah sebagai bentuk-bentuk tindak terorisme.

Misalnya, menyimpan bahan-bahan peledak, atau keikutsertaan pelatihan militer baik di dalam maupun luar negeri, yang itu kemudian menimbulkan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindakan terorisme.

Kedua, pemberatan sanksi atau hukuman tindak terorisme. Khususnya tentang pemufakatan jahat percobaan melakukan tindak terorisme dan perbuatan membantu tindakan terorisme.

Organisasi Bisa Disanksi

Poin selanjutnya, perluasan sanksi. Tidak hanya terhadap orang per orang, tapi juga terhadap korporasi atau badan hukum yang mencakup perusahaan, yayasan, atau organisasi apapun.

“Jadi konteks badan hukum di sini sangat luas. Dan kalau dalam suatu badan hukum ada anggotanya yang terindikasikan tindak terorisme dan seandainya dia menjadi tersangka, hukumannya tidak hanya kepada individu. Tapi juga bisa kepada badan hukum itu sendiri, sanksinya bisa dikenakan pembubaran atau pembekuan,” jelas Asrul.

Keempat, soal introduksi atau penetapan sanksi-sanksi pidana tambahan, berupa pencabutan kewarganegaraan atau pencabutan paspor.

“Sebetulnya kalau pencabutan paspor sudah ada di undang-undang kewarganegaraan, tapi di revisi undang-undang ini, pencabutan status kewarganegaraan juga akan dilakukan jika melakukan tindak terorisme,” paparnya.

Kelima, penambahan kewenangan penegak hukum untuk melakukan pencabutan kewarganegaraan atau paspor di luar pengadilan. Terutama bagi WNI yang ikut perang atau pelatihan militer di luar negeri.

Poin selanjutnya, yakni perluasan upaya paksa dalam hal penangkapan, dari kewenangan sebelumnya tujuh hari menjadi tiga puluh hari.

“Kemudian penahanan yang sekarang enam bulan, tidak jelas bisa diperpanjang atau tidak. Tapi dalam revisi ini, maka penyidik bisa diperpanjang 60 hari ditambah 60 hari lagi. Jadi saya hitung total, orang bisa ditahan sampai sebelum proses peradilan itu hingga 11 bulan,” terang politisi dari Fraksi PPP ini.

Poin terakhir, menyangkut kewenangan penegak hukum untuk menempatkan orang tertentu di tempat tertentu dalam rangka pencegahan selama 6 bulan.

“Ini yang harus direvisi benar. Ini yang kalau di media saya sebut sebagai pasal rasa Guantanamo,” tukas Asrul.

“Itu kira-kira pokok Revisi Undang-undang Terorisme. Yang ingin saya sampaikan bahwa, revisi UU No. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme tersebut adalah inisiasi dari pemerintah, ini yang harus dipahami,” pungkasnya. (sumber: hidayatullah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>