Ingin Menikahi Lelaki yang Murtad untuk Kembali ke Islam, Berdosakah?

Assalamu’alaikum,
Saya mau bertanya, apakah berdosa bila saya mengajak seorang laki-laki (yang tadinya) murtad, untuk kembali masuk Islam? Saya ingin dia kembali masuk Islam dan menikahi saya.
Apakah saya berdosa bila dia menceraikan istrinya dan menikah dengan saya?
Wassalam,

Santi RM

Wa’alaikumussalam wr. wb.
Saudari Santi yang baik, kami ikut bergembira jika Anda memiliki semangat untuk menolong saudaranya yang tergelincir dengan memutuskan diri untuk murtad (keluar dari Islam).
Istilah murtad dalam bahasa Arab diambil dari kata ( ارْتَدَّ) yang bermakna kembali berbalik ke belakang. Sedangkan menurut syariat, orang murtad adalah seorang Muslim yang menjadi kafir setelah keislamannya, tanpa ada paksaan, dalam usia tamyiiz (sudah mampu memilah dan memilih perkara, antara yang baik dari yang buruk-red.) serta berakal sehat.
Seorang yang menyatakan kekufuran karena terpaksa, tidak dikategorikan sebagai orang murtad, sebagaimana yang terjadi pada diri Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu yang dipaksa dan disiksa agar mau mengingkari kenabian Rasûlullâh dan mencela Islam. Akhirnya terpaksa menuruti mereka, padahal hatinya tetap yakin akan kebenaran ajaran Rasûlullâh. Setelah dibebaskan, dengan menangis dia mendatangi Rasulullah seraya menceritakan peristiwa tersebut, dan ternyata Rasûlullâh memaafkannya. Kemudian turunlah firman Allâh Azza wa Jalla :

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barang siapa yang kafir kepada Allâh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh menimpanya dan baginya adzab yang besar [an-Nahl/16:106]
Sementara kita menyaksikan fenomena murtad ini cukup banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebagian orang begitu mudah mengganti akidah Islamnya, entah karena kesulitan ekonomi, anggapan semua agama itu sama dan mengajak kepada kebaikan, ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Jika menyadari betapa bahaya besar akan menimpa mereka usai menanggalkan baju Islamnya, mungkin mereka tidak akan pernah melakukan tindakan bodoh tersebut.
Meskipun demikian, dalam kasus yang Saudari sampaikan, kiranya juga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, murtad itu dalam ajaran Islam memang berat konsekuensinya. Di negara yang menerapkan hukum syariat Islam, murtad dihukum dengan eksekusi mati, yang berdasarkan keputusan dari Pengadilan Syariat. Tentu situasinya berbeda dengan negara yang tidak menerapkan syariat Islam seperti Indonesia.
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

فمن ثبتت ردته عن الإسلام وتمت إدانته بإعلانه بالردة, فقد أصبح عضواً فاسداً يجب بتره من جسم المجتمع حتى لا يسري مرضه في الجسم عموماً، ولأن الردة اعتداء على أولى الكليات أو الضروريات الخمس التي تواترت الأديان السماوية بالحفاظ عليها وهي: الدين، والنفس، والنسل، والعقل، والمال

Orang yang telah menegaskan dirinya keluar dari islam, dan dia telah mengumumkan dirinya murtad maka dia menjadi anggota tubuh yang rusak, yang harus disingkirkan dari tubuh masyarakat muslim. Sehingga sakitnya tidak menyebar ke seluruh tubuh. Disamping itu, orang yang murtad, berarti telah melakukan pelanggaran terhadap dharuriyat khams (5 prinsip yang dijaga dalam islam) yang paling penting (yaitu agama), dimana semua agama samawi sepakat untuk menjaga dan melindunginya, prinsip itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 73924)
Kemudian ditegaskan dalam Fatawa Syabakah, bahwa masalahnya bukan semata kebebasan berkeyakinan, namun ini menyangkut loyalitas dan keberpihakan kepada agama,

والردة ليست مجرد موقف عقلي، بل هي تغيير للولاء وتبديل للهوية وتحويل للانتماء، فالمرتد ينقل ولاءه وانتماءه إلى أمة أخرى، وإلى وطن آخر

“Murtad bukan semata masalah pemikiran, namun ini masalah mengganti loyalitas, mengubah kecenderungan, dan berpindah keberpihakan. Orang yang murtad telah mengubah loyalitasnya dan keberpihakannya kepada umat yang lain, dan bahkan ke negeri yang lain.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 73924)
Karena itu, tidak jauh jika tindakan murtad termasuk pengkhianatan kepada agama.
Kedua, niat Saudari untuk menikahi si Fulan yang telah murtad tentu harus dipertimbangkan kemaslahatan (baik dan buruknya). Karena dia sudah terikat pernikahan dengan perempuan non-Muslim (?), pertimbangan kami baiknya Saudari ajak keduanya masuk Islam dengan nasihat yang baik (mauizhatul hasanah) dan argumentasi yang baik (wajadil hum billati hiya ahsan).
Jika keduanya berhasil Saudari Islamkan, itu akan menjadi pahala yang lebih baik dari bumi dan seisinya, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah mengenai seseorang (mukmin) yang mampu menunjukkan hidayat kepada orang lain, sehingga orang tersebut menjadi mukmin yang taat.
Cobalah Saudari coba terlebih dahulu dengan pendekatan dakwah kepada keduanya. Jika mereka sudah dikaruniai putra dan putri, tentu masalahnya akan kompleks jika Saudari sekedar memiliki niat untuk menarik kembali si Fulan dengan menceraikan istrinya.
Soal berdosa atau tidak jika Saudari mengajak si Fulan masuk Islam sementara dia terikat pernikahan dengan perempuan lain, kiranya keputusan Anda sudah seharusnya sesuai dengan ajaran Islam, yaitu tidak menzalimi orang lain, dalam hal ini istri dari lelaki tersebut.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. Allahu a’lam. (w-Islam)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>