Komisi Fatwa MUI: Islam Menolak Pemisahan Agama dan Politik
Dalam keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VI baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan keputusan tentang masalah strategis kebangsaan, hubungan agama dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketua Pimpinan Sidang Pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VI, Dr Asrorun Niam Sholeh menyampaikan keputusan tersebut pada gelaran di Banjarbaru, Kalimantan Selatan itu.
Pertama, Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu, merupakan ajaran yang komperehensif (kaffah), memiliki tuntunan kebajikan yang bersifat universal (syumuliyyah) dan meliputi seluruh aspek kehidupan (mutakamil).
“Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara, mengatur masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Karenanya, Islam menolak pandangan dan upaya yang memisahkan antara agama dan politik,” ujar Asrorun kepada hidayatullah.com, Jumat (11/05/2018).
Kedua, hubungan agama dan negara adalah hubungan yang saling melengkapi. Politik dan kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menjamin tegaknya syariat (hirasat al-din) dan terjaminnya urusan dunia (siyasat al-dunya).
Politik dalam Islam, jelasnya, adalah sarana untuk menegakkan keadilan, sarana amar makruf nahy munkar, dan sarana untuk menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh.
“Agama dan simbol keagamaan tidak boleh hanya dijadikan kedok untuk menarik simpati dan pengaruh dari umat beragama serta untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan semata. Politik juga tidak boleh dipahami hanya sebagai sarana meraih kekuasaan tanpa memperhatikan etika dan moral keagamaan,” jelasnya.
Ketiga, tambahnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibentuk dengan kesepakatan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha pEsa sebagai sila pertama dalam dasar bernegara. Dengan demikian, seluruh aktivitas politik kenegaraan harus dibingkai dan sejalan dengan norma agama.
“Karenanya, setiap upaya memisahkan antara agama dengan politik kenegaraan adalah bertentangan dengan dasar negara dan konsensus bernegara,” imbuhnya.
Keempat, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama harus dijadikan sebagai sumber inspirasi dan kaedah penuntun, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berpikir keagamaan dan kerangka berpikir kebangsaan. Penyelenggara negara tidak memanfaatkan agama sekadar untuk kepentingan tujuan meraih kekuasaan semata.
Kelima, tempat ibadah bukan hanya untuk kepentingan ritual keagamaan (ibadah mahdah) semata. Ia harus dijadikan sebagai sarana pendidikan dan dakwah Islam, termasuk masalah politik keumatan, bagaimana cara memilih pemimpin sesuai dengan ketentuan agama, dan bagaimana mengembangkan ekonomi keumatan, bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta bagaimana mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
“Keenam, dalam praktiknya, arah tujuan politik praktis adalah memperoleh kekuasaan, sementara kekuasaan cenderung korup. Karenanya, praktik politik kekuasaan harus dipandu oleh norma-norma luhur keagamaan agar tidak menghalalkan segala cara. Aktivitas politik yang tidak dijiwai agama akan cenderung melakukan tindakan menyimpang dan menghalalkan segala cara,” jelasnya.
Ketujuh, masih kata Asrorun, Islam tidak membenarkan praktik politik yang diwarnai oleh intrik, fitnah, dan adu domba untuk mencapai satu tujuan politik. Apalagi dengan membawa dan memanipulasi agama, mengatasnamakan agama, dan/atau menggunakan simbol-simbol agama, menjadikan agama hanya sekadar dijadikan sebagai alat propaganda atau hanya untuk memengaruhi massa.
Terakhir, simbol-simbol agama, atau simbol-simbol budaya yang identik dengan simbol agama tertentu, tidak boleh digunakan untuk menipu dan memanipulasi umat beragama agar bersimpati guna mencapai tujuan politik tertentu.
“Tindakan tersebut bertentangan dengan ajaran agama dan termasuk penodaan agama,” pungkasnya menyampaikan keputusan tertanggal 9 Mei 2018 itu. (sumber: hidayatullah)
Naskah Terkait Sebelumnya :
- Inilah Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia
- Ketua Fatwa MUI: Umat Muslim Haram Gunakan Atribut Non-Islam
- KH Cholil Ridwan: Agar Tak Tergerus Zaman, Umat Islam Harus Melek Politik
- Komentar MUI Terkait Pernyataan Presiden Soal Politik dan Agama
- Lukmanul Hakim: UU JPH Intervensi Kewenangan Komisi Fatwa
Indeks Kabar
- Lima Rumah Sakit Menjadi Debu, Jurnalis Amerika di Aleppo Layangkan “Surat Terbuka”
- Kemenag Resmikan BPJPH, Kewenangan Fatwa Halal Tetap di Bawah MUI
- Kasus Gereja Kalimiring: Antara Pemkot Bekasi dan Aqidah Umat
- Dermawan Hamba Allah Kasih Santunan Rp 5 Juta ke Tiap Korban Banjir Papua
- MUI: Gerakan Membungkam Islam Semakin Kelihatan
- Film “Aku, Kau & KUA” Ajarkan Pemuda Bahwa Dalam Islam Tidak Ada Pacaran
- WHO: Infeksi Baru HIV Meningkat di Eropa, Terbanyak di Kalangan Gay
- 1.500 Tahanan Taliban Dibebaskan, Amerika Tarik Pasukanya
- Umat Islam Desak Polisi Menindak Sukmawati
- PM Valls: Ungkap Kasus Pedofilia yang Memalukan Gereja Prancis
-
Indeks Terbaru
- Masjidil Haram Dinodai Ponsel dan Kamera
- Masuk Islam, Zilla Fatu Putra Umaga Pegulat WWE Ini Beberkan Alasannya yang Mengejutkan
- China Tangkapi Warga Muslim Hui yang Tolak Penghancuran Masjid
- Dari Benci Jadi Cinta Islam
- OKI Adakan Pertemuan Darurat Membahas Sudan, Militer Setuju Gencatan Senjata Seminggu
- Yusuf Masuk Islam Setelah Temukan Alquran di Stadion Old Trafford
- Pelaku Penembakan Kantor MUI Tewas, Sebelumnya Incar Ketua Umum dan Mengaku Nabi
- Viral Video Protes Suara Bising di Masjid, Kakek Australia Ini Malah Masuk Islam
- Pelaku Penembakan Kantor MUI Tewas, Sebelumnya Incar Ketua Umum dan Mengaku Nabi
- Mualaf Fano, Dulu Benci dan Caci Maki Adzan Tapi Kini Malah Merindukan Kemerduannya
Leave a Reply