Gerakan Shalat Memukau Hati Cassie

Namanya Cassie. Usianya 23 tahun. Ia lulus dari salah satu sekolah keperawatan di Inggris dengan predikat perawat terbaik pada 2014. Ia langsung memperoleh pekerjaan sebagai perawat pribadi seorang pria tua penderita alzheimer alias pikun.

“Pasienku seorang pria Inggris berusia 80-an dan dia adalah seorang Muslim,” kata Cassie, seperti dilansir dari Saudi Gazette. Menyadari hal tersebut, Cassie sadar harus memperhatikan cara merawat pasiennya. Tentu saja cara perawatan yang tidak bertentangan dengan keyakinan pasiennya.

Cassie membutuhkan waktu beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan pasiennya. Soal menu daging, Cassie selalu memastikan tak ada campuran babi atau alkohol dalam olahannya karena keduanya dilarang dalam Islam.

Setelah beberapa pekan merawat sang pasien. dia menyadari pasiennya selalu melakukan sebuah pola gerakan yang sama. Awalnya Cassie berpikir gerakan yang dilakukan pasiennya itu, hasil duplikat dari orang lain.

“Tapi aku melihat dia sendiri mengulangi gerakan pada waktu tertentu, pagi, siang, malam,” ujarnya.

Dia menjelaskan, gerakan tersebut, seperti mengangkat tangan, membungkuk, dan menempatkan kepala di tanah. Selain itu, sang pasien juga selalu mengulangi kalimat yang bukan dalam Inggris. Cassie mengaku tak bisa memahami arti gerakan tersebut dan bahasa apa yang pasiennya sering ucapkan ketika melakukan gerakan itu.

Merasa penasaran dengan hal tersebut, Cassie akhirnya bertanya kepada banyak rekannya mengenai gerakan berulang yang sering dilakukan oleh pasiennya. Dia juga mencari tahu di YouTube. Ternyata, dalam Islam gerakan itu disebut shalat. “Saya terkejut,” katanya.

Seorang pria yang (telah) kehilangan semua memori tentang keluarganya, kehidupannya, bahkan cara makan dan minum, mampu mengingat shalat dan ayat-ayat suci dalam bahasa lain. Hal itulah yang menarik perhatiannya. Ia tahu pasiennya termasuk orang saleh. Itulah yang membuatnya ingin belajar banyak hal mengenai Islam.

Inisiatif

Suatu hari ketika dia menemukan link tentang bacaan dan terjemahan Alquran, Cassie berinisiatif untuk menyimpan rekaman lantunan ayat suci Alquran di iPod miliknya. Lalu diberikan kepada sang pasien sebagai hadiah. “Dia tersenyum dan menangis saat mendengarkan (rekaman), aku bisa tahu mengapa,” ujarnya.

Cassie mengaku selama ini banyak belajar hal baru mengenai cara perawatan. Dan, hal tersebut dia terapkan untuk merawat pasiennya. Cassie ingin memberikan perawatan terbaik. Perlahan dia seolah menemukan banyak jawaban dari banyak pertanyaan dalam dirinya.

Cassie mengaku, selama ini tak pernah benar-benar meluangkan waktu untuk kehidupannya. Dia juga tak pernah tahu tentang ayahnya. Ibunya meninggal ketika ia berusia tiga tahun. Sejak kecil, Cassie dan adiknya dibesarkan oleh kakek-neneknya.

Mereka meninggal empat tahun lalu dan sekarang ini dia hidup berdua dengan adiknya. Tapi di balik semua musibah itu, dia selalu berusaha untuk bersyukur. “Apalagi, setelah menghabiskan waktu dengan pasienku,” ujarnya.

Kemudian, dia mulai merasa kehilangan sesuatu, hal yang kurang lengkap dalam hidupnya. Cassie seperti tak merasakan ketenangan dan kedamaian, seperti yang pasiennya rasakan. “Aku ingin memiliki perasaan seperti yang pasienku rasakan, bahkan ketika tak ada seorang pun di sekitarnya,,” kata Cassie.

Masjid

Dirinya mencari sejumlah masjid yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya. Cassie melihat para Muslim sedang mengerjakan shalat. Dirinya pun tak bisa menahan air matanya yang langsung mengalir.

Dia merasa tertarik untuk pergi ke masjid setiap hari. Cassie juga menerima sebuah buku dan rekaman dari seorang imam masjid dan istrinya. Buku itu yang akhirnya menjawab banyak pertanyaannya. Jawaban yang benar-benar jelas.

Selama ini, Cassie mengaku tidak bernah beriman pada satu keyakinan apa pun, namun dia tetap percaya bahwa Tuhan itu ada. Hanya Cassie tak tahu bagaimana berhubungan dengan Tuhan. Dia pergi ke masjid terus-menerus hanya untuk melihat shalat.

Suatu hari, ketika menyuapi pasiennya, Cassie menatap dalam matanya. “Saat aku melihat di matanya, aku sadar, dia dipertemukan denganku karena suatu alasan,” ujarnya mengenang.

Tiba-tiba dia merasa takut. Takut bukan karena ada hal buruk yang terjadi, melainkan takut akan datangnya suatu hal baik. Dia berpikir tak layak menjadi seseorang seperti pasiennya yang bisa begitu dekat dengan Tuhan.

Hari yang sama, menjelang senja, Cassie pergi ke masjid dan meminta seorang imam yang pernah memberinya buku untuk menyaksikan dirinya berikrar syahadat. “Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah,” ujar Cassie.

Kedamaian

Dia tak bisa menjelaskan perasaan yang dirasakannya saat itu. Rasanya seperti ada sesuatu yang membangunkannya dari tidur panjang. Sebuah perasaan yang luar biasa, bercampur antara sukacita, kedamaian, dan kejelasan.

Orang pertama yang Cassie beritahu setelah dirinya menjadi mualaf bukan adiknya, melainkan sang pasien. “Aku menemui dia, bahkan sebelum aku membuka mulut, dia menangis dan tersenyum kepadaku,” katanya.

Kemudian Cassie menghubungi saudaranya. Meski saudaranya tak merasa senang dengan keputusannya, dia mendukung Cassie.

Malang, satu pekan setelah Cassie memeluk Islam, sang pasien meninggal dunia dalam tidurnya. Cassie satu-satunya orang yang berada di samping pasiennya ketika dia meninggal. Cassie menyaksikan bagaimana dia meninggal dalam damai.

Selama ini, Cassie menganggap pasiennya seperti ayah. Seseorang yang membukakan pintu tentang Islam kepadanya. Cassie selalu berharap Allah memberikan tempat yang layak kepadanya. “Islam adalah agama yang selalu membuka pintu bagi mereka yang ingin masuk. Karena, Allah Maha Penyayang kepada hamba-Nya,” ujarnya tegas. (sumber: Oase Republika)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>