Berubah Sekaligus Mengubah

Namanya Mush’ab bin Umair. Para ahli sejarah melukiskan sifatnya dengan “Seorang warga Kota Makkah yang mempunyai nama paling harum.” Bagaimana tidak, Mush’ab adalah pemuda tampan nan gagah. Ia mendapat kemewahan fasilitas dari orang tuanya. Ia adalah idola gadis-gadis Makkah. Saat ia berjalan, bau harumnya masih terasa di jalan-jalan yang ia lalui.

Namun, kala mendengar risalah Allah SWT lewat sosok Nabi Muhammad SAW, hatinya seketika terbuka. Ia tinggalkan semua kenikmatan dunia demi Islam. Namun, sang ibu marah besar mengetahui keimanan Mush’ab.

Mush’ab lantas bertransformasi, dari lelaki tampan pujaan warga Makkah menjadi lelaki dengan baju compang-camping penuh tambalan. Ia juga berubah, dari lelaki penyembah Latta dan Uzza menjadi lelaki dengan iman menggebu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Simaklah perkataan Rasulullah menganai kondisi Mush’ab. “Dahulu aku lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.” Semua mata sahabat tertunduk, tak sedikit basah meneteskan air mata karena melihat sang idola kini harus hidup sederhana. Perubahan, Mush’ab telah melakukan perubahan untuk dirinya.

Setiap orang perlu dan harus melakukan perubahan untuk dirinya. Berubah dari kegelapan menuju cahaya. Dari kebodohan menuju kegemilangan pengetahuan. Dari berharap pada manusia ke total menghamba kepada Allah SWT.

Manusia disebut makhluk hidup karena ia bergerak dan tumbuh. Hakikatnya ia berubah. Hanya orang-orang yang melakukan perubahan yang dapat hidup dan pantas disebut makhluk hidup. Manusia bukan makhluk yang berpangku tangan sembari panjang angan-angan. Ia bangkit dari keterpurukan demi sebuah perubahan.

Sebaik-baik perubahan adalah berubah kepada ketaatan kepada Allah SWT semata. Kita tidak pernah tahu kapan dan di mana argo kesempatan hidup kita berhenti. Manusia sebagai makhluk Allah SWT dinilai dari amal di akhir hayatnya. Apakah khusnul khatimah atau justru su’ul khatimah. Tugas kita bukan menebak-nebak bagaimana kesudahan akhir hidup kita. Adapun yang harus kita lakukan adalah terus berbuat kebaikan.

Jika sebelumnya berbuat amal saleh, kita harus meningkatkan amal itu. Itu disebut perubahan. Jika sebelumnya berbuat alpa, kita berhenti dari perbuatan itu dan bertobat. Itu disebut perubahan.

Namun, perubahan tak lantas menjadi hak milik pribadi. Rasulullah SAW bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR Bukhari). Sembari berproses dalam perubahan diri, ada kewajiban yang terpatri untuk turut mengajak orang lain dalam perubahan. Kita berubah sekaligus mengubah. Dakwah hakikatnya juga untuk mengubah diri kita sendiri.

Bergabung dalam kafilah dakwah, kita akan terjaga dalam lingkungan yang kondusif. Terjaga dalam kebaikan sekaligus bertugas menyampaikan kebaikan. Kita juga menjadi semangat mencari ilmu. Apa yang hendak kita sampaikan jika pengetahuan kita kosong? Berubah diri dan mengubah orang bukan hal yang bertentangan. Keduanya kewajiban dan dapat saling melengkapi.

Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

Kita diseru untuk menyeru. Kita dipanggil untuk memanggil. Selayaknya Mush’ab bin Umair. Ia terpilih menjalani tugas yang mulia. Kelak, berkat kerja dakwahnya seluruh penduduk Madinah menerima Islam dan Nabi Muhammad SAW kala Makkah tak lagi kondusif untuk dakwah. Mush’ab diutus menjadi duta dakwah untuk masyarakat Yatsrib (Madinah). Padahal, saat itu lebih banyak sahabat senior yang bersama Nabi SAW.

Namun, lihatlah Mush’ab. Ia berhasil mengajak suku Aus. Ia berhasil meluluhkan hati suku Khadjaj. Ia menyiapkan semua masyarakat sebelum Rasulullah dan para sahabat hijrah ke Madinah. Berkat kelembutan Mush’ab, Madinah menjadi rumah baru umat Islam. Mush’ab telah berhasil mengubah dirinya sekaligus mengubah masyarakat.

Islam sejatinya membutuhkan Mush’ab-Mush’ab baru. Sang pengubah bagi jiwanya lantas ia mengubah sekitarnya. Ia sebenar-benar tokoh perubahan. Ia tak lagi mendamba masa lalu yang berhias pakaian halus dan mahal. Baginya perubahan menuju Islam adalah yang utama.

Mush’ab yang dulu berlapis-lapis baju terbujur kaku sebagai syuhada dalam Perang Uhud. Ia hanya memiliki sehelai burdah yang jika digunakan untuk menutup kepala, kakinya terlihat. Jika digunakan menutup kaki, kepalanya terlihat.

Dalam kesedihan, Rasulullah bersabda, “Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripada dia. Tetapi, sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah.” (sumber: ROL/Dialog Jumat)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>