Keluarga Korban Pembantaian Bosnia Kecewa Pemberian Hadiah Nobel Peter Handke
Keluarga dan kerabat korban Perang Bosnia mengecam pohak The Swedish Academy karena memberikan anugerah Nobel Sastra 2019 kepada Peter Handke. Handke menerima penghargaan bergengsi Nobel pada awal Oktober, karena dinilai karyanya memuat kecerdikan linguistik dan mengeksplorasi batas dan kekhasan pengalaman manusia.
Asosiasi korban perang yang beroperasi di Bosnia dan Herzegovina pun mengirim surat kecaman ke Swedish Academy pada Rabu. “Alasan Swedish Academy memberikan Nobel ke Handke sangat buruk,” ujar Hotic dari Mothers of Srebrenica Association dikutip Anadolu Agency.
The Swedish Academy menegaskan bahwa karya sastra penulis terpisah dari pandangan politiknya. “Akademi itu kehilangan kredibilitasnya. Keputusan itu sangat menyakiti kerabat korban,” kata Fikret Grabovic, presiden Asosiasi Keluarga Anak-Anak yang Dibunuh dalam Perang.
“Saya tak menyangka saya bisa merasa muak hanya karena Nobel,” kata Perdana Menteri Albania Edi Rama via Twitter. Sementara Presiden Kosovo Hashim Thaci mengkritik keputusan Swedish Academy yang menurutnya membuka luka lama keluarga korban. Mehmet Kraja, Presiden Akademi Seni dan Sains Kosovo menulis di laman The Washington Post, berjudul “Why was a Nobel Prize awarded to a man who celebrated a war criminal?”.
Dalam tulisannya ia mengatakan, “Ketika Komite Nobel bertanya kepada publik di Twitter apakah mereka telah membaca karya-karya penulis Austria Peter Handke, salah satu pemenang Hadiah Nobel 2019 dalam sastra, seorang lelaki Bosnia, Emir Suljagic, menjawab: “Tidak, kami sibuk mencari keluarga dan teman kami yang terkubur di kuburan massal yang ia tolak.”
Menurutnya, masyarakat Balkan, yang masih belum pulih dari satu dekade perang, masih belum memiliki catatan yang jelas tentang semua korban yang dibantai Slobodan Milosevic, diktator Serbia yang kebijakannya telah didukung dan disahkan Handke secara terbuka.
“Di belahan dunia kita, sekitar 150.000 orang, terutama warga sipil Bosnia dan Albania Kosovo, kehilangan hidup dalam perang yang tidak masuk akal yang membawa kenangan tentang Holocaust dan Abad Kegelapan kembali ke Eropa.”
Bahkan sampai hari ini, ada keluarga yang masih memegang selembar kain, arloji berlumpur atau foto buram untuk mencari orang yang mereka cintai. Dua dekade setelah perang, ada ibu dan ayah, istri, saudara perempuan, putra dan putri yang menghabiskan setiap malam berharap ada ketukan di pintu yang akan membawa mereka berita tentang suami mereka yang hilang atau putra mereka yang diculik.
Berjam-jam masih dihabiskan oleh terlalu banyak keluarga di lorong-lorong klinik forensik, menunggu kecocokan DNA sehingga mereka setidaknya dapat memiliki kuburan yang sebenarnya untuk diratapi.
Ada seluruh generasi yang tidak pernah dapat mencapai potensi penuh mereka karena mereka dikeluarkan dari pekerjaan mereka dan diusir dari rumah mereka dalam kampanye pembersihan etnis yang dipimpin oleh Milosevic, tetapi bagi Handke, semua ini tidak penting.
“Saya tidak tahu yang sebenarnya. Tapi saya melihat. Saya mendengarkan. Saya merasa. Saya ingat. Inilah sebabnya saya ada di sini hari ini, dekat dengan Yugoslavia, dekat dengan Serbia, dekat dengan Slobodan Milosevic,” katanya dalam pidatonya di Pemakaman Milosevic. Dia melakukannya setelah pertama kali menyatakan penentangannya terhadap kampanye udara NATO pada pasukan Serbia yang bertujuan menghentikan perang brutal di Kosovo Dalam sebuah wawancara, Handke mengklaim bahwa aliansi itu tidak mencegah Auschwitz baru, tetapi menciptakan yang baru.
Handke dikenal sebagai pengagum berat mantan pemimpin Serbia Slobodan Milosevic, yang meninggal di pengadilan internasional di Den Haag ketika diadili karena kejahatan perang dan genosida. “Saya di sini untuk Yugoslavia, untuk Serbia, dan untuk Slobodan Milosevic,” ujar Handke ketika menghadiri pemakaman Milosevic pada 2006.
Handke mengatakan, Muslim Bosnia di Sarajevo yang dibantai itu hanya bunuh diri, kemudian mengklaim Serbia sebagai pelakunya. Handke juga mengungkapkan ketidakpercayaannya bahwa Serbia melakukan genosida di Srebrenica. Tahun 2019, Handke justru diberi hadiah Nobel dan menerima 9 juta kronor Swedia (USD952.000) beserta medali.
Sekadar catatan, selama April 1992 – Desember 1995, sekitar 100.000 orang tewas dibunuh dan 2,2 juta jiwa mengungsi dari Bosnia. Tak hanya itu, sekitar 50.000 perempuan diperkosa dalam tragedi tersebut.
Perang Bosnia dipicu oleh pecahnya Yugoslavia yang mendorong Bosnia mendeklarasikan kemerdekaannya pada Februari 1992.
Ibu kotanya, Sarajevo, diserang oleh milisi Serbia Bosnia – yang didukung oleh tentara Yugoslavia – dalam “pengepungan terlama” sepanjang sejarah modern. (sumber: hidayatullah)
Naskah Terkait Sebelumnya :
- Dalang Pembantai 8000 Muslim Bosnia Divonis Hanya 40 Tahun
- Muslim Bosnia Jadi Korban Kekerasan
- Palang Merah: Ribuan Migran dan Pengungsi Terkatung-Katung di Bosnia
- Pengungsi Rohingya Kecewa Ada LSM Sebut Tidak Ada Pembantaian di Myanmar
- Setelah Dihancurkan Serbia, Masjid di Wilayah Bosnia Dibuka Kembali
Indeks Kabar
- Presiden Filipina Mengaku Islam
- Yordania Kecam Serbuan Aparat Israel ke Masjid Al-Aqsa
- Front Pancasila Tolak Simposium PKI
- Quran Bukan Hanya untuk Orang Arab
- Muslim AS Kerahkan Petugas Bersenjata Amankan Masjid
- Perusahaan AS Masuki Pasar Myanmar Meski Terjadi Penindasan Muslim
- Busyro: Islam Sudah Dikriminalisasi, Jokowi Harus Bertindak
- Wapres Sebut tak Perlu Ada Polisi Awasi di Dalam Masjid
- Aksi Pauline Hanson Dinilai Rusak Hubungan dengan Muslim Australia
- Mulai Hari Ini, Cina Larang Pemakaian Burqa dan Jenggot
-
Indeks Terbaru
- Vegetarisme dan Islamofobia Dianggap Penghalang Pertumbuhan Sektor Halal di India
- Kisah Mualaf Seorang Bintang Hip Hop Jerman
- Shariffa Carlo Dulu Musuhi Islam, Kini Jadi Muslimah
- Irena Handono, Temukan Islam Saat Jalani Pendidikan Biarawati
- Bintang Timnas Kamerun Patrick Mboma Masuk Islam
- Islam Jalan Hijrah Mario Rajasa
- Klaim Sebagai Kuil Hindu, Nasionalis India Ingin Rubah Citra Taj Mahal
- Stevanus Hanzen, Berawal dari Lagu Islami
- Partai Politik India Mempermasalahkan Pengeras Suara Masjid Melantunkan Adzan
- Hiroaki Kawanishi, Mualaf yang Ingin Sebarkan Islam di Jepang
Leave a Reply