Mualaf Fano, Dulu Benci dan Caci Maki Adzan Tapi Kini Malah Merindukan Kemerduannya

Sebelum mualaf, pemilik nama lengkap Delfano Charies ini mengaku tidak meyakini agama apapun juga tidak menjalankan ibadah. Begitu juga selama dia mempelajari Islam sejak 2015.

Perkenalannya dengan Islam bermula dari bisnis travel umroh yang dijalakannya. Dia sempat heran, mengapa Muslim tertarik bepergian ke tempat itu. Fano, begitu akrab disapa, pernah mengalami kekosongan diri yang luar biasa. Fano gelisah dan merasa depresi kemudian menghubungi teman-temannya. Tetapi tidak ada yang dtaang ke rumah.

Fano memutuskan untuk menyetir seorang diri berkeliling dan tebersit bahwa yang dia butuhkan saat itu adalah Allah SWT. Dia kembali ke rumah dan menghubungi sahabat yang diakuinya adalah orang yang taat beribadah. emannya kemudian datang dan keduanya berdiskusi. Setelah yakin Fano kemudian bersyahadat di hadapan temannya di rumah.

Mereka terus melanjutkan diskusi tentang Islam hingga subuh tiba. Teman Fano yang bernama Benny ini kemudian mengajaknya untuk sholat subuh ke masjid. Saat itu adalah sholat pertamanya setelah menjadi mualaf. Meski dia sebelumnya bukan Muslim, namun Fano telah hafal surat Al Fatihah.

Setelah bersyahadat, Fano kemudian bersyahadat kembali secara resmi di Masjid At Taufiq Semarang bersama komunitas Cah Hijrah. Setelah memeluk Islam, Fano rutin mengikuti kajian di masjid tersebut.

Bersyukur, setelah mualaf, Fano juga mendapatkan panggilan Allah untuk umrah tepat lima hari sebelum Saudi menetapkan lockdown karena pandemi Covid-19. Fano menceritakan pengalamannya ketika umroh. Ada rasa yang berbeda meski sebelumnya dia sering berkunjung. Tapi kali ini dia pergi ke tanah suci untuk beribadah bagi dirinya sendiri bukan sebagai pendamping.

“Ada kenikmatan saat sholat yang rasanya berpuluh kali lipat ketika hanya sholat di rumah, pengalaman ini saya rasakan saat sholat di Masjidil Haram,” jelas dia dikutip dari Youtbe Cahhijrah.

Rasa haru dan hati bergetar selalu Fano rasakan ketika sholat di Masjidil Haram terutama saat sholat shubuh. Ada kerinduan menanti suara azan, berbeda ketika Fano belum menjadi Muslim.

“Aku sempat menghina adzan dan menganggap adzan itu sangat mengganggu. Adzan terlalu berisik bagi aku dahulu, tetapi kini suara adzan adalah suara yang aku rindukan,” jelas dia. Begitu juga ketika puasa Ramadhan pertama kali. Sebelum menjadi Muslim Fano juga pernah menjalankan puasa Ramadhan, walupun tidak penuh selama satu bulan.

Saat itu hanya untuk kebutuhan konten dan ingin bertoleransi merasakan apa yang dirasakan umat Islan saat puasa. Tetapi setelah menjadi Muslim berbeda. Ada rasa tanggung jawab dan kewajiban untuk menjalankan sesuai ajaran Islam. Bahkan Fano lebih menunggu-nunggu waktu dimulainya berpuasa dibandingkan berbuka puasa itu sendiri.

“Aku sudah tidak berpuasa sejak usia satu tahun, saat itu pertama kali berpuasa tentu sesuatu yang ditunggu, jika tidak ada kewajiban batal mungkin aku bisa melanjutkan berpuasa,”ujar dia.

Ketika sahur dan berbuka, Fano harus menyiapkan makanan seorang diri. Karena mamanya sedang menemani kakak perempuannya yang sedang hamil, Fano memutuskan memasak. Hidup yang sulit di masa kecil, namun kini memiliki segalanya Fano tetap hidup sederhana. Nasi kecap dan telur goreng masih menjadi makanan favorinya hingga kini.

Pengalaman menyenangkan juga dirasakannya saat pertama kali Idul Fitri. Bersyukur keluarga yang yang berbeda agama bisa menerima pilihan hidupnya. Sehingga saat Idul Fitri Fano bisa berkumpul dengan keluarga. Saat pertama kali membahas agama dengan mama, ada keraguan dan kekhawtiran. Karena dia khawatir mamanya tidak akan menerima keputusan dan menyakitinya.

Namun Fano mengakui mamanya berpikiran terbuka. Terbukti dengan kakaknya Junio Charies yang lebih dahulu memeluk Islam. “Mama sedih dan kecewa saat tahu aku menjadi Muslim, dia kaget, tapi saya serahkan kepada Allah, bersyukur, keesokan harinya mama mau menerima aku menjadi muslim dan mama tetap sayang denganku,” ujar dia. Pada 2020, merupakan tahun pertama Fano menjalankan segala hal kewajibannya sebagai Muslim. Meski terkendala pandemi dan harus sholat tarawih di rumah, Fano terus belajar untuk mendalami Islam. Fano juga untuk pertama kalinya menjalankan menyembelih kurban dan merayakan Idul Adha.

Bagi Fano, menjalankan kewajiban sebagai Muslim itu bukan menunggu hidayah. Tetapi, Allah SWT sebenarnya telah menunjukkan hidayah melalui cara yang berbeda-beda, hanya saja banyak orang yang tidak mempedulikannya. Beberapa waktu lalu, ada teman yang memberikan seminar tentang hijrah, tetapi karena Fano menolak kebenaran itu sehingga hidayah belum sampai padanya.

Manusia adalah ciptaan Allah SWT yang berakal dan berpikir sehingga tugas manusia adalah untuk mencari kebenaran. Terkait agama tidak harus menjelekkan agama lain, tetapi individu tersebut yang harus mencari kebenaran dan Islam bagi Fano adalah kebenaran tersebut. (sumber: ROL)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>