Dulu Berpikir Islam Sarang Teroris Juga Biang Poligami, Armina Kini Bersyahadat dan Mualaf
Armina Kristine Vicente adalah seorang mualaf asal Filipina. Ia lahir dari seorang ibu Katolik dan ayah protestan. Di masa kecilnya, Armina mengetahui Islam dari Muslim di kampungnya yang merupakan minoritas. Namun Armina tak mempunyai tempat kepada siapa harus bertanya tentang Islam.
Perkenalannya dengan seorang laki-laki asal Indonesia saat kuliah yang saat ini menjadi suaminya menjadi awal Armina mengenal Islam yang ramah dan baik karena di Filipina, Islam digambarkan sebagai agama teroris atau laki-lakinya banyak mempunyai istri.
Framing Islam yang dekat dengan terorisme dan poligami membuat dalam pikirannya tertanam tentang wajah Islam yang negatif.
Namun suaminya yang mengenalkan Islam yang ramah dan baik kepada Armina. Meskipun sempat terkejut karena awal perkenalannya belum mengetahui bahwa suaminya beragama Islam. Sikap baik yang ditunjukkan suaminya mengubah pandangannya tentang Islam yang dekat dengan terorisme.
“Di pikiran saya sudah negatif teroris banyak istri. Saya gak mau. Tapi ternyata orangnya baik. Mungkin Muslim Filipina dan Indonesia beda,” ungkap Armina dalam Webinar “Inspirasi Taqorrub-Ilallah Lewat Kisah Perjalanan-Spiritual Para Tokoh: Edisi Muslimah/Muallaf Asal Filipina Universitas Paramadina, Jumat (22/3/2024).
Kepindahan Armina memeluk agama Islam juga tak lepas dari sikap terbuka keluarganya. Menurut Armina keluarganya tak melarang untuk berpindah agama. Sehingga Armina pun pindah ke agama Islam saat menikah dan tinggal di Indonesia sejak tahun 2000.
Armina tak menampik pada awal masuk Islam merasakan perasaan terbebani melaksanakan ibadah. Karena dalam Islam wajib melaksanakan shalat lima waktu dan ibadah puasa. Tetapi lambat laut ia mulai nyaman dengan aktivitas beribadah di dalam agam Islam.
“Tapi lama-lama ternyata cocok. Lama-lama Islam lebih baik dari agama-agama sebelummya yang saya ikuti. Lebih masuk hati, lebih logis,” kata Armina.
Armina menceritakan bagaimana kesabaran suaminya mengenalkan Islam. Armina mengaku tidak mengetahui bahwa kalimat syahadat yang diminta untuk diucapkan oleh suaminya adalah baiat masuk Islam. Hal tersebut terjadi pada awal pendekatan.
Setelah itu, suami Armina mengajarkan shalat. Dan ketika menikah, mertua Armina menerimanya dengan baik. Bahkan Armina masih menyimpan mukena pemberian mertuanya. Ketika itu, Armina hanya mengikuti gerakan sholat suami dan mertuanya ketika mengajarkan sholat.
Armina juga mengaku kesulitan membaca bahasa Arab di awal belajar shalat sehingga Armina harus mencontek bacaan yang telah dipersiapkan selama melaksanakan shalat.
Kini Armina yang tinggal di Jakarta kian nyaman dengan agama Islam. Ibu dengan empat orang anak ini terus belajar Islam selain aktivitas pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga dan feelance.
Filipina merupakan negara ke-12 dengan tingkat populasi tertinggi, yaitu lebih dari 120 juta, mayoritas penduduknya menganut Kristen. Persentasenya mencapai 90 persen dari total populasi, dari jumlah tersebut sebanyak 80 persen penganut Katolik.
Sementara Muslim hanya sekitar 5 persen dari jumlah penduduk, sebagian besar berdomisili di Mindanao Selatan. Padahal, Islam pernah menjadi mayoritas pada abad ke-15 di wilayah Filipina hingga berdirinya kerajaan Islam, yaitu Kesultanan Sulu.
Sejak 1500, Kesultanan Sulu kian mapan terbentuk, yakni dengan menyatukan kelompok-kelompok masyarakat Muslim yang tersebar di pulau-pulau Filipina selatan.
Bahkan, menurut Catatan Mackenzieninstitute, sebelum kesultanan tersebut berdiri pula Kesulatanan Mindanao Islam pada 1475 yang didirikan Syarif Muhammad Kabungsuwan.
Dia merupakan seorang Arab-Melayu yang ikut menyebarkan Islam di Filipina selatan. Pada 1515, dia mendirikan Kesultanan Maguindanao.
Di bawah pemerintahannya, sistem hukum Islam mulai diberlakukan secara menyeluruh. Hikmat penerapannya tertuang dalam dokumen Maguindanao Code of Law atau Luwaran. Sistem tersebut didasarkan pada kitab-kitab rujukan umumnya, yakni mazhab Syafi’i dalam hal fikih.
Tidak hanya sebagai pemimpin, perannya juga meliputi dakwah Islam, khususnya meluruskan penerapan agama ini di Mindanao. Pengetahuannya yang luas tentang Islam membuatnya menjadi rujukan di kalangan masyarakat.
Lantas, mengapa Islam yang pernah mayoritas di Filipina berubah menjadi minoritas? Hal ini tak lain dikarenakan penjajahan negara kolonial yang berlangsung kurang lebih 333 tahun oleh Spanyol dan disusul dengan penjajahan 42 tahun Amerika Serikat.
Sebagian sejarawan mencatat, seandainya tidak ada penjajahan tersebut, tentunya, Filipina akan menjadi negara mayoritas berpenduduk Muslim.
Asimilasi penjajah Spanyol hanya berhasil menciptakan perpecahan antara umat Kristen Filipina di bawah kekuasaan Spanyol dan masyarakat Muslim yang menolak penaklukan.
Hal yang sama terjadi saat rezim Amerika di mana Muslim dimusnahkan pasukan militer ketika umat Islam menolak penaklukan dan menolak eksploitasi sumber daya di wilayah Mindanao. Amerika kemudian menyadari proses itu sia-sia.
Namun, selama beberapa tahun belakangan, inisiatif Amerika untuk mengintegrasikan masyarakat Muslim dengan mayoritas orang Filipina hanya menyebarkan perpecahan dalam budaya dan agama. Akibatnya, kerusuhan sosial dan konflik situasi menyebar dan berkembang.
Kaum Muslim tetap terisolasi dari perkembangan yang digalakkan pemerintah di wilayah utara Filipina. Faktanya, gerakan separatis tumbuh dan kebencian antara Kristen dan Muslim dikembangkan.
Filipina merupakan negara ke-12 dengan tingkat populasi tertinggi, yaitu lebih dari 120 juta, mayoritas penduduknya menganut Kristen. Persentasenya mencapai 90 persen dari total populasi, dari jumlah tersebut sebanyak 80 persen penganut Katolik.
Sementara Muslim hanya sekitar 5 persen dari jumlah penduduk, sebagian besar berdomisili di Mindanao Selatan. Padahal, Islam pernah menjadi mayoritas pada abad ke-15 di wilayah Filipina hingga berdirinya kerajaan Islam, yaitu Kesultanan Sulu.
Sejak 1500, Kesultanan Sulu kian mapan terbentuk, yakni dengan menyatukan kelompok-kelompok masyarakat Muslim yang tersebar di pulau-pulau Filipina selatan.
Bahkan, menurut Catatan Mackenzieninstitute, sebelum kesultanan tersebut berdiri pula Kesulatanan Mindanao Islam pada 1475 yang didirikan Syarif Muhammad Kabungsuwan.
Dia merupakan seorang Arab-Melayu yang ikut menyebarkan Islam di Filipina selatan. Pada 1515, dia mendirikan Kesultanan Maguindanao.
Di bawah pemerintahannya, sistem hukum Islam mulai diberlakukan secara menyeluruh. Hikmat penerapannya tertuang dalam dokumen Maguindanao Code of Law atau Luwaran. Sistem tersebut didasarkan pada kitab-kitab rujukan umumnya, yakni mazhab Syafi’i dalam hal fikih.
Tidak hanya sebagai pemimpin, perannya juga meliputi dakwah Islam, khususnya meluruskan penerapan agama ini di Mindanao. Pengetahuannya yang luas tentang Islam membuatnya menjadi rujukan di kalangan masyarakat.
Lantas, mengapa Islam yang pernah mayoritas di Filipina berubah menjadi minoritas? Hal ini tak lain dikarenakan penjajahan negara kolonial yang berlangsung kurang lebih 333 tahun oleh Spanyol dan disusul dengan penjajahan 42 tahun Amerika Serikat.
Sebagian sejarawan mencatat, seandainya tidak ada penjajahan tersebut, tentunya, Filipina akan menjadi negara mayoritas berpenduduk Muslim.
Asimilasi penjajah Spanyol hanya berhasil menciptakan perpecahan antara umat Kristen Filipina di bawah kekuasaan Spanyol dan masyarakat Muslim yang menolak penaklukan.
Hal yang sama terjadi saat rezim Amerika di mana Muslim dimusnahkan pasukan militer ketika umat Islam menolak penaklukan dan menolak eksploitasi sumber daya di wilayah Mindanao. Amerika kemudian menyadari proses itu sia-sia.
Namun, selama beberapa tahun belakangan, inisiatif Amerika untuk mengintegrasikan masyarakat Muslim dengan mayoritas orang Filipina hanya menyebarkan perpecahan dalam budaya dan agama. Akibatnya, kerusuhan sosial dan konflik situasi menyebar dan berkembang.
Kaum Muslim tetap terisolasi dari perkembangan yang digalakkan pemerintah di wilayah utara Filipina. Faktanya, gerakan separatis tumbuh dan kebencian antara Kristen dan Muslim dikembangkan. (sumber: hidayatullah)
Leave a Reply