Lim Pek Kwa : Aku Menerima Islam Berkat Doa Seorang Kiai

Tidak pernah saya sangka kalau pada akhirnya jalan Islamlah yang menjadi pilihan saat usia saya menjelang senja, seperti sekarang ini. Padahal, sejak usia muda, saya telah cukup mengenal kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam agama Islam, karena saya telah lama bekerja pada majikan yang beragama Islam. Selama bekerja sebagai penjaga keamanan (centeng) itulah saya tahu kalau setiap hari orang Islam harus bangun pagi hari untuk melaksanakan shalat subuh.

Membangunkan orang untuk shalat subuh, saat itu bagi sava hanya sebagai suatu rutinitas belaka, karena saya mendapat bayaran untuk itu. Tak pernah terbersit sedikit pun di hati saya untuk masuk Islam karena saat itu saya menganut ajaran Konghucu sebagai ajaran nenek moyang bangsa Tionghoa Sebab, saya masih merasa aman dalam pelukan ajaran Konghucu, yang menurut sava waktu itu tidaklah serumit agama Islam.

Namun semuanya jadi lain, saat saya bertemu dengan seorang kiai asal Serang yang mengatakan sesuatu tentang diri saya. la mengatakan bahwa suatu saat sava akan masuk Islam, karena melihat saya sering membangunkan majikan untuk shalat subuh. Begitu yakinnya kiai asal Serang itu yang seringkali menjadi teman saya bertukar pendapat mengatakannya. Sementara saya yang mendengarkan, saat itu cuma bisa tertawa kecil. Pikir saya, percuma dia bilang begitu, karena nyatanya saya tidak pernah punya keinginan untuk masuk Islam.

Istri Salehah

Tahun 1962, saat saya berumur 27 tahun, seorang gadis asal Bekasi, resmi menjadi istri saya. la mendampingi saya dalam suka dan duka. Ina, demikian nama istri saya itu, yang ketika saya lamar telah menjadi yatim-piatu.

Yang saya kagumi dari istri saya itu adalah kesediaannya menerima saya, walaupun saya bukan seorang muslim, sementara ia adalah seorang muslimah. Memang benar kami menikah resmi pada saat itu. Namun, terus terang saya belum mau masuk Islam. Sementara istri saya pun tetap menganut agama Islam. Dengan dasar saling cinta dan saling pengertian, saya menempuh hidup baru bersama Ina, yang saya akui sejujurnya adalah istri yang baik.

Sejak muda, saya memang sudah senang berdagang. Tapi, cara berdagang saya, terutama sebelum saya kenal Ina, barangkali bisa dibilang sedikit nakal. Saya sering tidak sabar untuk meraih untung banyak, meski harus dengan sedikit curang. Ketika kebiasaan itu terlihat oleh istri saya yang memang sangat membenci perbuatan curang, ia lantas protes dan minta agar saya tidak melakukan hal itu lagi.

Saya memang sangat mencintai Ina, sehingga apa yang membuatnya sedih, tentu tak akan saya lakukan. Dan terlebih lagi, sejak saya menikah dengan Ina, saya sering mendengar ceritanya mengenai aktivitas pengajian, ceramah-ceramah agama, dan sebagainva, yang semuanva mengajarkan agar dunia ini hendaknya jangan dijadikan sebagai tujuan utama.

“Masih ada kehidupan yang abadi, vaitu kehidupan di akhirat,” ujar istri sava, mengutip kata-kata guru ngajinya. Dari sana, pelan-pelan saya mulai meninggalkan kebiasaan buruk berbuat curang dalam berdagang yang mendatangkan untung yang lumayan, namun dosanyapun besar.

Masuk Islam

Sekitar tahun 1984, kami pindah ke sebuah rumah mungil namun asri di daerah Citayam, Bojong Cede, Kabupaten Bogor. Di tempat itu, dengan keinginan yang suci dari lubuk hati saya, saya langkahkan kaki menuju majelis-majelis taklim, sekadar ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai Islam, agama yang dianut oleh istri saya.

Semakin sering mengikuti pengajian, semakin besar rasanya keinginan saya untuk masuk Islam. Karena, saat masuk atau keluar dari majelis taklim itu, hati saya merasa damai, tenteram, dan bahagia. Kebahagiaan yang belum pernah saya rasakan selama ini. Hal itu telah membuat saya mengambil suatu keputusan untuk masuk Islam. Maka, jadilah saya seorang muslim sejati pada tahun 1992. Saya berusaha mengerjakan setiap yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, serta berusaha menjauhi larangan-Nva. Nama saya pun saya ganti menjadi Muhammad Anwar.

Melalui bimbingan teman-teman majelis taklim serta tokoh agama di lingkungan saya, saya jalani usaha dengan cara islami. Saya jadi lebih penyabar saat ini, terutama setelah kepulangan saya dari Tanah Suci menunaikan ibadah haji, satu tahun setelah saya masuk Islam.

Kepulangan saya dari Tanah Suci bersama istri, benar-benar membawa hikmah bagi kehidupan saya selanjutnya, karena saya merasa semuanya adalah bukti kasih-Nya kepada saya yang baru saja masuk Islam. Dengan segala kemudahan dari Allah SWT, kepergian saya hingga kepulangan saya dari Tanah Suci, tidak meninggalkan kesan buruk di hati saya. Bahkan segalanya saya anggap seperti mimpi, karena terasa begitu gampang.

Saya kembali sering ingat ucapan kiai dari Serang saat saya masih bujangan dulu. “Kalau sering bangunin orang shalat, suatu saat saya yakin, kamu pasti akan masuk Islam,” katanya mantap. Alhamdulillah, perkataan Pak Kiai itu terkabul. (sumber: “Saya Memilih Islam”, Abdul Baqir Zein, Gema Insani Press)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>