Kewajiban Belajar Ilmu Tauhid

Belajar Ilmu Tauhid merupakan sebuah kewajiban bagi seorang mukallaf (yang telah baligh). Mungkin ada pertanyaan darimana datangnya ilmu tauhid. Nah, di dalam Islam terdapat 3 komponen agama yang oleh ulama terdahulu dsebut juga rukun agama yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Kemudian dari Iman muncullah ilmu tauhid, dari Islam muncul ilmu fiqih dan dari Ihsan berkembanglah ilmu tashowwuf. Ilmu tauhid adalah sesuatu yang membicarakan keimanan secara menyeluruh (aqidah) dan pada pokoknya adalah keesaan Allah.

Tauhid berarti mengesakan dan tentunya mengesakan Allah sedangkan aqidah adalah keimanan secara menyeluruh seperti  iman kepada Nabi dan Rasul, iman kepada para malaikat, dan semua yang tercantum dalam rukun iman kita. Namun, dalam prakteknya nanti tauhid dipergunakan untuk menyebutkan aqidah. Ilmu tauhid membahas 3 hal, yaitu ma’rifatullah (mengenal Allah dengan sifat-sifat-Nya), ma’rifaturrasul (mengenal Rasul) , dan sam’iat wal mughoyyabah (sesuatu yang ghoib yangg kita mendengar kabarnya dari nabi seperti siksa kubur, nikmat surga, malaikat,  dan jin).

Asy-Syaikh Muhammad An-Nawawi Al-Bantani Al-Jawi dalam kitab nya Tijan Ad-Darari mengatakan bahwa diwajibkan bagi setiap muslim mukallaf (yang telah baligh) laki-laki maupun perempuan, baik dari golongan awam, para hamba, dan pelayan (pembantu) agar ia mengetahui sifat-sifat yang wajib, mustahil dan yang jaiz bagi Allah. Sebagaimana difirmankan, “Maka ketahuilah, bahwasanya tiada Tuhan selain Allah…” (Q.S. Muhammad: 19)

Menurut syariat, orang-orang di atas dikenai kewajiban individu (wajib ain) untuk belajar ilmu tauhid beserta dalilnya secara global. Kewajiban ini hanya sampai mengetahui dalil global-nya saja. Sedangkan untuk mendalami dan mempelajari dalil nya secara lebih terperinci adalah fardhu kifayah bagi mereka. Dengan demikian setiap daerah yang sulit di jangkau (pedalaman) dan penghuninya pun sulit untuk mendatangi daerah lain, maka hendaknya di sana ada seorang yang mendalami aqidah beserta dalil-dalilnya secara rinci (ulama, kiyai). Karena kadang-kadang di sana terdapat kesamaran atau kesalahpahaman, maka orang tersebut akan segera menolaknya atau membetulkannya.

Dalil global ialah dalil yang membutuhkan penafsiran dan pembuktian dari sifat keglobalannya. Apabila anda ditanya: Apakah dalil yang membuktikan bahwa Allah itu ada (wujud)? Lalu anda menjawab: Alam ini. Akan tetapi anda tidak mengerti dari segi mana membuktikannya atau anda mengerti namun tidak mampu menjelaskannya. Oleh karenanya, dalil anda (yaitu alam) adalah merupakan dalil global.

Ketahuilah, satu keharusan (menurut syariat) atas setiap orang mukallaf untuk mengetahui semua sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah. Maka segala sesuatu yang bersumber dari dalil aqli atau naqli secara global, seperti; Allah wajib mempunyai sifat sempurna dan bersih dari segala sifat kekurangan, wajib diketahui dalilnya secara global. Sedangkan sesuatu yang berasal dari dalil aqli maupun naqli secara terperinci, maka wajib diketahui pula dalilnya secara terperinci, seperti: sifat-sifat allah yang dua pulah beserta lawan-lawannya (sifat mustahil).

Dalil-dalil aqli (akal/ logikadari ilmu tauhid seperti dalil aqli sifat-sifat Allah sangatlah dirasakan urgensinya di zaman yang sekarang berkembang pesat paham-paham dimana mereka yang tidak percaya tuhan. Orang-orang ini selalu mengandalkan logika dalam berfikir sehingga ketika mereka tidak menemukan logika tentang konsep ketuhanan mereka akan menetang konsep tauhid ini. Dalam suatu riwayat, Abu Hanifah pernah  berebat dengan seorang dahri ( orang anti tuhan atau atheis). Si Dahri bertanya,”Apakah Allah itu ada?” “Ya, Allah itu ada,” jawab Abu Hanifah. “Apakah Dia bisa dilihat?” tanya Dahri. “Tidak, Allah tidak bisa dilihat,” jawab Abu Hanifah. “Kenapa? Bukankah sesuatu yang diyakini adanya itu haru bisa dilihat?” tanyaDahri. “Jawabannya ada pada dirimu sendiri,”timpal Abu Hanifah. “Apa maksudmu?” tanya dahri.

Maka mulailah Abu Hanifah balik bertanya, “Apakah kamu yakin bahwa kamu punya nyawa?” “Jelas saya yakin, kalau tidak ada nyawa makatidak mungkin saya bisa hidup,” jawab Dhri. “Kalau begitu pernahkah kamu melihat nyawa itu?” tanya Abu hanifah. “Tidak pernah!” jawab Dahri. “Kenapa tidak pernah?” tanya Abu Hanifa. Dahri pun bingung. Abu Hanifah berkata, “Kamu meyakini adanya nyawa karena tanpa nyawa maka kamu akan mati namun kamu sendiri tidak bisa melihatnya. Begitulah pula dengan Allah. Dia wajib kita yakini adanya karena tanpa Dia maka alam semesta berikut isinya ini termasuk kita akan menjadi tidak ada. Jadi, walaupun Allah itu tidak bisa kita lihat namun kita wajib meyakini bahwa Dia ada karena memang keberadaanNya sangat dapat kita rasakan sebagaimana juga kita dapat merasakan keberadaan nyawa. Tidaklah mesti bahwa apa yang tidak bisa kita lihat akan otomatis menjadi ‘tidak ada’ Dahri itupun menjadi tidak berkutik.

Ya, kewajiban kita sebagai muslim yang sudah mukallaf untuk belajar ilmu tauhid, mengenal siapa pencipta kita, mengenal rasul kita dan mengenal sesuatu yang ghoib yang nabi pernah kabarkan. Sebuah kebohongan akan sebuah keimanan ketika kita percaya kepada Allah tetapi kita tidak mengenal-Nya. InsyaAllah pada artikel  selanjutnya akan membahas tentang ma’rifatullah. (Ibnu Marjehan). Wallahu’alam. (sumber: matasalman.com; Kitab Tijan Ad-Darari Karya Asy-Syaikh Muhammad An-Nawawi Al-Bantani Al-Jawi; Permata Ilmu Tauhid, Mendalami Iktikad Ahlussunnah Wal-Jama’ah Karya Tgh. Mujiburrahman merupakan terjemahan dan penjelasan Kitab Jauharut Tauhid Karya Syaikh Ibrahim Al-Laqqani)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>