Allah SWT Sebagai Tujuan Hidup Kita
Manusia yang hidup di zaman modern seperti sekarang ini saling sibuk dengan urusannya masing-masing. Kesibukan dalam urusan hidup ini tak jarang hingga melenakan, dan tak terasa menghilangkan ingatan pada Sang Pencipta, Allah Ta’ala. Saat melupakan Ilahi itulah sebenarnya bencana besar telah menimpa dirinya.
Secara alamiah (baca: fitrah) manusia mendambakan hidup yang sukses. Kesuksekan hidup biasanya dapat diukur dari sejumlah indikator, misalnya dari sisi tingkat pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang umumnya berdampak pada keberhasilannya dalam meraih keinginan hidupnya. Meski kekayaan harta tidak melulu diraih melalui dunia pendidikan formal, sehingga orang yang berpendidikan rendah pun asal “tahu cara” dan kerja keras pun dapat menjadi faktor keberhasilan meraih kekayaan.
Kekayaan harta kini lazim dijadikan sebagai ukuran kesuksesan seseorang. Sedangkan dari sisi spiritual-relijius sering tak hiraukan sebagai ukurannya. Mereka yang telah meraih sukses dunia dianggap sebagai manusia yang berhasil pula dalam hidupnya. Padahal Allah SWT menilai seorang hamba itu dari kebaktian dan keimanan yang konsisten serta hanya bergantung kepada-Nya.
Di sinilah makna dari “Allah SWT tujuan hidup”. Maksudnya, manusia harus beriman secara benar dan menyandarkan hidupnya pada Allah SWT. Beriman yang benar itu meliputi keikhlasan kita untuk menerima Allah SWT dalam hati, pikiran, perkataan, serta perbuatan kita sehari-hari. Aktivitas seluruh jiwa dan raga kita ini mesti bersifat konsisten dan konsekuen, sebagai implementasi dari doa sehari-hari yang terejawantahkan dalam peribadatan kita (baca: shalat), sebagaimana tertera dalam Al-Quran:
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah (Islam).” (QS. Al-An’am: 163).
Dari ayat tersebut sesungguhnya tampak bahwa seluruh rangkaian hidup manusia, dari semenjak dilahirkan ke dunia hingga kembali ke liang lahat, sudah selayaknya hanya diperuntukkan bagi sang Penciptanya.
Hanya saja, dalam perjalanan hidup manusia, kebanyakan melupakan Allah SWT dalam proses menjalani hidup. Hingga sebagian di antara manusia baru “sadar” manakala ajal sudah dekat. Jika ajal sudah di tenggorokan, Allah SWT tak sudi menerimanya, karena kondisi seperti ini dinilai-Nya sudah terlambat. Mestinya, pertaubatan itu dilakukan jauh-jauh hari sebelum malaikat pencabut nyawa sudah mendapat perintah-Nya untuk memanggil seorang hamba kembali ke alam fana.
“Sesungguhnya bertaubat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan, kemudian segera bertaubat. Taubat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 18-19).
Agar hidup kita hanya menjadikan Allah SWT sebagai tujuan hidup, kita harus tunduk kepada aturan yang telah dibuatnya, melalui Al-Quran, sebagai mukjizat yang sudah kita imani sebagai sebuah kebenaran mutlak. Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah Allah turunkan, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin (beriman)?” (QS. Al-Maidah: 49).
Perintah untuk tunduk dan menerima hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya juga tercantum dalam Al-Quran, “Dan tidaklah patut bagi mukmin laki-laki dan tidak pula perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada lagi bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36).
Karena kesadaran kita akan asal-usul kita dan kemana kita akan kembali kepada-Nya maka sudah sejatinya kita menjadi Allah Ta’ala sebagai tujuan hidup kita. (w-islam.com)
Leave a Reply