Sunnah-Sunnah yang Tercecerkan

Beberapa hari lalu, di berbagai tempat di belahan dunia umat Muhammad SAW mengenang hari kelahirannya. Walau terdapat perbedaan pendapat tentang tanggal lahir Rasul, namun asumsinya semua umatnya akan merasakan “getaran imani” di saat diingatkan akan kehadiran hamba Tuhan yang mulia itu. Penutup kenabian dan kerasulan, contoh tauladan sekaligus wujud kasih sayang Tuhan kepada seluruh alam semesta, dan bahkan manusia termulia seluruh manusia yang pernah terlahir ke permukaan persada bumi ini.

Bagi seorang Mu’min, nama Muhammad (SAW) bukanlah nama biasa. Mendengarnya barangkali mirip dengan mendengar nama awalan “Muhammad” dan berbagai “Muhammad” lainnya di bumi ini. Tapi ketika nama itu dikaitkan dengan seorang insan yang terlahir di selah-selah pegunungan bebatuan di kota Makkah, maka nama itu menjadi bukan “Muhammad” biasa. Nama ini menggetarkan jiwa-jiwa manusia, dan bahkan menggetarkan sudut-sudut dunia dan peradaban alam semesta. Itulah Muhammad bin Abdullah, habiib Allah, yang telah diutus untuk membawa lentera yang menerangi alam semesta.

Koneksi antara Muhammad (SAW) dan umat ini adalah koneksi yang tiada bandingnya. Bukan koneksi kedaerahan, suku, bangsa atau ras. Bukan pula koneksi keluarga dan darah. Tapi koneksi yang terbangun di atasa asas yang lebih solid dari apapun yang ada. Itulah asas iman. Koneksi antara Muhammad (SAW) dan umat ini terbangun di atas fondasi iman, dan karenanya terjalinlah koneksi keluarga dalam tatanan iman. Maka, dengan sendirinya semua anggota umat ini, asal saja menjadi bagian dari tatanana bangunan iman itu, secara otomatis menjadi ‘aalu Muhammad’ (keluarga Muhammad SAW). Jadi tidak harus berhidung mancung dan senang makan kambing…lol

Koneksi iman dengan Rasul itu terefleksi dalam dua sisi. Sisi emosional dan sisi praktikal. Kedua sisi ini harus saling terkait dan terikat. Artinya, tidak mungkin akan diterima sebagai ikatan imani jika hanya pada tataran emosional semata. Sebaliknya tidak juga akan diterima sebagai ikatan imani jika hanya pada tataran praktikal tanpa tertelusuk masuk ke dalam relung hati yang laing dalam.

Koneksi batin (emosional) ini yang seringkali diistilahkan dengan mencintai Rasulullah SAW. Bahkan cinta menjadi prasyarat iman seorang Mu’min. Pengakuan keimanan tanpa mencintai Rasul masih dianggap pengakuan kepura-puaraan. Sehingga suatu ketika pernah bersabda: “Tidak beriman di antara kalian sehingga dia mencitaiku lebih dari mencitai diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia”.

Akan tetap kecitaan ini juga akan dianggap cinta yang lumpuh jika hanya terbatas pada ikatan emosional. Sungguh mendalam rasa cinta di hati, merasakan getaran ketika namanya disebutkan, dan bahkan merasakan kerinduan untuk melakukan perjumpaan dengannya. Dan hal ini tentunya adalah sesuatu yang perlu dihargai. Akan tetapi ketika realita batin ini tidak mampu terealisasikan ke dalam kehidupan yang nyata maka itu juga menjadi kenyataan yang masih dipertanyakan.

Itulah yang keudian ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmanNya: “Katakanlah (wahai Muhammad) jika kamu mencitai Allah maka ikutlah kepadaku”. Kata kut ini menunjukkan bahwa koneksi batin tadi itu mutlak terbuktikan dengan realita kepanutan kepada ‘qudwah’ Rasulullah SAW.

Mengambil Rasulullah SAW sebagai tauladan memang menjadi salah satu asas iman itu sendiri. Bahkan keyakinan kepada Tuhan yang Satu pun harus dilalui dengan proses keyakinan dan ketauladanan kepada Rasulullah SAW (Laailaaha illallah-Muhammadan Rasulullah). Proses ketauladanan inilah yang diistilahkan dalam agama dengan istilah ‘al-ittiba’ atau kepengikutan. Namun kepengikutan kepada Rasulullah SAW digariskan dalam kata “Sunnah” jika dipahami dari perpektif ajarannya dan “Uswah-hasanah” jika dipahami dari sudut pandang praktikalnya.

Kekeliruan dalam memahami Sunnah Rasul

Salah satu kenyataan yang menyedihkan adalah bahwa umat ini pada umumnya salah dalam memahami sunnah-sunnah Rasul. Ada minimal dua kesalahan fatal yang berakibat kepada prilaku atas nama sunnah yang juga menjadi tidak sesuai. Pertama, memahami sunnah secara parsial. Kedua, memahami sunnah secara non substantive.

Kesalahan pertama adalah memahami bahwa sunnah itu hanya pada aspek-aspek tertentu dari ajaran Rasul. Sehingga terjadi ‘diskoneksi’ antara satu aspek ajaran dengan aspek-aspek ajaran Islam yang lain. Padahal, kita meyakini bahwa Islam itu adalah ajaran yang menyeluruh dan saling melengkapi (syaamil & mutasyaamil). Kesalahan dalam melihat sunnah ini berakibat kepada kehidupan umat yang cenderung memiliki prilaku ‘ambivalensia’ (double standard). Lihatlah betapa umat ini taat dalam sunnah-sunnah ritual, dan bahkan berkelahi dalam pengakuan “paling sunnah”. Tapi dalam prilaku sosialnya kepengikutan mereke kepada “sunnah-sunnah” itu menjadi impoten.

Kesalahan kedua adalah memahami sunnah secara non substantive. Biasanya umat ini sangat bersemangat dalam aspek-aspek beragama yang sesungguhnya non substantive. Dan bahkan mengorbankan hal-hal yang lebih substantive. Ambillah sebagai misal antara pakaian dan ukhuwah. Ada kalangan di antara umat ini yang cenderung menghakimi apakah seseorang itu taat sunnah atau tidak dengan melihat kepada bentuk pakaian yang dikenakan. Dalam banyak hal, kalau pakaian itu meniru gaya Arab atau Asia Selatan maka itulah pakaian yang sesuai sunnah. Tapi kalau tidak, berwarna-warni ala batik misalnya, maka pakaian itu tidak taat sunnah.

Cara pandang sunnah seperti ini terkadang tidak saja tidak substantive, tapi justeru mengorbankan sunnah yang jauh lebih mendasar. Yaitu menjaga ukhuwah, solidaritas dan perasaan sesama. Ada kejadian di mana seorang Muslim Bangladesh pernah bertengkar dengan Muslim dari Nigeria karena masalah pakaian. Dan pertengkaran itu terjadi di saat sedang khatib menyampaikan khutbah Jumat. Muslim Bangladesh menilai kalau pakaian Muslim Nigeria itu tidak sesuai sunnah Rasul, apalagi di shalat Jumat, karena menurutnya Rasul itu biasanya menyukai pakaian yang berwarna putih. Bukan kain yang berwarna-warni seperti pakaian Nigeria itu. Dan menurutnya lagi, kain seperti itu hanya cocok untuk kaum wanita saja.

Keategori Sunnah Rasul

Karena sunnah dipahami sebagai “ketauladanan” maka jika ketauldanan ini dihubungkan dengan Rasul Muhammad SAW, minimal ada tiga hal yang terkait. Satu, ketauladanan dalam aspek urusan-urusan ubudiyah. Dua, ketauladanan dalam urusan-urusan manusiawi (Rasul sebagai manusia yang punya tabiat kemanusiaan). Dan tiga, ketauladanan dalam urusan-urusan sikap dan prilaku Rasul Allah SWT.

Sunnah-sunnah ta’abbudiyah (urusan-urusan ubudiyah) adalah sunnah-sunnah yang menjadi keharusan atas semua orang Islam mengikutinya. Sunnah dalm hal ini menjadi prasyarat sahnya ibadah seorang Muslim dalam hal ‘al-ittiba’. Berbagai sunnah-sunnah ini telah menjadi pusat perhatian umat dari awal hingga sekarang. Bahkan menjadi perhatian utama sehingga terkadang kata sunnah lebih identik dengan masalah-masalah ini.

Di antara sunnah-sunnah ta’abbudiyah adalah tatacara shalat sebagaimana disabdakan: “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” (hadits).

Demikian juga dalam pelaksanaan ibadah haji sebagaimana disabdakan: “Ambillah manasikmu dari aku” (hadits).

Sunnah-sunnah thabi’iyah adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan Rasul sebagai amnesia yang sudah tentunya punya kecenderungannya tersendiri. Berbagai kecenderungan tersebut tentunya banyak dipengaruhi oleh salah satunya faktor kultur lokal beliau. Ambillah misalnya model pakaian yang beliau kenakan. Pakaian yang mengikut sunnah memiliki defenisi yang sederhana. Yaitu pakaian yang menutup aurat sesuai hokum yang ditetapkan oleh syariat Islam. Pada pria adalah dari pusar hingga ke lutut dan bagi wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Selebihnya, apakah itu model, warna, bentuk kain (kecuali sutra untuk pria tidak diperbolehkan), dan seterusnya hanyalah masalah budaya yang tidak mengikat kepada seluruh umat.

Sementara sunnah-sunnah yang berkaitan dengan sikap dan prilaku (Akhlaq dan Suluuk) lebih bersifat universal dan bahkan tidak saja menjadi contoh tauladan bagi umat Islam tapi juga kepada manusia dan alam semesta. Kata “laqad kaana lakum fii Rasulillah uswatun hasanah” (sungguh ada bagi kamu contoh tauladan pada kehidupan Rasulullah SAW) tidak saja dimaksudkan untuk orang-orang Islam. Tapi seluruh umat manusia yang memiliki integritas kepribadian dan prilaku yang baik.

Oleh karenanya jangan heran jika dalam aspek sunnah-sunnah sikap dan prilaku ini ada atau banyak orang-orang non Muslim justeru jauh lebih “sunni” (mengamalkan sunnah) dari orang-orang Islam itu sendiri. Bagi kita yang tinggal di tengah-tengah non Muslim mungkin hal ini bukanlah sesuatu yang aneh karena memang menjadi sebuah kenyataan di depan mata kita. Tapi bagi mereka yang tinggal di Negara-negara mayoritas Muslim terkadang tidak hal tersebut.

Sunnah-sunnah dalam sikap dan prilaku ini akan lebih banyak berkaitan dengan kehidupan sosial seseorang. Artinya praktek-praktek sunnah tersebut akan banyak bersentuhan dalam hubungan antar manusia, baik dengan sesama Muslim maupun dengan mereka yang tidak beragama Islam. Baik dengan mereka yang berteman dan bahkan dengan mereka yang memusuhi sekalipun. Dalam semua hal hubungan antar manusia itu ada sunnah-sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW sebagai terjemahan langsung dari konsep bakunya sebagai “rahmatan lil’alamin”.

Sunnah-sunnah yang tercecerkan

Pemahaman yang parsial (terpilah) dan non substantial terhadap sunnah menjadikan sebagian besar sunnah Rasul (SAW) terabaikan atau mungkin dengan bahasa yang lebih santun ‘terlewatkan” (overlooked). Kejadian ini menjadi sebagian umat memiliki ambivalensia dalam sifat dan prilaku. Di satu sisi nampak sangat religious. Tapi di satu sisi nilai religiositasnya tidak terefleksi dalam kehidupan yang lebih nyata. Keberagamaan terkadang dibatasi oleh batasan-batasan waktu dan tempat. Keberagamaan yang tertutupi oleh ketinggian dinding-dinding rumah ibadah.

Sunnah visi dalam perjuangan

Bayangkan di saat anda sesaat memikirkan berbagai permasalahan yang menimpa umat ini. Dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang melanda secara massive umat ini, hingga ke pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam; dari Irak ke Afghanistan, Thailand Selatan ke Myanmar, hingga Kashmir dan Palestina. Niscaya hati menjerit dan membara. Ingin jika semua beban-beban yang berat itu segera lenyap dan umat kembali kepada kejayaannya. Sahabat pun demikian. Ada masa-masa di mana mereka terbebani dengan keputus asaan. Sampai-sampai mereka mempertanyakan: “Mataa nashrullah” (kapan pertolongan Allah- akan tiba).

Rasulullah SAW ternyata mengajarkan sebuah sunnah dalam menghadapi masa-masa sulit dan kritis itu. Bahwa beliau tetap konsisten pada visi dasar dan niat awal dari perjuangan. Bahwa sesungguhnya apa yang terjadi di antara pergerakan dalam perjuangan itu adalah bagian dari proses alami menuju kepada tujuan akhir. Dan dalam setiap perjuangan, visi dan niat awal dalam melihat tujuan akhir terwujud dalam dua bagian yang tidak terpisahkan. Satu, “Maghfiran min Rabbikum wa Jannat” (ampunan dan syurga)…dan “Nashrun minallah wa fathun Qariib” (pertolongan Allah dan kemenangan) (As-Saf).

Sunnah atau ketauladanan Rasul dalam hal konsistensi dengan visi besar dan niat awal itu terlihat dalam menyikapi berbagai hal yang terjadi dalam hidupnya. Salah satu contoh yang besar adalah kasus Perjanjian Hudaibiyah (‘Ahd Hudaibiyah) di mana terjadi tekanan yang luar biasa, dan pada akhirnya beliau bersedia menerima perjanjian yang sangat tidak imbang itu. Para sahabat, khususnya Umar r.a. sangat tidak setuju dan menolak perjanjian itu diterima. Tapi karena dorongan visi besar dan dengan pandangan yang jauh ke depan, beliau menerima perjanjian itu. Dan ternyata perjanjian itu memang telah dipersiapkan untuk menjadi pelicin bagi datangnya “Nashrun minallah wa Fathun Qariib” itu.

Kisah di atas dicantumkan secara lugas dan menarik di Surah Al-Fath dalam Al-Qur’an. Dan kisah ini pula yang saya maksudkan salah satu sunnah besar yang cenderung tercecerkan dalam kehidupan umat, termasuk mereka yang melakoni perjuangan dalam upaya mengembalikan kejayaannya. Sebaliknya, umat ini dalam berbagai hal memiliki pandangan yang singkat dan sempit, sehingga segala sesuatu inginnya terjadi secara sesaat dan sekarang. Padahal, Allah memiliki metode tersendiri dalam memenangkan hamba-hambaNya yang saleh.

Sunnah keseimbangan

Ketika sebuah harian Denmark menampilkan sebuah karikatur yang diakui sebagai karikatur Muhammad, lengkap dengan sorbannya yang digambarkan menyembunyikan bom yang siap diledakkan umat ini marah dan mengamuk. Bahkan di beberapa tempat terjadi kekerasan dan kematian. Sebuah gedung terbakar di Lebanon, dua orang biarawati dibunuh di Nigeria, beberapa staf PBB ditembak di Afghanistan, dan seterusnya.

Pertanyaannya, kalau sekiranya Rasul masih hidup bagaimana beliau akan menykapi gambar karikatur yang diakui sebagai dirinya? Akankah beliau mengamuk, membakar dan bahkan membunuh? Apakah pelecahan seperti itu tidak terjadi selama hidup beliau dan bagaimana beliau menyikapinya?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi krusial ketika umat ini merespon atas nama Rasul SAW. Sebab mengambil tindakan atas nama Rasulullah SAW dan ternyata bertolak belakang dengan cara beliau, boleh jadi justeru pelecehan atas nama pembelaan kepada Rasul itu sendiri. Dan ternyata ini yang menjadi dilemma besar ketika kecintaan umat ini kepada Rasul dibatasi oleh sikap emosional, yang tidak terlihat dalam kehidupan nyata.

Rasulullah SAW dalam kehidupannya tidak saja dicemoh, dicaci dan dituduh dengan berbagai tuduhan. Tapi musuh-musuhnya ketika itu berusaha untuk membunuhnya. Kenyataannya rasul tidak pernah terbawa arus emosi dengan melakukan respon yang bersifat konstruktif (damaging). Sebagaimana manusia, saya yakin, Rasul juga merasakan perasaan manusia lain di saat dicemooh, dicelah, dihanggu dan bahkan diancam hidupnya. Tapi yang pasti Rasul belum pernah mengekspresikan perasaan marahnya misalnya dengan tindakan-tindakan yang destrukti dan justeru semakin menambah beban-beban yang tidak perlu…bersambung (sumber: Imam Shamsi Ali/11/2/2013)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>