Jalan Menjadi Muslim yang Bahagia

Semua manusia di dunia ini tentu ingin bahagia terlebih selamat di akhirat. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, seorang ulama membagi jalan tersebut menjadi empat bagian.

Pertama, akal budi. Allah SWT menurunkan wahyu pertama yang menyiratkan sebuah perintah kepada Muhammad untuk membaca. Implementasi dari makna kata “Iqra”, para mufassir sepakat bahwa makna iqra tersebut adalah membaca dalam arti kata yang luas. Tidak hanya membaca tulisan saja melainkan membaca alam semesta. Tujuan yang ingin diraih adalah agar kita sebagai hamba-Nya memiliki kesempurnaan akal (pintar).

Seperti firman-Nya dalam surah al-Mujaadilah ayat 11 (artinya), “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”

Kesempurnaan akal harus dengan ilmu. Ilmu yang membuat manusia dapat memahami sesuatu. Ilmu yang memberi kemudahan teknis bagi manusia untuk mengekspresikan nilai-nilai keimanannya. Bahkan, sebuah ibadah kalau tidak diiringi dengan ilmu, ibadah tersebut diragukan kualitasnya. Tipis kemungkinan diterima oleh Allah swt..

Makna iqra berkaitan erat dengan ilmu. Kata ini sangat kompendium (mencakup segala-galanya). Dia juga bermakna mamahami, menganalisis, hipotesis, eksperimentasi, dan mengaplikasikannya. Orang yang memiliki ilmu, berpotensi besar untuk bahagia karena dengan ilmunya dirinya memiliki kemungkinan paling besar untuk menggenggam dunia dan segala isinya.

Kedua, iffah (menjaga kehormatan diri). Orang yang berupaya terus-menerus dengan sungguh-sungguh untuk memelihara kesucian hati sehingga akan tetap tegar dalam menghadapi ujian dan kesulitan-kesulitan hidup. Ia mencoba meraihnya dengan mengawalinya bersikap wara’ dan tawadhu. Dari situ, terbuka tabir-tabir yang menuntun dirinya ke arah sikap dan perbuatan yang berkualitas. Perbuatan yang diridhai oleh Allah swt.. Kebahagiaan hati akan terasa kalau hidup kita diridhai oleh-Nya.

Ketiga, syaja’ah (berani). Keberanian dalam menegakkan kebaikan dan menyingkirkan keburukan dengan berbagai risiko dan konsekuensinya. Selain itu, berani untuk mengakui kesalahan diri sendiri dan berani mengakui kelebihan orang lain. Berani untuk tidak mengungkit-ungkit aib dan cacat-cela orang lain dan berani memaafkan orang yang pernah berbuat salah kepada diri kita. Artinya, keberanian bukan ditunjukkan pada saat melakukan pelanggaran, seperti membunuh orang lain tanpa hak, berzina, berjudi, berdusta, korupsi, dan lain-lain. Itu semua tidak termasuk dalam syaja’ah.

Keempat, Al-‘Adl (keadilan). Keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempat dan porsinya. Keserasian dan keteraturan dalam memperlakukan sesuatu dapat menghadirkan kebahagiaan. Pemimpin yang adil hatinya akan tenang. Dirinya disukai oleh banyak orang. Namun sebaliknya, jika ia zalim, yang tidak bahagia bukan orang lain saja, dirinya pun akan merasakan penderitaan, paling tidak penderitaan batin.

Sepertinya, kita sudah tahu empat hal tersebut di atas, tinggal kita mengamalkan saja. Mengamalkannya pun tidak usah terlalu bersemangat tapi nanti akhirnya melemah kemudian hilang sama sekali. Sesungguhnya Rasulullah SAW lebih mencintai pekerjaan yang dilakukan terus-menerus meskipun sedikit daripada terlalu bersemangat namun hanya berlangsung sesaat saja. Anda yang lebih tahu kondisi bagaimana menuju jalan Islam, jalan kebahagiaan. Wallahu’alam bisshawab.  (w-islam.com)

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>