Perkembangan Islam di Suriname
Meskipun terletak di Benua Amerika, warga negara Suriname banyak yang berasal dari Jawa. Bahkan, di kabinet yang sekarang, ada empat orang Jawa yang menjadi menteri di negerinya Frank Riijkaard (pemain timnas Belanda era 90-an).
Republik Suriname, yang terletak di Amerika Selatan, adalah negara terkecil di benua Amerika. Luasnya hanya sekitar 163 ribu kilometer persegi. Dulu, Belanda sangat bergantung dengan hasil perkebunan Suriname. Ribuan budak didatangkan dari Afrika Barat sejak tahun 1700-an untuk dipekerjakan di ladang-ladang tebu, kapas, cokelat, dan kopi. Orang-orang Afrika Barat inilah yang membawa agama Islam pertama ke negara tersebut.
Tahun 1863, Kerajaan Belanda mengakhiri sistem perbudakan. Tindakan ini membawa perubahan terhadap keberlangsungan pekerjaan di perladangan negara-negara jajahan, termasuk Suriname. Banyak bekas budak yang kemudian meninggalkan ladang-ladang untuk mencari penghidupan lebih baik. Menyadari situasi tersebut dapat mengganggu perekonomian, Belanda pun melakukan usaha penyelamatan. Direkrutlah tenaga buruh-buruh kontrak yang digaji sangat murah. Mereka sebahagian diambil dari beberapa negara dan wilayah jajahannya, termasuk dari Jawa.
Kelompok pekerja pendatang Jawa sebanyak 94 orang tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890. Selanjutnya dipekerjakan di perladangan tebu dan perusahaan gula Marrienburg. Empat tahun kemudian, 582 orang Jawa datang lagi. Sejak tahun 1890 hingga 1930, sebanyak 32.965 pekerja kontrak keturunan Jawa bekerja di Suriname. Menurut perjanjian kontrak, mereka akan bekerja selama lebih kurang lima tahun. Setelah itu, para pekerja boleh memilih tetap tinggal di Suriname atau pulang ke Jawa.
Kehadiran mereka kian mengukuhkan agama Islam di negara ini, lantaran warga Jawa tersebut kebanyakan muslim. Berdasarkan sensus terakhir, muslim Suriname mewakili sekitar 13% dari ke¬seluruhan penduduk negara tersebut. Na¬mun berbagai sumber tidak resmi menyebut angka hingga mencapai 20%. Angka ini menjadikan Suriname sebagai salah satu negara dengan persentase muslim tertinggi di benua Amerika. Se¬lain oleh bekas budak Afrika Barat dan keturunan Jawa, jejak Islam Suriname juga dibawa orang-orang Pakistan dan Afghanistan, yang hampir semua penduduknya adalah muslim Sunni.
Pada awalnya, masyarakat muslim Suriname secara umum memeluk agama sekadar mewarisi agama nenek moyangnya. Ini dikarenakan karena kebanyakan mereka memang datang ke Suriname dengan bekal pendidikan agama yang terbilang minim. Pada kasus masyarakat muslim Jawa, umpamanya, kebanyakan mereka berasal dari tradisi agama Islam Jawa abangan, yang hanya mengenal Islam sekadar nama dan lebih kental dengan unsur tradisi dan budaya Jawa. Hal itu terlihat, misalnya, kenapa hingga sekarang sebahagian dari mereka masih mempertahankan shalat menghadap ke Barat, seperti nenek moyang mereka di Jawa, padahal Suriname berada di sebelah barat Ka’bah.
Dulu, ketika orang Jawa ini tiba di Suriname, mereka membuat masjid meng¬hadap ke barat, sesuai dengan yang biasa dilakukan ketika di Jawa. Ketika para dai mulai semakin banyak yang berdatangan ke sana, mereka pun membuat masjid menghadap ke timur, yang lebih tepat, karena menghadap ke kota Mekah.
Dapat disimpulkan, Islam dan tradisi di Pulau Jawa pada abad ke-19 kurang lebih sama seperti yang masih dipraktikkan sebagian orang Jawa di Suriname kini. Hilangnya kontak komunikasi de¬ngan Pulau Jawa sekian lama menjadikan pengetahuan dan tradisi yang dipraktekkan mereka tidak berkembang secara sama dan sebangun dengan yang ada di Jawa.
Sejalan perkembangan zaman, pemahaman mereka terhadap Islam se¬makin membaik. Meski sebagian muslim di sana masih ada yang disebut “aliran barat”, atau sering pula disebut “wong madhep ngulon” (yang shalatnya menghadap ke barat), namun kesadaran beragama Islam telah semakin meningkat pada masyarakat Islam Suriname secara keseluruhan.
Islam tidak lagi dijadikan sebagai agama warisan nenek moyang, tapi di¬peluk dengan penuh kesadaran. Lambat laun, kini Islam tidak saja dijadikan se¬bagai agama tradisi nenek moyang, tapi menjadi sebuah cara hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Fenomena seperti itu dapat dengan mudah ditemui di mana-mana, di kota, perkampungan, pasar, dan jalan-jalan. Berpakaian muslim menjadi peman-dangan yang telah biasa di tengah-te¬ngah kecenderungan fashion ala Barat. Ucapan salam simbol Islam pun semakin sering terdengar. Bukan hanya di antara muslim Jawa, tetapi juga kerap terucap di berbagai etnis muslim Suriname.
Kondisi keberagamaan masyarakat muslim Suriname yang semakin tercerahkan itu bukan terjadi dengan sendirinya. Peran lembaga-lembaga organisasi sosial, yayasan, dan masjid dalam melakukan perubahan sikap keberagamaan itu begitu besar. Berbagai kegiatan dilakukan dalam upaya menghidupkan api Islam di Suriname dari yang paling tradisional sampai yang paling modern, dari yang baru tahap mengajarkan membaca huruf-huruf Arab hingga upaya pengenalan Islam melalui seminar, simposium, radio, televisi, dan internet. Dakwah pun meluas ke semua anak negeri.
Geliat itu begitu terasa hingga pemeluk Islam bukan saja orang Jawa dan Hindustan, tapi juga satu per satu orang-orang negro dan kulit putih pun mencintai dan masuk Islam. Beberapa pergerakan Islam di Suriname di antaranya: Perserikatan milik umat Islam keturunan India, Suriname Muslim Associatie (SMA), termasuk salah satu lembaga yang berandil besar dalam menyalakan cahaya Islam di Suriname. Stichting der Islamitische Gemeenten in Suriname (SIS), Yayasan Islam Suriname, adalah lembaga paling berpengaruh di Suriname dari kalangan suku Jawa yang membawa obor perubahan bagi kebangkitan Islam. Lembaga ini memiliki masjid utama, Masjid Nabawi, dengan 54 masjid lainnya berada dalam binaannya tersebar luas di distrik Paramaribo dan distrik-distrik lain.
Organisasi kalangan Jawa abangan seperti Federatie van Islamitische Gemeenten in Suriname (FIGS), terus-menerus diajak dialog secara kelembagaan ataupun pribadi-pribadi hingga satu per satu menemukan kebenaran itu. Bahkan para pemimpin Ngulonan pun sesungguhnya telah mengetahui kebenaran itu dan mudah-mudahan segera dibukakan pintu hidayah. Hingga muncullah masjid-masjid baru dengan gerakan pencerahan Islam yang menjadi pusat bagi terbitnya cahaya Islam, seperti masjid Ansharullah, masjid Asy-Syafi’iyah Islam, masjid Rahmatul¬lah Islam, dan lain-lain.
Cepat atau lambat, Islam berkembang dengan luas di seluruh penjuru dunia. Bersyukurlah wilayah yang ternaungi cahaya Islam. Islam akan terus bersinar dan menerangi alam semesta dengan cahayanya. (w-islam.com/sumber: Majalah al-Kisah, Maret 2013)
Naskah Terkait Sebelumnya :
Indeks Kabar
- Duh, Kelompok Satanic Mulai Sebarkan Paham Mereka pada Anak-anak
- MUI Tegaskan, Imunisasi Boleh tapi Wajib dengan Vaksin Halal dan Suci
- 70 Ormas Islam Jatim Kembali Turun Jalan dalam Aksi Bela Islam untuk NKRI
- Jumlah Mualaf di Prancis Naik Dua Kali Lipat
- Kitab Suci Gereja Setan Dijual Bebas di Mall Besar Jakarta
- MUI Tegaskan Sikap atas RUU JPH
- Pemukim Yahudi Cabuti Pohon Zaitun di Masjid Al-Ibrahim
- MUI Imbau Ibadah Ramadhan Dilakukan di Rumah
- DPD Didorong Buat Pansus Homoseksual
- Enam Warga Palestina Gugur dalam Long March ‘Kembali ke Palestina’ yang Terjajah
-
Indeks Terbaru
- UEA Kecam Pembangunan Permukiman Baru Israel di Wilayah Palestina
- Jadi Mualaf, Susie Brackenborough: Tak ada yang Membingungkan dalam Islam
- Ucapan Islami Ini Membuka Mata Hati Mualaf Ismael Lea South untuk Masuk Islam
- Pelaku Bom Bunuh Diri di Masjid Pakistan Berseragam Polisi
- Mantan Ateis Asal Prancis Masuk Islam di Qatar, Kehangatan Muslim Kuatkan Keputusannya
- Kemenlu Rusia Kutuk Swedia Izinkan Politikus Denmark Bakar Alquran di Stockholm
- Trudi Best Jadi Mualaf karena Takjub Lihat Muslim Melakukan Sesuatu karena Allah
- Hidayah adalah Misteri, Dunia Clubbing Pintu Masuk Mualaf Ameena Bersyahadat
- Eks Marinir yang Berniat Mengebom Masjid Tak Kuasa Bendung Hidayah, Ia pun Bersyahadat
- Pemerintah Afghanistan Tak Pernah Larang Pendidikan untuk Perempuan
Leave a Reply