Pantaskah Menafsirkan Tuhan?

Tema besar kegiatan Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) 2014 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UNISA) Surabaya “Tuhan Membusuk”[Konstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan] secara dahsyat terus menyebar di media massa, jejaring sosial bahkan televisi.
Banyak orang gempar membicarakan ulah nakal oknum mahasiswa dalam kalimat “Tuhan Membusuk” ini.

Betapapun sudah ada “bayan” dari pelaku pembuat tema tersebut, berita sudah menyebar tidak hanya di dalam negeri bahkan sudah sampai ke mancanegara termasuk Turki dan Mesir.
UINSA panen gugatan pelecehan agama. Sebagai warga negeri ini saya merasakan sekali, masyarakat tidak mau tahu plesetan “bayan” yang ada, faktanya stigma negative yang muncul.
Memang dalam literatur Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak tercantum kata “Tuhan” namun lebih dikenal kata “Allah”.
Tuhan, kata Adolf Houken, peneliti sejarah Melayu, justru berasal dari bahasa melayu dari “tuan” yang ditambah “h” menjadi tuhan seperti kata “apus” menjadi hapus, “utang” menjadi hutang.
Namun jangan salah, kata tuhan secara historis telah disepakati bangsa Indonesia menjadi jalan tengah pertikaian istilah masing-masing agama sebagai sinonim keberagaman antar pemeluk agama untuk menyebut “yang dipuja dan disembah”.
Bahkan kata “Tuhan” dimasukkan dalam Pancasila sila pertama “ke-Tuhan-an Yang Maha Esa”. Sebuah kesepakatan yang tidak mudah dalam mendefinisikan Tuhan. Kata “Tuhan” menjadi sakral dan milik semua agama yang tidak boleh disalahgunakan.
Bahkan sopannya, untuk bisa mendefinisikan kata “Tuhan” dengan penafsiran lain haruslah mendapat persetujuan dari bangsa ini.
Namun kini, agar dianggap filosofis ada mahasiswa Fakultas Ushuluddin UINSA Surabaya menafsirkan kata “Tuhan” dengan penafsiran lain, bahkan mengkesampingkan historical maupun epistimologinya hanya dengan tafsir Nietzche, sang Atheis Jerman.
Siapapun yang memuja pemikiran filsafat Nietzche akan ketuhanan, dia tetaplah tokoh Atheis sepanjang sejarah yang dunia mengakui perjalanan hidupnya. Isi perkataanya di buku “God is Death” cukup untuk membuktikanya. Bagi Niectzhe yang Atheis mungkin dimaklumi karena dia membenci Tuhan dan kekuasaan yang mengekang.
Namun bagi kita yang beragama, terlalu tergesa-gesa mengambil sudut pandang Nietzche guna menilai segala sesuatu dngan memburukan Tuhan. Jadi jangan salahkan masyarakat jika menyebut ini pelecehan agama, karena ada benarnya.
Bagi mereka “Tuhan membusuk” adalah orang-orang yang menghancurkan nilai-nilai ketuhanan dengan mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingannya. Termasuk membunuh, merampok, mencuri, korupsi dll para fundamentalis islam masuk dalam tafsir penjelasan mereka.
Tapi sayang penempatan kata “Tuhan” tidaklah bijak sebagaimana mestinya. Sifat manusia yang berdosa dinisbatkan ke Tuhan.
Pertanyaanya “Siapakah yang mengaku menjadi Tuhan dan mendeklarasikan dirinya Tuhan? Sehingga begitu mudah Tuhan di plesetkan sebagai kambing hitam?
Bagi merka yang berbuat salah karena membunuh, mencuri, korupsi, dll atas segala kejahatan mereka tidak akan mengatas namakan tuhan atau nilai-nilai agamanya atas perbuatannya, namun sebagai kesalahan pibadinya sebagai manusia yang khilaf. Apakah cara menghukumi seorang muslim yang bersalah harus mengikutsertakan tuhan telah membusuk? Lagi lagi Tuhan kena getahnya.
Cukuplah manusia itu salah atas apa yang dikerjakannya, tidak tepat mendramatisir mereka “Membusukkan Tuhan” apalagi “Tuhan membusuk”.
Tafsir bias yang menyesatkan akan selalu membingungkan sebab sifat kejahatan manusia disamakan dengan tuhan yang sakral, seperti jauhnya langit dan bumi.
Membenarkan tafsir yang mereka sampaikan sama halnya membenarkan tafsir bebas akan tuhan. Bahkan mungkin kedepan bagi mereka, kata “Allah” pun akan mereka definisikan dengan tafsir liberal lainnya.
Orang akan bebas bicara Tuhan bahkan dalam hal-hal yang jorok untuk mengkritik maupun menghujat.
Seharusnya jika kita mengusung istilah kosmopolitan tidak perlu berlebihan membuat tema“ Tuhan Membusuk”. Sebab kata “tuhan” adalah sakral bagi semua umat agama, justru sangat mnyakiti umat jika digunakan bukan pada tempatnya.
Jadi sesungguhnya yang mengaku sedang mengusung ide ‘Islam kosmopolitan’ justru menghancurkan arti kosmopolitan dengan tafsir sendiri. Sebab, mencuri dan menyelewengkan istilah yang benar ke wilayah yang salah adalah kejahatan intelektual. (sumber: hidayatullah/Puput Wahyudi Z.P, S.Sos.I/7/9/2014)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>