Lukmanul Hakim: UU JPH Intervensi Kewenangan Komisi Fatwa

Direktur LPPOM MUI Ir. Lukmanul Hakim M.Sc merasa UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang sudah diteken menunjukkan adanya intervensi terhadap penetapan hukum Islam (Fatwa) yang sifatnya substantif sehingga bisa berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
“Dalam UU justru terjadi intervensi proses sertifikasi. Kami sangat kecewa karena ada intervensi itu,” katanya di Jakarta, Senin 17/11/2014). Dia menambahkan, yang diperjuangkan selama 25 tahun bahwa halal adalah penetapan hukum Islam yang tidak boleh terintervensi oleh pemikiran sains yang tersesat, karena kasusnya pernah terjadi saat produk MSG yang dikatakan halal karena tidak terlihat, padahal dalam prosesnya adalah tercampur dengan zat haram.

Dia berpendapat, UU seharusnya melegitimasi dan menguatkan ‘prototype’ yang ada, tidak diintervensi oleh kepentingan apakah kekuasaan politik ataupun perdagangan, “Sertifikasi halal sebagai sebuah substansi harus di MUI, sisanya: penegakan hukum, pengawasan dan edukasi itu harus pemerintah. Bukan pada intervensi substansi,” katanya.
Menurutnya, kekecewaan LP-POM MUI bukan pada masalah siapa mengerjakan apa, tetapi adanya intervensi terhadap kewenangan yang sifatnya substantif, administrasi-administrasi birokrasi sejatinya bisa di tangan pemerintah, tetapi tidak terhadap kewenangan fatwa yang sifatnya subtantif.
Dengan terbitnya UU JPH ini, kata Lukman, bisa dilihat dua sisi; kabar gembiranya adalah, saat ini umat Islam di Indonesia mempunyai kepastian hukum dalam mengkomsumsi produk halal. “Kurang Menggembirakan, karena UU masih melalui proses panjang, harus didukung oleh 18 peraturan berikutnya, ada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri,” katanya.
Sehingga dalam konteks saat ini, UU ini masih mandul, karena masih belum ada PP, dan itu harus kita tunggu, sementara di sisi lain, UU mempunyai makna bahwa UU harus diselesaikan selama tiga tahun, “kalau tidak selesai UU bisa dikatakan UU sangat sulit untuk dilaksanakan,” imbuhnya.
Dalam UU baru ini, MUI memang masih dilibatkan dalam proses sertifikasi Halal, tetapi terlihat ada sebuah intervensi terhadap Fatwa, karena di dalam Komisi Fatwa harus melibatkan unsur pemerintah, dan juga harus melibatkan scientist, “Jadi komisi fatwanya digembosi, meskipun fatwanya ada di MUI, tetapi kewenangan Komisi Fatwa digembosi, jadi disini ada intervensi, ini yang kita khawatirkan,” tuturnya.
Kondisi inilah yang menurutnya tidak menyenangkan, karena pada dasarnya fatwa harus independen dan tidak diintervensi oleh siapapun. Sedangkan fungsi LPPOM-MU dalam pemeriksaannya tidak ada perubahan, meskipun di situ ada intervensi di dalam proses pemeriksaan. “Jadi perusahaan daftar ke Badan (pemerintah), kemudian diperiksa oleh LPPOM kemudian kembali lagi Badan, baru dibawa ke Komisi Fatwa kemudian kembali lagi ke Badan, baru kemudian diterbitkan sertifikat, jadi sertifikat nanti tidak lagi diterbitkan oleh MUI,” katanya.
Sisi lain, menurutnya, dalam konteks produsen merasa ada Birokratisasi pada saat Indonesia berada di era De-birokratisasi. “Bisa dibayangkan kalau proses sertifikasi harus bolak balik, itu harus berapa lama nanti. Karena sudah jadi UU,” pungkasnya. (mui.or.id)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>