Muhammad Orlando: Gemetar Berwudhu, Merasa Damai Memasuki Masjid

Muhammad Orlando tinggal di dekat mesjid, hanya beberapa meter saja jaraknya dari rumah ke masjid. Karena dekat dengan masjid, tentunya pembaca bisa menebak bahwa sudah pasti teman-temannya adalah seorang Muslim. Ya, memang benar. Mereka semua beragama Islam.
Anehnya selain rumahnya dekat dengan mesjid, rumah Orlando juga dekat dengan gereja, hanya beberapa meter saja dari rumah. “Mungkin entah ini sebuah hidayah atau apa, aku malah lebih sering bermain ke masjid dari pada ke gereja. Setiap kebaktian pada hari minggu, aku juga jarang sekali mengikutinya, aku lebih sering berada di rumah atau bermain dengan teman-teman Muslim di lingkungan kami,” kata dia.

Terkadang, bila tiba waktunya kumandang takbir dikumandangkan pada malam akhir ramadhan, Orlando selalu mengikutinya dan tidak jarang pula ia melakukan takbir di rumah. Untungnya ayah dan ibu tidak pernah melarangnya. “Mungkin karena sudah sifat mereka yang baik dan lembut kepada kami, mereka tidak pernah memaksakan apa pun kepada kami,” kata dia.
Malah sebaliknya, mereka berdua justru mengatakan, “Orlando tidak apa-apa jika kamu ingin masuk ke agama Islam”, kata mereka. Aku sungguh kaget, namun tetap saja aku yang pada waktu itu masih kanak-kanak belum paham benar tentang apa sesungguhnya maksud mereka.
Berikut penuturan Orlando selengkapnya:
Aku sekolah di SD Negeri Alawa Bawa. Nama ini masih sama sebelum terjadi pergolakan pada tahun 1999, sebelum Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan berganti nama menjadi Timor Leste. Selama lima tahun aku sekolah di sana, dan saat itu aku sudah menduduki kelas lima SD.
Hingga terjadilah gejolak yang sangat luar biasa pada tahun 1999, ketika aku baru mulai duduk di kelas enam. Ceritanya begini, ketika itu, aku sedang berlibur ke kota karena waktu itu memang sedang liburan sekolah, jadi aku pergi berlibur bersama teman-teman ke kota. Tiba-tiba banyak sekali terjadi kerusuhan di mana-mana. Banyak terjadi pembunuhan antara pasukan TNI dengan militan pejuang Timor Leste merdeka. Kerusakan dan koban jiwa berjatuhan di sana-sini.
Suasana sangat mencekam, tidak ada yang berani keluar rumah ketika itu. Aku sendiri dalam keadaan yang sangat bingung. Pembaca mungkin bisa membayangkan bagaimana keadaan anak seusiaku yang harus terpisah dari kedua orang tua karena tragedi ini. Sungguh sangat mengerikan, kebakaran, kerusakan, pembunuhan, suara letusan senjata ada di sana-sini. Untunglah ada seorang ustadz yang menolongku waktu itu.
Namanya ustadz Zainuddin Halim. Beliau adalah seorang tokoh bekas penganut Kristen yang terkenal di daerahnya. Aku dan yang lain yang senasib denganku pada saat tragedi 1999 itu terjadi, di bawa ke sebuah kamp pengungsian, di sebuah wilayah yang terletak di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Karena kejadian itu, aku terpaksa berhenti sekolah, selain karena situasi yang sangat mencekam, aku juga terpisah dari orang tua. Setahun kemudian, aku disekolahkan oleh ustadz Zainuddin di Kupang, tepatnya di SD Inpres Naibonat di Kupang Timur. Watu itu aku masih berada di kamp pengungsian.

Suasana yang sangat tidak nyaman dan jauh dari kondisi layak yang harus aku dan para pengungsi lain alami. Namun, tidak ada pilihan, ini tentu lebih baik dari pada kami harus menanggung akibat dari peperangan yang terjadi antara pasukan TNI dengan para pejuang militant Timor Leste.

Aku dan teman-teman belajar di kamp, meski aku sudah sekolah di SD di daerah Kupang, pulangnya aku tetap tidak bisa bermain layaknya anak-anak sekarang karena kondisi yang tidak aman pada waktu itu. Kami tetap belajar, sambil melihat berbagai macam bantuan datang silih berganti di kamp pengunsian kami.

Di sela-sela itulah, ketika kekacauan mulai mereda, aku memeluk Islam. Ini terjadi tepat ketika tiga hari sebelum aku ikut melaksanakan ujuian Ebtanas, setingkat ujian nasional pada waktu itu. Tepat pada hari Jumat, aku masuk Islam. Aku diislamkan di salah satu mesjid kecil di daerah kupang. Karena aku diislamkan setelah salat Jumat, maka sudah barang tentu aku mengikuti salat Jumat tersebut. Tidak hanya sekali aku salah melakukan rakaat salat ketika itu.

Ketika orang lain sedang rukuk aku langsung sujud, ketika orang sedang sujud aku justri berdiri. Hingga ustadz Zainuddin berbicara kepada aku, “ikuti gerakan orang, jangan mendahului!”, ucapnya kepadaku.

Adalah sebuah keajaiban. Aku yang kesehariannya bermain di masjid bersama dengan teman-temanku tidak pernah merasakan rasa takut dan hati bergetar yang sangat luar biasa ketika hendak berpindah agama ke agama Islam. Ketika mengambil air wudhu saja aku sudah gemetaran, seperti memiliki rasa takut yang amat dahsyat.

Bak ingin berhadapan dengan seorang penguasa. Namun, aku tetap merasakan kedamaian ketika masuk ke dalam mesjid. Meski aku dalam keadaan yang gemetaran, tatapi aku sangat merasa tenang ketika masuk ke dalam masjid.

Suasana yang kurasakan amatlah berbeda dengan suasana yang aku rasakan selama ini di gereja. Nyaman, tidak ada suara berisik, suara musik, nyanyian, posisi yang terpisah antara permpuan dan laki-laki, mengenakan pakaian yang sopan dan santun, tidak memakan makanan yang aneh-aneh, seperti darah tuhan dalam sebutan umat Kristen dan lainnya.

Ketika selesai menunaikan salat Jumat barulah aku disyahadatkan. Ustadz yang mensyahadatkan aku terheran-heran, kenapa aku bisa sedemikian lancar mengucapkan kalimat syahadat? Padahal aku baru saja menjadi mualaf. Ini semua karena hidayah yang diberikan Allah kepadaku dan karena aku telah biasa bermain di mesjid sejak aku masih berada di Timor Leste.

Aku benar-benar ikhlas masuk ke agama Islam, sehingga aku tidak mengalami kesulitan ketika melalui proses pensyahadatan tersebut, meski pada awalnya aku sangat gemetar ketika melakukan wudhu dan ikut serta dengan yang lain melakukan salat jumat. Mungkin karena aku ketika itu belum menjadi seorang muslim dan mengucapkan kalimat syahadat.

Keluargaku yang sudah sejak awal mengikhlaskan aku, tetap tidak memarahiku. Ayah dan ibuku menyerahkan semuanya kepadaku. Mereka tidak memaksaku sama sekali untuk kembali kepada agama lamaku dan mengikuti keyakinan mereka. Hanya sebagian dari keluarga besar kami yang tidak suka, itu pun karena sangat fanatik dengan apa yang telah mereka yakini selama ini.

Mereka sempat menghasut keluargaku agar membawaku kembali pulang ke Timor Leste untuk kembali mendapatkan bimbingan sehingga dapat memurtadkan aku dan kembali ke agama Kristen. Namun, Allah telah melindungiku, sehingga aku tidak kembali ke Timor Leste. Inilah kondisi yang bagiku merupakan sebuah pengalaman yang perlu aku bagikan kepada para pembaca.

Cerita lain yang ingin kusampaikan adalah waktu itu, saat aku sedang berada di kelas, guru agama Kristen datang dan masuk ke kelas kami. Ia berkata, “Bagi kalian yang beragama selain Kristen, silahkan keluar dari dalam kelas”. Keluarlah teman-tamanku yang beragama Hindu dan Islam, tak elak karena aku juga beragama Islam maka aku juga keluar dari dalam ruangan. Guru dan teman temanku semua kaget melihatku keluar dari ruangan. Kemudian salah satu dari temanku yang beragama Kristen memanggilku.

“Orlando…Orlando, kamu dipangil bu guru ke kelas”, aku pun pergi menuruti panggilan ibu guru tersebut. Kemudian ibu guru menanyakan kepadaku, “kenapa kamu keluar dari ruangan?”, tanyanya kepadaku. Aku menjawab, “Bu guru, aku sudah menjadi seorang Muslim, aku sudah masuk Islam”.

Sontak bu guru dan teman-temanku kaget mendegar perkataanku itu. Karena bu guru menghormati pilihanku ini maka aku pun dipersilahkan untuk meninggalkan ruangan karena saat itu sedang akan dilangsungkan pelajaran agama Kristen. (sumber: ROL/26/12/2014)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>