Istiqamah pada Jalan Agama di Zaman Fitnah

Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, amanat diberikan kepada penghianat, orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut berbicara. Rasulullah lalu ditanya: Apakah ruwaibidhah itu? Ia menjawab: Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.” (HR. Ibnu Majah)

Fenomena akhir zaman

Sejak teknologi internet kian berkembang secara luas, pola interaksi dan komunikasi di antara manusia semakin mudah. Seolah tanpa sekat, teknologi tersebut kini menembus ruang dan waktu dalam kehidupan manusia. Dampaknya, kini manusia begitu mudah mengakses setiap berita dan bahan yang dibutuhkan. Bahkan tak sedikit informasi justru yang datang sendiri tanpa dicari. Ia begitu saja mampir di dinding atau grup-grup media sosial (medsos) yang ada.

Masih segar dalam ingatan, sebuah berita yang mampir di sebuah grup percakapan yang penulis ikuti. Dalam berita tersebut terlampir pula foto seorang jenazah perempuan yang dikabarkan wafat akibat musibah crane di wilayah Masjidil Haram, beberapa waktu silam. Dalam foto, digambarkan sang wanita meninggal dalam keadaan tersenyum.

Dengan perasaan iba bercampur takjub, tanpa pikir panjang penulis ikut membagi (share) berita sekaligus foto itu seraya berharap bisa mendapat kebaikan yang sama, meninggal dalam keadaan husnul khatimah.

Hanya selang sesaat, tiba-tiba dan tanpa diminta pula, sebuah berita berbeda mampir kembali menghiasi layar smartphone penulis. Kali ini dengan berita sebaliknya. Bahwa berita dan foto jenazah perempuan asal salah satu warga Malaysia hanya hoax alias kabar bohong. Sebab, foto itu adalah acara pelatihan merawat jenazah di salah satu Negara bagian Malaysia.

Istiqamah dalam Beragama

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ummayah asy-Syabani, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Abu Tsa’labah al-Khusyani dan bertanya kepadanya: Bagaimanakah mengamalkan ayat ini? Ia lalu balik bertanya: Ayat yang mana? Aku berkata: Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Surah al-Maidah [5]: 105). Ia menjawab: Demi Allah, sesungguhnya aku telah menanyakan hal itu kepada orang yang benar-benar mengerti. Aku pernah menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw, maka Nabi menjawab: Bahkan hendaklah kalian saling menyuruh berbuat makruf dan saling mencegah kemungkaran, sehingga jika engkau melihat kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan kekaguman setiap orang kepada pendapatnya. Hendaklah engkau menjaga dirimu sendiri dan tinggalkanlah orang-orang awam, karena di belakang kalian masih ada hari-hari yang panjang. Orang yang sabar di dalam hari-hari itu tidak ubahnya seperti orang yang menggenggam bara api.” (Riwayat at-Tirmidzi).

Jauh hari, rupanya Rasulullah telah memberi petunjuk terang kepada umat Islam bagaimana menyikapi persoalan fitnah akhir zaman tersebut. Saat di mana sebuah keburukan bisa terlihat baik dengan bungkus yang menarik. Saat manusia begitu sulit memilah antara yang halal ataupun yang haram. Oleh Nabi, umat Islam lalu diajari dan diberi panduan, tetaplah istiqamah kepada ajaran agama. Kenalilah semuanya dengan cara mengembalikan persoalan kepada al-Qur’an, kembali ke al-Hadits, ijma’, kita ikuti ulama-ulama, insyaAllah, kita tak akan pernah menjadi orang bingung .

Akhir kata, mari kita semua bersyukur sebagai seorang Muslim atas karunia iman dan Islam ini.
Di saat fitnah akhir zaman kian canggih mengganas, kita juga patut bersyukur karena hari ini mushaf dan tafsir al-Qur’an serta kitab-kitab al-Hadits begitu mudah didapat. Penjelasan para ulama tentang sebuah persoalan begitu gampang diakses dan dibaca. Sebab, tak ada agama manapun di dunia yang mengatur kehidupan; dari urusan WC hingga bernegara, bahkan tanda-tanda kiamat, kecuali agama kita, agama Islam yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala.

Namun, satu pertanyaan yang tersisa, adakah kita mau mempelajarinya? Atau sekedar menjadikannya pajangan di lemari-lemari buku di rumah. Adakah kita bangga sebagai Muslim karena memang paham dan melaksanakan ajarannya? Ataukah ia sekedar identitas formal yang melekat di kartu pengenal kita? (sumber: hidayatullah/Maftuha Abdullah Said)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>