Ketua MUI: Menganggap Wahyu Turun pada Sayyidina Ali adalah Ghuluw

Perilaku mencaci para Sahabat Rasulullah oleh suatu kelompok merupakan sikap yang salah. Demikian ditegaskan Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia Pusat, Dr Cholil Nafis.

“Memaki Sahabat (sebagai) kafir, menurut saya secara psikologis itu tidak benar, secara agama tidak benar, secara sosial tidak benar, secara politik tidak benar,” tegasnya pada kuliah umum di ruang Auditorium Arifin Panigoro, Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Jakarta, Kamis, (03/12/2015).

Menurutnya, para Sahabat Nabi seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman, dan Sayyidina Ali mesti dicintai oleh umat Islam. “Kita semua cinta kepada ahlul bait. Kita cinta kepada Rasul, cinta pada Sahabat Rasul, apalagi Sayyidina Ali, masih termasuk keluarga Nabi,” ujarnya.

Namun, lanjut Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU ini, mencintai Sayyidina Ali tidak berarti menjelek-jelekkan Sahabat yang lain. “Apalagi sampai menganggap bahwa seharusnya wahyu turun kepada Sayyidina Ali. Itu sudah salah lagi. Itu namanya keterlaluan, disebut dengan ghuluw, keterlaluan,” ujarnya dengan nada penuh tekanan.

Jadi, kata dia, tidak boleh berlebihan dalam mencintai maupun membenci. Cintailah seseorang secara adil dan proporsional. “Persoalan cinta Sayyidina Ali, saya cinta. Siti Fatimah, saya cinta. Tapi tidak perlu cinta itu ada jelek-jelekkin yang lain,” ungkap kiai asal Sampang, Madura ini.

Perang Shiffin

Sementara itu, menanggapi pertanyaan seorang mahasiswa bagaimana mestinya sikap umat Islam terkait konflik antara Sahabat Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sofyan saat Perang Shiffin Cholil menjawab, terkait Perang Shiffin, banyak versi yang menceritakannya. Ada versi yang, kata dia, memenangkan Syiah atau pendukung Ali, ada pula yang memenangkan Mu’awiyah.

“Kalau mau baca, bacalah (karangan) yang punya Ibnu Hisyam. Itu adalah sejarah hidup. Silakan dibaca sejarah itu,” saran Cholil tanpa menyebut judul karangan tersebut.

Perang Shiffin, menurut Cholil, adalah masa lampau yang tak mungkin diulang kembali. Cara menyikapi, dengan menganggap mereka bagian dari orang-orang yang dipilih oleh Allah, serta mengambil hikmah dari perselisihannya.

“Tidak perlu kita juga mengembangkan konfliknya. Tapi dikembangkanlah ajaran-ajaran baiknya. Mungkin di situ ada hikmah yang Allah berikan kepada kita. Tidak pada fokus salah yang mana, benar yang mana. Tidak! Ini sikapnya Ahlu Sunnah Wal Jamaah,” demikian menurutnya.

Terkait hubungan Sunni-Syiah di Indonesia, Cholil menganggap saat ini perseteruan keduanya sudah “lampu kuning”. “Sudah ‘lampu kuning’, di mana-mana tuh sudah banyak gejala. Saya di MUI atas nama –dulu Komisi Kajian dan sekarang di– Komisi Dakwah menemukan gejala-gejala konflik di antara Sunni dan Syiah,” ujarnya tanpa penjelasan lebih jauh. (sumber: hidayatullah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>