Memahami Makna Rabb (Tuhan)
Secara bahasa, kata “Rabbun” berasal dari huruf raa dan ba’ yang ditasydidkan. Kata ini dapat dipergunakan dalam ungkapan-ungkapan sebagai berikut:
Pertama, Rabbul walad wa rabbu adl-dloi’ah (pemelihara anak dan pemelihara kebun). Apabila ia selalu mendidik anak dan merawatnya, atau menjaga kebun dan merawatnya.
Kedua, Rabba fulan qaumahu (si Fulan memimpin kaumnya), dan Rabbaita al-qauma (engkau memimpin kaum), jika engkau menguasai, memimpin, dan mengatur mereka, hingga mereka tunduk dan mengikutimu. Senada dengan ini kalimat “Fulan yarubbu an naas”, yakni si fulan mengumpulkan mereka. Karena itu tempat pertemuan dapat disebut ‘Al-Marrab.
Ketiga, Rabbu ad-daar wa rabbu al-ibil, yakni pemilik rumah dan pemilik unta. Seperti dalam hadits, ” Pemilik kambing atau pemilik unta?” Perhatikan keterkaitan makna-makna di atas: Pemilik adalah yang mengatur, memelihara, merawat, dan mendidik. Murabbi (pendidik) adalah orang yang memiliki kekuasaan.
Apabila makna-makna tersebut dinisbatkan kepada Dzat Ilahi, maka pada hakikatnya Allah SWT adalah Pemilik segala sesuatu, Pengatur, Penguasa, dan selainnya tidak mempunyai kekuasaan, Penentu hukum dan selainnya tidak berhak memutuskan hukum. Dia adalah yang menciptakan dan mengatur, serta memelihara dan menjaga hal-ihwal alam semesta.
Al-Quran telah menyatakan bahwa sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat ilahiyah. Allah SWT berfirman, “…Bukankah penciptaan dan kekuasaan itu milik Allah?…” (QS. Al-A’raf: 54). Juga firman-Nya, “…Tidaklah ada hukum itu melainkan bagi Allah…” (QS Al-An’am:57)
Kemudian firman-Nya, “Fir’aun bertanya, ‘Siapa Tuhan Semesta alam itu?’ Musa menjawab: ‘Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa saja yang di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian mempercayai-Nya.”
Berdasarkan bahasan di atas, dapat disimpulkan: ketika seorang muslim mengikrarkan ‘Laa ilaaha illa Allah’ maka seolah-olah dia mengatakan, “Tidak ada yang dipercayai tidak ada yang dimintai perlindungan, tidak ada yang dicintai tidak ada yang diibadahi, tidak ada yang menguasai, tidak ada yang ditaati, tidak ada yang diagungkan, tidak ada yang dijadikan tumpuan, tidak ada yang dimuliakan, dan tidak ada yang berhak menentukan hukum, melainkan Allah SWT.
Dengan demikian, bertwakkal kepada-Nya merupakan kewajbian dan meminta perlindungan kepada selain-Nya adalah penyimpangan. Cinta kepada-Nya merupakan kewajiban, dan cinta kepada selain-Nya tidak diperbolehkan, kecuali atas izin-Nya. (Sumber: Al-Islam, Sa’id Hawwa, Al-I’tishom/ 2001)
Leave a Reply