Isra’ dan Mi’raj, Antara Ujian Iman dan Rasionalitas
Allah Swt berfirman: “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Mesjidil Haram ke Mesjidil Aqsha yang telah Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Isra’: 1)
Ayat di atas menjelaskan kepada manusia tentang kekuasaa Allah, dan kesucian-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Di antara kekuasaan-Nya yang tiada taranya dengan kekuasaan makhluk, memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) dari Mesjidil Haram ke Mesjidil Aqsha dan selanjutnya menuju langit pertama sampai ke tujuh hingga Sidratul Muntaha, Arasy, Mustawa, dan Raf-raf, sebagaimana diterangkan di dalam Alquran surat an-Najm ayat 13-18.
Dimulai pengkisahan peristiwa isra’ dan mi’raj, dengan kata “subhâna” (Maha suci Allah) menunjukkan bahwa peristiwa isra’ dan mi’raj ini adalah peristiwa yang luar biasa yang hanya terjadi karena kudrat dan iradat Allah Swt, bukan atas kehendak Nabi Muhammad Saw. Hal itu dijelaskan pada kata setelah “subhâna” yaitu “asrâ bi’abdihî” yang mengandung arti transitif (menghendaki obyek), yaitu kebalikan dari lazim intransitif (tidak mengehendaki obyek). Artinya berjalan malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam waktu singkat (biasanya 1 bulan perjalanan unta berlari pada waktu itu) semata-mata itu terjadi atas kehendak Allah Swt kepada kekasihnya Nabi Muhammad Saw sekaligus sebagai mu’jizat yang menjadi ujian iman bagi orang-orang yang memahami peristiwa yang luar biasa itu.
Awal dari kisah itu sebagaimaa dituturkan oleh Ummu Hani’, salah seorang sahabat Rasul Saw, dan juga sepupu beliau. Malam itu Nabi Muhammad Saw menginap di rumahnya, dan sesudah salat malam Ummu Hani’ tidur dan sebelum fajar Rasulullah membangunkan sepupunya itu, dan menceritakan bahwa beliau (Nabi Saw) setelah salat malam pergi ke Baitul Maqdis dan melaksanakan salat di sana kembali ke Mekkah. Dan setelah panjang lebar peristiwa itu diceritakan kepada Ummu Hani’, maka Ummu Hani’ mengusulkan agar peristiwa ini tidak diceritakan kepada orang banyak, khawatir mereka akan mendustakan Nabi Muhammad Saw dan mengganggu ketenangan beliau.
Akan tetapi, Nabi Muhammad Saw telah berketetapan hati untuk menceritakan kepada orang lain sesuai dengan pengalaman yang telah dijalaninya.
Mengingat perjalanan dari Mesjidil Haram ke Mesjidil Aqsha menenempuh waktu yang cukup lama yaitu 1 bulan perjalanan unta berlari, maka cerita itu ditolak oleh orang-orang kafir karena tidak rasional dan tidak masuk akal.
Bahkan sebagian orang Islam ada yang bimbang jika peristiwa itu terjadi dengan fisik dan ruh secara bersamaan. Sehingga para sahabat ketika itu terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, menerima dan meyakini bahwa isra’ dan mi’raj benar-benar terjadi dengan fisik dan ruh Nabi Muhammad Saw tanpa mendasari atas pertimbangan rasional mereka itu diwakili oleh Abu Bakar Siddiq (dan penamaan Abu Bakar dengan Laqab/gelar Siddiq artinya percaya disebabkan oleh peristiwa itu).
Kelompok kedua, kelompok para sahabat-sahabat yang meyakini bahwa peristiwa isra’ dan mi’raj benar-benar terjadi, akan tetapi hanya dengan ruh saja, yaitu merupakan perjalanan ruhani Nabi Muhammad Saw. Kelompok ini mendasari keyakinannya atas ucapan Ummu Hani’ dan Aisyah yang menyatakan bahwa beliau semalaman tidur dan tubuhnya tetap saja di tempat tidur.
Dan pendapat yang terakhir ini dibantah oleh mayoritas ulama, karena perkataan Aisyah bahwa beliau tidak pernah kehilangan jasad Rasul Saw di waktu malam tidak dapat diterima, karena beliau belum bersama Nabi Muhammad sewaktu di Mekkah, karena sejarah membuktikan bahwa peristiwa isra’ dan mi’raj terjadi di Mekkah di Mesjidil Haram, sedangkan Nabi tidur bersama dengan Aisyah setelah beliau hijrah ke Madinah.
Perlu digaris bawahi, meskipun ada kelompok sahabat yang menerima peristiwa dan meyakini isra’ dan mi’raj itu terjadi dengan ruh saja, tidak dengan jasad dan ruh secara bersamaan, namun mereka tidak sampai menolak atau mengingkari peristiwa itu telah terjadi. Berbeda dengan orang-orang musyrik pada ketika itu dengan alasan tidak masuk akal mereka mengingkari dan mendustakan bahwa isra’ dan mi’raj tidak pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw, mereka itu diwakili oleh Abu Jahal dan kawan-kawannya. Ketika Nabi Muhammad Saw menceritakan hal ini kepada orang banyak, Abu Jahal meminta kepada Nabi Muhammad untuk mengangkat kaki sebelah, dan kemudian menyuruhnya untuk mengangkat kedua-duanya, tentu Nabi Muhammad tidak mampu melakukannya. Lalu bagaimana Nabi Muhammad S.a.w. bisa naik ke langit sedangkan beranjak dari temtap saja tidak mampu. Atas dasar ini orang kafir mendustakan Nabi Muhammad sekaligus apa saja yang disampaikan oleh Nabi, rasional atau tidak tetap mereka tolak.
Penulis memahami bahwa persoalan rasionalitas atau tidaknya peristiwa isra’ dan mi’raj tergantung pada pengalaman dan kepercayaan seseorang. Jika ada seseorang yang menceritakan kepada orang-orang primitif bahwa sebuah benda yang dipegang oleh seorang manusia bila dilepaskan tidak akan jatuh ke bawah tapi naik ke atas, lalu masyarakat primitif pasti menolaknya, karena orang primitif tidak pernah melihat seseorang yang melepaskan benda dari tangannya lalu terbang ke atas, dan konsekwensinya dia pasti tidak akan percaya sampai mati.
Demikian pula kalau seseorang tidak percaya pada seorang insinyur yang belum berpengalaman membangun gedung yang tinggi dan tidak percaya dengan hitungan matematika dan material yang diperkirakan, dapat dipastikan dia tidak yakin dengan ucapannya dan cara kerjanya. Apalagi seorang pilot yang mengendalikan pesawat yang belum mengantongi jam terbang yang tinggi dan tidak menguasai peta perjalanan, atau tidak mengikuti rumus peta penerbangan orang-orang yang telah berpengalaman sebelumnya, pasti mereka tidak akan mau terbang dengan pesawat secanggih apapun yang diterbangkan sang pilot tersebut.
Pada akhirnya orang-orang yang terlalu rasionalisme dan mengandalkan akal semata, mereka akan susah hidup, karena betapa banyak urusan kita yang kita percayakan kepada orang lain untuk menyelesaikannya, sedangkan kita hanya mendasari atas pengalaman mereka dan kepercayaan. Pantaslah kaum rasonalis dan liberalis sangat sulit untuk menerima doktrin-doktrin Islam karena mereka masih primitif dalam keislamannya. Wallahua’lam bil ash-shawab. (sumber:abatasa.co.id)
Leave a Reply