Syahadatain Membentuk Pemeluknya Selaras dengan Sunnatullah

Sayyid Qutb dalam bukunya “Ma’alim fi Ath-Thariq” (Petunjuk Jalan) menulis tema, Sunnatullah di Alam Raya, menyatakan “Islam telah mendirikan bangunan kepercayaan dalam hati nurani dan dalam kenyataan, berdasarkan penghambaan diri secara sempurna hanay kepada Allah, sehingga menjadikan penghambaan diri ini sama-sama terwujud dalam kepercayaan, ibadah dan perundang-undangan, dengan memandang bahwa penghambaan diri secara sempurna hanyalah kepada Allah SWT saja.

Dalam bentuknya seperti ini, adalah petunjuk praktis dari syahadat laa ilaaha illa Allah, dan bahwa menerima cara penghambaan diri ini dari Rasulullah SAW saja, adalah petunjuk praktis dari syahadat Muhammad Rasulullah.

Pada waktu Islam mendirikan bangunannya dalam bentuk yang unik ini, yang menyebabkan berbeda dari sistem-sistem lain yang pernah dikenal manusia, maka sesungguhnya pada waktu itu, Islam kembali pada suatu sumber yang serba mencakup dalam penetapannya tentang seluruh yang ada dalam alam semesta; bukan tentang adanya manusia saja. Islam kembali kepada metode seluruh alam semesta, bukan kepada metode kehidupan manusia saja.

Konsepsi Islam itu berdiri atas dasar bahwa seluruh yang ada ini adalah ciptaan Allah. Iradat Allah menghendaki bahwa semuanya itu ada, maka adalah Dia Allah Yang Maha Suci telah memberiakn kepadanya hukum-hukum yang menggerakkannya. Dengan hukum-hukum itu, terjadilah sinkronisasi gerakan antara bagian-bagiannya, dan seluruh gerakannya menjadi serasi.

Dalam QS An-Nahl ayat 40 Allah SWT berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu, apabila Kami menghendakinya Kami hanya berkata kepadanya,’Jadilah! Maka jadilah dia’.”

Dalam QS Al-Furqan ayat 2, Allah SWT berfirman, yang artiya, “…Dan telah diciptakan-Nya segala sesuatu, dan diberikan-Nya ukuran-ukurannya dengan sempurna.”

Di balik setiap yang ada di dalam semesta ini, terdapat suatu kehendak yang mengaturnya, suatu takdir yang menggerakkannya dan suatu hukum yang mengaturnya. Hukum ini mengatur hubungan antara unit dari segala yang ada ini, mengatur semua gerakannya, sehingga tidak saling bertabrakan, tidak rusak dan tidak saling bertentangan, dan tidak berhenti semua gerakannya yang teratur dan berlangsung terus-menerus itu, sampai kepada suatu masa yang telah dikehendaki Allah.

Demikian juga seluruh alam semesta ini tunduk berserah diri kepada yang mengaturnya, takdir yang menggerakkannya dan hukum yang menyelaraskannya, sehingga tidak pernah satu detik pun terpikir olehnya untuk memberontak terhadap kodrat itu, atau melawan takdir, atau melanggar hukum.

Karena semua yang disebutkan itu, alam semesta ini menjadi baik, tidak ditimpa oleh kehancuran dan kebinasaan, selain kalau Allah SWT telah menghendakinya demikian. Dalam QS Al’Araf: 54, Allah SWT berfirman, yang artinya, “Tuhan yang menjagamu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Ia meninggi dia atas Singgasana. Ia-lah yang menutupi siang dengan malam, yang masing-masing mengikutinya dengan cepat. Ia ciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang, semuanya diatur dengan undang-undang dengan perintah-Nya. Bukankah Ia Yang Menciptakan dan Memerintah? Mahasuci Allah, Tuhan seru sekalian alam.”

Manusia adalah sebagian dari makhluk yang ada di alam semesta ini. Undang-undang yang mengatur fitrah manusia itu tidak terpisah dari hukum yang mengatur dari seluruh yang ada ini. Manusia telah diciptakan Allah sebagaimana Ia menciptakan segala yang lain, dan dipandang dari segi materinya ia terbuat dari tanah dunia ini.

Ciri-ciri khas tambahan yang telah diberikan Allah kepadanya, selain dari materi tanah itu, yang telah menjadikannya manusia, hanyalah sesuatu yang telah ditakdirkan Allah baginya. Dipandang dari segi wujud tubuhnya ia tunduk kepada hukum alam yang telah dibuatkan Allah baginya, baik ia senang akan hal itu atau tidak.

Semenjak dari semula, wujud dan bentuknya telah dibentuk dengan kehendak Allah, bukan dengan kehendak dirinya sendiri, dan bukan pula dengan kehendak kedua orang ibu-bapaknya. Memang kedua orang itu telah bertemu, tetapi mereka saja tidak berkuasa untuk mengadakan janin (fetus). Ia lahirkan sesuai dengan hukum Allah (nomos) tentang masa hamil dan suasana di mana ia dilahirkan.

Ia bernafas dengan memakai sejumlah udara, dan dengan cara yagn telah ditentukan Allah baginya, ia mengindera dan merasa sakit, merasa haus dan lapar, makan dan minum, mencari makanan dan minuman, sesuai dengan hukum Allah, tanpa kehendak dan pilihan manusia itu snediri. Keadaan manusia dipandang dari segi ini sama dengan keadaan seluruh alam semesta ini, sama dnegan semua orang dan benda yang ada dalam alam semesta itu. Yaitu dalam hal ketundukan mutlak kepada kehendak, kadar dan hukum Allah…(sumber: Sa’id Hawwa, Al-Islam, Al-I’tishom, 2002)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>