Yang Paling Bahaya Jika Melayani Rumah Tangga Disebut Perbudakan Seksual
Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dikritisi. Salah satunya mengenai konsep pada Naskah Akademiknya, yang menyebut “melayani rumah tangga” termasuk “perbudakan seksual”.
“Ketika perempuan melayani rumah tangga disebut sebagai perbudakan seksual, ini yang paling berbahaya dari RUU ini,” ungkap Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, Rita Soebagio, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa, 24 Sya’ban 1437 (31/05/2016).
Rita menyampaikan itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Fraksi PKS. Kehadiran AILA diterima oleh anggota Badan Legislatif Matri Agung dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amalia.
AILA berpandangan, jika melihat Naskah Akademiknya, konsep seksualitas pada RUU tersebut benar-benar mengadopsi konsep Barat yang liberal. “Konsep mereka sangat individualistis,” ujar Rita. [Baca: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dipandang Perlu Diwaspadai]
Meskipun, menurutnya, RUU tersebut dalam perkembangannya sudah mengalami beberapa perubahan. “Sampai di titik mana RUU ini sekarang, ingin kita lihat,” ujarnya.
Dinilai Tak Sesuai Norma Agama
Dalam salinan Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang didapatkan hidayatullah.com, Selasa itu, pada Kajian Teoritis & Praktek Empiris disebutkan tentang Perbudakan Seksual.
Tertulis: “Perbudakan Seksual adalah situasi dimana pelaku merasa menjadi ‘pemilik’ atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual.
Perbudakan ini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.”
Selain itu, tertulis pula: “Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual adalah cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan.
Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.”
RUU tersebut diajukan ke DPR RI oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Rita menilai, konsep dalam RUU itu sangat tidak sesuai dengan norma-norma agama Islam.
Kedatangan AILA ke DPR bersama sejumlah lembaga lain, seperti BMOIWI, DDI, CGS, KIPIK, GIGA, Mushida, dan lain-lain. (sumber: hidayatullah)
Naskah Terkait Sebelumnya :
- Hindari Predator Seksual Anak dengan Islam
- Jelang Pensiun Uskup Glouchester Jadi Tersangka Kejahatan Seksual
- Komite PBB Akan Periksa Pejabat Vatikan Atas Kekerasan Seksual Anak
- KPAI: Indonesia jadi Surga Predator Kekerasan Seksual Anak
- Vatikan Bentuk Komisi Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual di Gereja
Indeks Kabar
- Arab Saudi Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Iran
- Seorang Biksu Anti-Islam Sri Lanka Dipenjara Enam Bulan
- 800 Warga Hindu India Masuk Islam
- 1.000 Pemukim Yahudi Serbu Sebuah Kuil di Tepi Barat
- Visit My Mosque, Ajang Tumpas Islamofobia Inggris
- Bentrok di Komplek Al-Aqsha, Aparat Israel Kian Agresif
- ICMI Ingatkan Ajakan Memilih Pemimpin Muslim Bukan SARA
- Rakyat Taiwan Menolak Legalisasi Perkawinan Homoseksual
- Mualaf Majelis Az-Zikra 657 Orang
- Usai Berdakwah, KH. Ali Mustafa Yaqub Hembuskan Nafas Terakhir
-
Indeks Terbaru
- Lebih dari 16.000 Madrasah di Uttar Pradesh India Ditutup
- Selamat Idul Fitri 1445 H, Mohon Maaf Lahir-Batin
- Baznas Tolak Bantuan Palestina dari McDonald’s Indonesia
- Malam Lailatul Qadar, Malaikat Berhamburan ke Bumi
- Puasa Ramadhan Menghapus Dosa
- Paksa Muslimah Lepas Hijab saat Mugshot, Kepolisian New York Ganti Rugi Rp 278 Miliar
- Dari Martina Menjadi Maryam, Mualaf Jerman Bersyahadat di Dubai
- Al Shifa, Rumah Sakit Terbesar di Gaza Dihabisi Militer Zionis
- Tiga Macam Mukjizat Alquran
- Prof Maurice, Ilmuwan Prancis yang Jadi Mualaf Gara-Gara Jasad Firaun
Leave a Reply