Dua Pertanyaan Ibunda Sebelum Julie Rudy Bersyahadat
“Saya bertemu Saleh Rudy di sebuah pusat perbelanjaan di Minnesota. Dari pertemuan yang tak disengaja, kemudian berlanjut pertemuannya dengan ibuku dalam sebuah makan malam. Dia berasal dari budaya, agama, bahasa, dan segala sesuatu yang berbeda. Namun, ibu saya hanya mengatakan, ‘Dia sangat cocok untukmu’,” ujar Julie Rudy mengawali awal mula perjalanannya menuju hidayah.
Ya, dari Saleh Rudy yang kemudian menjadi suaminya itulah, Julie mengenal Islam. Dalam waktu singkat, dia memilih memeluk Islam. Jalan menuju Islam bagi Julie sangat mulus. Ia mendapat teman Muslimah, kemudian ibu dan keluarganya pun menerimanya sebagai seorang mualaf.
Tak ada hambatan ataupun tantangan, kecuali dari dalam dirinya. Tentu saja, ia mendapati hidayah dari sang suami, namun ia ingin menjalankan Islam dari hati. Mudah bagi Julie saat menuju jalan Islam, namun ia berusaha keras saat menapaki jalan lurus dan tetap istiqamah.
Julie merupakan warga Amerika dari ayah berkebangsaan Jerman dan ibu Norwegia. Sejak kecil, ia tak mengenal apa itu Islam dan tak pernah mengenal seorang Muslim pun. Pasalnya, ia dibesarkan di sebuah kota kecil berpenduduk 1.500 orang dengan 13 gereja dan sinagog. Tak ada satu pun masjid dan tak ada satu pun Muslim di sana.
Hingga menjelang dewasa, Julie kuliah kemudian bekerja di Universitas Minnesota. Di sana, ia baru mengenal seorang Muslim. Namun, ia enggan bercakap dengan mereka karena minimnya pengetahuan Julie tentang mereka.
“Karena aku dibesarkan di sebuah kota kecil dan tak ada Muslim di sana, aku tak tahu apa-apa tentang Islam. Aku dikelilingi oleh orang-orang Kristen. Tapi, kemudian saat pergi ke University of Minnesota, aku bertemu beberapa Muslim di sana. Aku tidak tahu apa-apa tentang mereka dan amat malu untuk berbincang dengan mereka,” ujarnya, dalam sebuah program televisi Algeria “They Choose Islam” via Youtube.
Meski merasa asing dengan Muslim, Julie justru kemudian bertemu dengan Saleh Rudy. Dari pertemuan tak sengaja, keduanya pun berbincang. Inilah kali pertama Julie mengenal Muslimin lebih dekat. Dari Saleh, ia pun kemudian bertanya tentang keluarga Muslim, dan tentu saja, tentang Islam. Dalam waktu singkat, mereka menjalin hubungan serius.
“Aku ingin ibu bertemu Saleh. Aku pun mengajak mereka makan malam. Aneh rasanya karena ibuku sangat santai dan setelah 15 menit bertemu Saleh, dia hanya berkata, ‘Dia sangat cocok untukmu’,” ujarnya dengan pipi memerah, mengenang.
Julie pun kemudian menikah dengan Saleh. Sangat mudah proses Julie menjadi mualaf. Ia mengenal Saleh, belajar Islam darinya, lalu menikah, dan masuk Islam. Namun, setelah membangun rumah tangga, Julie pun menghadapi proses menuju hidayah yang sebenarnya. Ia mulai merasa belum beragama dengan baik. Ia mengaku melanggar banyak hal meski telah menjadi Muslim.
“Saat saya bersyahadat, saya pun hanya mengenakan syal kecil yang diikat di belakang. Cukup lama saya akhirnya memutuskan berjilbab. Itu pun karena didorong oleh teman Muslim saya. Saya juga tidak baik saat menjalankan shalat setelah menjadi Muslim,” ujar Julie.
Hingga terjadi satu peristiwa yang sangat ia sesali. Saat menjadi Muslim, ia kehilangan banyak teman. Saleh sudah mengingatkannya sebelum Julie menjadi Muslim. Namun, Julie tak menganggapnya sebagai masalah. Hingga ia benar-benar kehilangan teman-temannya setelah ber-Islam. Tentu saja, karena ia tak lagi keluar malam untuk minum-minum sebagaimana kebiasaan pemuda Amerika.
Hidayah Setelah menyadari dirinya tak sepenuhnya berislam, Julie pun ingin mempelajari Islam lebih mendalam. Isi hati Julie pun dicurahkan pada sang suami. Dengan bijak sang suami hanya berkata memberikan semangat,
“Bahkan, aku yang dilahirkan sebagai Muslim pun tak tahu segala sesuatu tentang Islam. Karena itulah Muslimin memiliki orang-orang yang berpengetahuan dan pergi belajar pada mereka. Mereka adalah orang-orang yang banyak mengetahui tentang Islam,” ujar Saleh pada Julie.
Dari situ Julie pun bersemangat mempelajari Islam. Ia mulai menjalin hubugan dengan banyak Muslim dan menghadiri kajian-kajian Islam. Ia mengenakan jilbab dengan keinginan hati. Ia mengingat saat pertama kali jatuh cinta pada Islam melalui perantara suaminya, yakni tuntunan Islam yang mengajarkan tingkah laku yang baik.
“Islam mengajarkan kepada semua orang bahwa kita bertanggung jawab atas perbuatan kita. Jadi, jika kita melakukan sesuatu yang tidak benar, maka kitalah yang menanggung akibatnya. Suami saya meyakinkan bahwa melakukan hal-hal yang baik itu sangat mudah. Banyak cara yang dapat dilakukan agar kita menjadi orang baik. Saya sangat banyak belajar Islam,” ujar Julie yang saat ini telah menjadi Muslimah lebih dari 30 tahun.
Namun suatu hari, teman-temannya tiba-tiba mengajaknya makan siang. Mereka memesan minuman keras meski Julie berada di antara mereka. Julie yang baru saja memeluk Islam tentu saja tak kuat menahan godaan.
“Aku merasa seperti duduk di antara pin dan jarum. Aku merasa sangat tidak nyaman berada di sana dan setelah aku pergi, aku berkata aku tidak akan pernah melakukan itu lagi,” kata Julie menyesal.
Terdapat momen yang selalu Julie ingat saat memeluk Islam, percakapan dengan ibunya. Julie merasa berat saat ingin mengabarkan keinginannya menjadi Muslim. Hingga kemudian, Julie pun memutuskan untuk menelepon sang ibu.
“Aku punya waktu yang sulit mengatakan kepada ibuku. Jadi, aku hanya mengatakannya melalui telepon, dan itu momen yang sangat emosional dan sangat sulit bagiku,” ujarnya.
Namun tanpa sangka, sang ibu menjawab sangat ringan. Ia mengizinkan Julie menjadi Muslim. “Aku meneleponnya dan berkata, ‘Mum, aku memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.’
Dia berkata, ‘Aku punya dua pertanyaan: Apakah kamu masih percaya pada Tuhan?’ Aku jawab, ‘Ya, tentu.’ Dia bertanya, ‘Apakah itu membuat kamu bahagia?’ Aku pun menjawab, ‘Ya, aku pasti akan bahagia.’
Ibu pun berkata, ‘Di luar itu, bukanlah masalah. Kau harus melakukan apa yang membuatmu bahagia,” ujar Julie mengisahkan momen indah yang selalu ia ingat tentang ibunya. (sumber: ROL)
Leave a Reply