Hasad Biang Kehancuran
“Wahai ayah kami! Kami tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi (jika tidak membawa saudara kami).” Saudara-saudara Yusuf kembali memelas di hadapan ayahnya, Nabi Ya’qub.
Kali ini mereka melaporkan usahanya memperoleh bantuan gandum kedua kalinya dari negeri Mesir. Sebelumnya mereka telah dipesan oleh pembesar negeri Mesir.
Jika ingin kembali lagi, hendaknya datang bersama Bunyamin, saudara kalian yang bungsu. Demikian pesan Yusuf, pembesar kerajaan tersebut. ”..sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama kami agar kami mendapat jatah dan kami benar-benar akan menjaganya.”
Dialog saudara Yusuf tersebut juga direkam oleh al-Qur’an QS. Yusuf [12]: 63. Bagi yang membaca kisah Nabi Yusuf, tentu tahu seperti apa karakter Yusuf dan Bunyamin, adik kandungnya.
Sebagaimana ia juga mesti paham bagaimana tabiat saudara-saudara tirinya yang memendam dengki sejak Yusuf masih kecil. Lihatlah, betapa indahnya ucapan di atas yang disampaikan kepada ayahnya. Padahal dulunya karena iri hati, mereka pernah sengaja membuang Yusuf kecil ke sebuah sumur tua.
Selanjutnya, kepada ayahnya, Nabi Ya’qub, saudara tiri Yusuf itu lalu kompak berdusta, bahwa Yusuf diterkam serigala saat mereka sedang bermain. Uniknya, kini mereka kembali menghadap kepada Nabi Ya’qub, mengakui Yusuf sebagai saudara mereka yang layak dijaga.
Asalkan mereka bisa mendapat jatah gandum kembali di Mesir. Kata mereka, “Fa arsil ma’ana akhana” yang artinya “Sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama kami…”
Cuci Tangan
Kata orang bahasa adalah soal rasa. Sedang rasa merupakan cermin daripada akhlak. Adapun akhlak, bagi orang beriman, ia bukan cuma kebiasaan, tapi sebagai buah dari keyakinan yang menancap di dada.
Sayangnya, bahasa yang indah yang ditutur oleh saudara-saudara Yusuf itu hanya bersifat musiman saja. Buktinya, ketika Bunyamin terkena masalah dalam perjalanan. Mereka justru ramai-ramai “cuci tangan”.
Tak mau direpotkan atau disangkutkan, apalagi sampai diminta menanggung beban tersebut. Mari cerna bahasa mereka sekarang. Kepada ayahnya mereka melaporkan kejadian itu. “Inna ibnaka saraqa…”Sesungguhnya anakmu telah melakukan tindak pidana pencurian.
Itulah yang mereka paparkan kepada Nabi Ya’qub, orang tua yang penyabar. Bisa dikata ucapan itu keluar tanpa beban, tanpa rasa, dan tanpa cela. Boleh jadi mereka merasa tak lagi mendapat keuntungan dari kehadiran saudaranya, Bunyamin.
Akibatnya ucapan itu keluar spontan begitu saja. Seolah saudara-saudara Bunyamin dan Yusuf itu tak pernah beroleh manfaat dari saudaranya sebelumnya.
Kemana gerangan sapaan indah itu, “akhun” saudara atau “akhana” saudara kami, sebagaimana saat mereka membutuhkan Bunyamin untuk sekantung gandum.
Mengapa yang tercetus justru ucapan “ibnaka saraqa” anakmu yang mencuri. Bukankah mereka masih saudara yang sejak dulu tumbuh berkembang bersama-sama di bawah asuhan nabi Ya’qub?
Disadari, arus materialisme dan individualisme kian menggerus tatanan masyarakat sekarang.Dengannya orang lalu menilai sesuatu hanya karena tolak ukur materi dan kepentingan duniawi. Bahkan tak jarang, orang itu tega menari di atas lara saudaranya yang seiman. Seharusnya umat Islam tersadar dengan keadaan di atas.
Apalagi baru saja kaum Muslimin di negeri ini melewati momen-momen yang sangat indah. Yaitu persatuan umat Islam Indonesia lewat tiga episode Aksi Bela Islam, jilid I, II, dan III. Bahwa kekuataan itu lahir jika dirajut melalui ukhuwah imaniyah.
Sedang kehancuran itu timbul jika potensi dan talenta yang dipunyai hanya dibiarkan berserak begitu saja. Bahkan tak jarang umat Islam sendiri yang bertikai dan menaruh curiga sesamanya.
Terakhir mari mengikis habis penyakit iri hati atau hasad. Sebab itulah sumber kelemahan dan kerusakan selama ini. Ibarat virus, hasad itu akan menggerogoti iman dan ukhuwah.
Akibatnya mengaku bersaudara, tapi yang ada justru saling curiga dan saling sikut selamanya. (sumber: hidayatullah)
Leave a Reply