Hukum Cerai Melalui SMS

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Ustadz yang saya hormati di meja fatwa, saya sedang menghadapi masalah fikih kontemporer yang cukup membingungkan. Begini masalahnya, beberapa waktu lalu istri saya mendengar kabar –entah dari mana– bahwa saya berniat menikah lagi. Kemudian tiba-tiba saya menerima pesan lewat SMS bahwa istri saya telah rela menerima keputusan penceraiannya dari saya. Padahal saya tidak menyatakan demikian.

Bagaimanakah sikap saya, apakah telah jatuh talak dengan adanya pesan cerai melalui SMS tersebut atau dianggap tidak ada apa-apa? Sebab setelah istri saya mengirim SMS tersebut tidak mau bercampur lagi dengan saya. Bagaimanakah sebenarnya hukum cerai dan nikah melalui SMS. Mohon penjelasannya dari perspektif fikih kontenporer.

Demikian terimakasih atas penjelasannya, semoga Ustadz senantiasa mendapatkan pertolongan Allah untuk setia mengasuh rublik tercinta ini.

Jazakumullah khairan katsiran.

H.M. Ibrahim

Depok, Jawa Barat

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu.

Tidak dapat dielakkan lagi bahwa teknologi informasi dan media komunikasi semakin hari bertambah maju dan arus budayanya semakin deras, yang menurut futurologi kondang John Naisbitt dalam bukunya High Tech, High Touch; Technology and Our Search for Meaning (1999) semakin menggiring masyarakat ke “zona mabuk teknologi”, yang ditandai dengan berbagai gejala sosiologis, yaitu 1) kita lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama sampai masalah gizi; 2) kita takut sekaligus memuja teknologi; 3) kita mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu; 4) kita menerima kekerasan sebagai suatu hak dan yang wajar; 5) kita mencintai teknologi dalam wujud mainan; dan 6) kita menjalani suatu kehidupan yang berjarak dan terenggut.

Fenomena penggunaan beragam dari short mesagge service yang popular dengan sebutan SMS, yaitu pesan singkat berupa teks melalui telepon seluler, merupakan gejala kontemporer dari perkembangan teknologi komunikasi dan seluler yang digandrungi mayoritas penduduk dunia. Hal itu tidak jarang menimbulkan masalah kontroversial, termasuk masalah cerai dari sudut kacamata agama yang belum begitu popular. Bahkan cerai via SMS tersebut di Indonesia memang belum begitu popular, bahkan dari kalangan feminis dan lembaga-lembaga kewanitaan pun belum kita dengar pandangan mereka tentang hal ini.

Kontroversi ini bermula dari ulah seorang pria di Dubai, Uni Emirat Arab, yang tengah menceraikan istrinya melalui pesan SMS karena kesal dengan lambatnya sang istri, dengan bunyinya, “Kamu saya ceraikan karena lambat!” Masalah tersebut akhirnya dibawa ke pengadilan dan diputuskan cerai (jatuh talak). Alasannya, menurut Kepala Bagian Talak Rujuk di Pengadilan Dubai, Abdus Salam Darwish bahwa pengirim SMS terbukti –sang suami– memang bersungguh-sungguh ingin menceraikan sang istri.

Gejala kontroversial tersebut juga menjalar ke Malaysia dan Singapura, yang kemudian saya dengar untuk pertama kali merembet ke Indonesia melalui kasus saudara yang versinya agak sedikit berbeda. Sebagaimana kasus di Dubai, Pengadilan Malaysia dan Singapura juga mengukuhkan perceraian, sebagaimana dinyatakan oleh Mufti Kuala Lumpur, Datuk Hisyam Yahya, dan petugas Pengadilan Agama, Singapura Shaifuddin Saruwan bahwa perceraian itu sah setelah melalui proses pengadilan.

Sebelum menjelaskan hukum dari perspektif fikih beserta alasannya dan dalilnya, perlu diklarifikasi bahwa pesan SMS yang saudara terima dari istri tersebut, kalau memang saudara tidak menyatakan cerai, maka hal itu masuk dalam pembahasan bab Khulu’, yaitu gugatan cerai yang biasanya di ajukan oleh pihak istri, dan keputusan cerai tetap dikembalikan kepada suami tanpa harus melalui proses pengadilan, baik jawaban mengiyakannya secara langsung atau tidak melalui SMS. Asalkan memang akurat dan benar bahwa adanya pengirim jawaban SMS memang dari sang suami dan gugatan Khulu’ tersebut memang benar dari pihak istri.

Dalam hal ini terdapat alasan kuat yang syar’i (dibenarkan syariat), maka pengadilan (hakim agama) sebagai waliyul amri berhak dan berwenang memutuskan cerai, meskipun sang suami menolak cerai, agar tidak menyiksa dan menggantungkan nasib (status) istri, seperti alasan tidak terpenuhinya hak-hak dan nafkah istri. Maka hal itu efektif jatuh talak, dengan atau tanpa jawaban yang mengiyakan tentang persetujuan khulu’ dari sang suami.

Khulu’ menurut bahasa artinya ‘mencabut dan menghapus’. Yang dalam istilah fikih berarti ‘mencabut dan mengenyahkan ikatan pernikahan’ (naz’wa izalah az-zaujiyah), baik dilakukan oleh seorang istri, wali, maupun hakim dengan memberikan kompensasi sejumlah materi (‘iwadh) kepada sang suami menurut keputusan pengadilan atau kesepakatan suami istri. Namun, yang perlu diingat adalah bila terjadi perceraian karena persetujuan khulu’ (gugatan cerai dari pihak istri), maka jatuh talak bain, terutama menurut kalangan ulama Malikiyah yang berimplikasi haram bagi keduanya untuk rujuk kembali selama-lamanya sampai sang istri menjanda lagi setelah menikah dan telah berkumpul dengan pria lain (lihat: ad-Durrul Mukhtar, II/766, Fathul Qadir,II/199, Mughnil Mukhtaj, III/262, Bidayatul Mujtahid, II/66, al-Mughni,VII/51).

Namun demikian, kalau memang alas an khulu’ sang istri belum belum kuat, maka sebaiknya dipertimbangkan kembali secara masak, karena dalam hal ini soal suami mau menikah itu masih isu atau memang akan dimadu. Sebab, perceraian adalah kalau pun harus terjadi, maka menurut Nabi, hal itu merupakan suatu yang boleh namun tetap paling dibenci Allah Swt. Demikian pula perlu dipikir masak-masak, apakah keinginan poligami (kalau memang isu itu benar adanya) sudah tepat, dengan melihat berbagai kondisi riil antara mudharat dan maslahatnya.

Hukum khulu’ sendiri memang asalnya adalah boleh (jaiz) dan efektif jauh talak menurut para ulama, termasuk kalangan Syafi’iyah, karena kebutuhan kaum istri untuk membebaskan dirinya dari ketersiksaan ikatan asasi wanita dan menghargai eksitensi dan kemerdekaannya. Namun demikian tetap dipandang sesuatu yang makruh (dibenci Allah) bila hal itu dalam kondisi yang normal tanpa alasan kuat yang syar’i (al-Baqarah: 229, an-Nisa: 4 dan 128). Nabibersabda, “Seorang istri mana pun yang menggugat cerai kepada suaminya tanpa suatu alasan (kuat), maka diharamkan baginya aroma surga.” (HR al-Khamsa kecuali Nasa’i).

Dalam hal adanya alasan kuat maka sang suami disunahkan untuk mengabulkan gugatan cerai istri (khulu’) tersebut ,sebagaimana dalam kisah Tsabit bin Qais yang mengabulkan khulu’ istrinya dengan menerima sebidang kebun yang dikembalikan sang istri kepadanya sebagai ‘iwadh’ atas persetujuan khulu’ tersebut menurut saran Nabi Saw. (HR. Bukhari , Nasa’i, Ibnu Majah. Lihat : Kasyaful Qina; V/237, Nailul Authar, V/246).

Ada pun masalah menjatuhkan cerai (talak) melalui SMS yang dikirimkan seseorang kepada istrinya dengan atau tanpa alasan penceraiannya yang diterima syariah, maka kita kembalikan dahulu prinsip pernikahan dan perceraian dalam Islam adalah suatu hal yang sakral, serius, penuh amanah, tanggung jawab, dan pesan keadilan sehingga Nabi Saw mewanti-wanti untuk tidak main-main, sebab masalah tersebut bukan pada tempatnya untuk dipermainkan dan apapun caranya dinilai serius dan berlaku efektif.

Sebabnya, “Tiga hal yang serius, adalah serius hukumnya dan candanya adalah juga serius hukumnya: nikah, talak, dan memerdekakan budak. Dan hukum asal pernikahan adalah konsisten. tetap melangsungkan tali pernikahan sebab pudarnya tali pernikahan merupakan sesuatu hal yang paling dibenci Allah ,meskipun boleh dilakukan.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Talah (thalaq) dalam bahasa arab makna asalnya adalah ‘memudarkan kembali tali ikatan dan pelepasan,’ sebagaimana hampir mirip dengan makna etimologi khulu’. Namun biasanya khulu’ dipakai sebagai gugatan cerai dari pihak istri, sementara talak sebagai penjatuhan cerai dari suami, yang dalam terminologi syariah penjatuhan talak harus memakai lafal (redaksi) eksplisit yang jelas dan dimengerti. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, VII/66).

Hukum talak (cerai) melalui SMS dapat dianalogikan/diqiyaskan dengan hukum cerai melalui tulisan surat biasa. Sebab ada kesamaan, keduanya merupakan pesan cerai melalui teks yang bukan verbal (lisan). Para ulama fikih (fuqaha) sepakat bahwa hal itu efektif jatuh talak (Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, VII/382).

Dalam masalah cerai melalui SMS yang sangat diperlukan, menurut para ulama, sebagaimana dalam masalah cerai melaui surat, adalah akurasi kebenaran alamat atau nomor penerima dan pengirim, serta konfirmasi niat atau kesengajaan penjatuhkan talak. Bila hal itu memang terbukti benar adanya, melalui pengecekan nomor telepon seluler keduanya dan konfirmasi langsung, maka jatuh talak satu. Hal itu sebenarnya telah efektif, meskipun tanpa melalui pengadilan sehingga segala konsekuensi harus dipenuhi secara syar’i.

Proses pengadilan hanya sebagai pengukuhan dan konfirmasi ulang duduk masalah, di samping hanya sebagai tuntutan administrasi dan kelaziman ketentuan hukum positif yang berlaku (ad-Durr al-Mukhtar, II/589). Namun demikian, meskipun SMS dapat menjadi sarana, atau media lain yang lebih gentle, kesatria, serta arif dan bijaksana, tentunya penggunaan SMS untuk cerai tersebut sangat tidak manusiawi, tidak etis, dan tidak beradab. Sebab, hal itu sangat bertentangan dengan semangat dan prinsip dasar syariah dalam ikatan (akad) pernikahan, sebagaimana disebutkan di atas terlalu menggampangkan masalah sebagai bentuk mabuk teknologi dan sebagai sikap yang paradox dan kontradiktif dengan proses dahulunya untuk dapat mencapai jenjang pernikahan yang dilakukan dengan penuh seksama dan disertai segala bentuk penghargaan dan penghormatan kepada pihak wanita. (sumber: buku “Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer”, Ust. Dr. Setiawan Budi Utomo/hidayatullah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>