Cara Rasulullah Jaga Perasaan Orang Lain

Bentuk peka menghargai perasaan orang lain, Rasul tidak pernah menjatuhkan martabat dan harga diri seseorang di muka umum, sekalipun yang bersangkutan memang bersalah. Suatu ketika, Rasul pernah membuat suatu barang, lalu menjualnya murah.

Sekelompok orang mencibir tindakan Rasul itu. Sewaktu berkhutbah, Rasul menegur aksi yang dianggap mencederai perasaan tersebut. Tetapi, sama sekali tidak menyebut nama pelakunya, apalagi menjelek-jelekkan mereka di hadapan khalayak. Cukup menyebut “ma balu aqwam”, apa gerangan yang menimpa kaum itu, demikian sabda Rasul.

Sikap yang sama juga dilakukan Rasulullah saat Ibnu Salul menebarkan fitnah atas Aisyah dalam peristiwa hadits al-ifkyang tersohor itu. Dalam sebuah sabdanya, Rasul cukup menyebutkan lelaki yang menyakiti keluarganya, tanpa mencatut nama Ibnu Salul sedikitpun.

Padahal, kejahatan itu telah menyudutkan Rasulullah dan para ahli bait. Bahkan, sikap Rasul yang menutup-nutupi nama pelakunya tersebut menimbulkan teka-teka di tengah-tengah sahabat. Siapakah sosok yang berani berbuat demikian.

Saling menjaga perasaan diterapkan pula di ranah kehidupan rumah tangga. Contoh kecil, misalnya, tidak menceritakan kekurangan pasangan di ranjang kepada keluarga terdekat sekalipun. Hal ini untuk menghindari ketersinggungan salah satu pihak akibat aibnya terungkap. Kecuali, dalam konteks bertanya perihal hukum syar’inya.

Urgensi membaca perasaan dan kondisi orang lain tersebut juga ditekankan terkait persoalan ibadah. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengisahkan bagaimana Rasul menjadikan Nabi Yusya’ bin Nun sebagai contoh kepekaan dan kejelian menangkap kondisi dan perasaan seseorang.

Yusya’ pernah bertutur, dia meminta para pejuang yang ikut serta di medan perang agar siap fisik dan mental. Ini agar selama berada di peperangan, seorang suami tidak terbayang istrinya, para tukang tak berpikir kapan mesti membangun atap rumah, dan lain sebagainya.

Atas dasar ini pula Rasulullah meminta agar pelaksanaan shalat tidak disatukan waktunya dengan jam makan, misalnya. Ini seperti penegasan hadis riwayat Muslim dari Aisyah. Di riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar, Rasul mengajarkan, bila penunaian shalat Isya berbarengan waktunya dengan makan malam maka lebih baik mendahulukan makan dan tidak perlu terburu-buru.

Karena itulah, kata Syekh al-Adawi, cerdiklah membaca perasaan dan bahasa tubuh seseorang. Perlakukan mereka secara proporsional. Jika mereka menyukai bahasa terus terang, ikuti alur kesukaan mereka. Bila cenderung empat mata, tak ada salahnya mengajak berbicara personal.

Dan, jangan sesekali mengumbar atau menjatuhkan orang lain di depan umum. Kelihaian menangkap perasaan seseorang dan menyikapinya dengan bijak merupakan bentuk kedewasaan yang nyata. (sumber: ROL)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>