Pilu Pengungsi Rohingya: Diburu di Dalam Negeri, Ditolak Negara Tetangga
Nasib pilu dialami etnis minoritas Muslim Rohingya, Myanmar. Warga paling tertindas di dunia ini lari ketakutan akibat tindakan kekerasan di negerinya, sementara ditolak negara lain saat mencari perlindungan.
Senin (28/8/2017) kemarin, penjaga perbatasan Bangladesh menolak ribuan etnis Muslim Rohingya. Kondisi ini terjadi setelah meletusnya kekerasan terburuk di Myanmar sejak bulan Oktober lalu.
Sekitar 6.000 warga etnis Rohingya terabaikan di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Mereka ditolak masuk oleh penjaga perbatasan Bangladesh.
“Sekitar 6.000 warga Myanmar berkumpul di perbatasan dan mencoba masuk ke Bangladesh,” ujar seorang pejabat senior Penjaga Perbatasan Bangladesh atau Border Guard Bangladesh (BGB), seperti dikutip AFP, Selasa 29 Agustus 2017.
Kehadiran warga Muslim Rohingya dan masyarakat Budha dari Rakhine, Myanmar, dipicu oleh serangan terkoordinasi oleh gerilyawan Rohingya. Serangan diarahkan terhadap 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer pada Jumat 25 Agustus.
Hingga saat ini dilaporkan sudah 104 jiwa tewas dalam serangan tersebut. Peristiwa tersebut merupakan yang terburuk pernah terjadi dalam lima tahun terakhir
Sebelumnya, Senin (28/08/2017), penjaga perbatasan Bangladesh juga mencegah etnis Rohingya memasuki Bangladesh. Aparat keamanan menahan dan mengusir sekitar 70 orang etnis Rohingya agar segera kembali ke Myanmar beberapa jam setelah kelompok minoritas muslim yang ketakutan ini saat mencoba melarikan diri dari serangan dan kekerasan di perbatasan Rakhine.
Menurut polisi, mereka mencegat orang-orang etnis Muslim Rohingya yang mencoba melintasi zona perbatasan ‘garis nol’.
“Mereka ditahan di 4 km di wilayah Dhaka saat mencoba untuk sampai ke Kamp Pengungsi Kutupalong yang membuat ribuan pengungsi Rohingya berantakan. Semua ditahan sebelum dikirim kembali ke Myanmar oleh penjaga perbatasan,” kata kepala polisi setempat Abul Khaer.
Beberapa dari mereka bahkan ditangkap saaat memasuki Bangladesh melalui daerah perbatasan Ghumdhum.
“Tolong selamatkan kami, kami ingin tinggal di sini, kalau tidak kami akan terbunuh,” kata Amir Hossain, seorang warga Rakhine berusia 61 tahun.
“Mereka meminta kami untuk tidak dikembalikan kembali ke Myanmar,” kata seorang polisi yang menolak mengungkapkan identitasnya.
Sementara itu, Kepala Penjaga Perbatasan Bangladesh (BGB), Manzurul Hassan Khan, mengkonfirmasi militer Myanmar menembaki warga Rohingya yang kebanyakan adalah wanita dan anak-anak ketika mereka mencoba menyeberangi perbatasan.
“Tatmadaw melepaskan lebih dari 12 senjata api dan tembakan mortir ke mereka dari perbukitan di dekat ‘garis nol’ dan mereka tidak segera memberi tahu kami mengenai tindakan tersebut,” katanya.
Kekerasan terjadi saat gerilyawarn Rohingya menyerang 30 kantor polisi pada hari Jumat lalu yang kemudian berlanjut pada hari berikutnya. Lebih dari 100 orang, sebagian besar gerilyawan, dilaporkan terbunuh.
Rakhine, wilayah termiskin di Myanmar adalah rumah bagi lebih dari satu juta orang Rohingya. Mereka menghadapi pembatasan di negara mayoritas Buddha, di mana ketegangan telah terjadi selama bertahun-tahun.
Sekitar 100.000 etnis Rohingya berkumpul di perbatasan dan mencoba memasuki Bangladesh setelah pertempuran dimulai di negara bagian barat Myanmar.
Hingga kini, penanganan terhadap sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya menjadi sebuah tantangan terbesar bagi Pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Myanmar, Pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Myanmar yang ditunjukkan memimpin Pusat Pelaksanaan Komite Pembangunan Perdamaian, Stabilitas dan Rakhine.
Peraih Nobel Perdamaian itu dituduh oleh beberapa kritikus Barat tidak bersuara terhadap pembantaian terhadap etnis Muslim Rohingya. Selama ini kelompok yang menjadi kaum minoritas paling menderita oleh serangan brutal militer Myanmar.
Rohingya ditolak kewarganegaraannya oleh Myanmar dan dianggap pengungsi gelap pemerintah Bangladesh, meski telah mendiami daerah tempat tinggalnya selama berabad-abad. (sumber: hidayatullah)
Indeks Kabar
- Kasus Islamofobia di Austria Meningkat 62 Persen
- Kritik Larangan Cadar di Universitas Pamulang, Menag: Pemakaian Cadar Harus Dihargai
- Ormas Islam Pekanbaru Tolak Kebaktian Kristen di Lapangan Umum Terbuka
- Muncul Lagi Penistaan Agama pada Panci Bertuliskan “Alhamdu Allah”
- Diantar Ibunya, Penghina Peserta Reuni Aksi 212 Minta Maaf
- Demonstran Masuk ke Masjid, Bakar Buku Islam dan Halaman Quran
- Pelihara Jenggot, Pelajar Muslim Inggris Dilarang Sekolah
- Muslim Nigeria Perkuat Pendidikan Islam dan Bahasa Arab
- Mahasiswi Kedokteran Saudi Jadi Korban Penikaman di New Jersey
- Wapres Sebut tak Perlu Ada Polisi Awasi di Dalam Masjid
-
Indeks Terbaru
- Jerman Kritik Netanyahu Terkait Peta Timur Tengah tanpa Palestina
- Heboh Xi Jinping Buat Al-Quran Versi China, Seperti Apa?
- Seorang Ibu Tunaikan Nazar Jalan Kaki Lamongan – Tuban setelah Anaknya Tuntas Hafal Al-Quran
- Menemukan Kedamaian Dalam Islam
- Dahulu Anti-Islam, Politikus Belanda Ini Temukan Hidayah
- Masjid di Siprus Yunani Diserang Bom Molotov Disertai Vandalisme: Islam tidak Diterima
- 24 Jam Sebelum Meninggal, Anthony Jadi Mualaf
- Pengadilan Turki Perintahkan Tangkap Rasmus Paludan, Pembakar Al-Quran di Swedia
- Georgette Lepaulle Bersyahadat di Usia Tua
- Uni Eropa Tegaskan Pembakaran Alquran tidak Memiliki Tempat di Eropa
Leave a Reply