Tinggalkan Kemewahan, Yahya Lebih Memilih Islam

Pria bernama lengkap Yahya Schroder ini memutuskan memeluk Islam saat usianya masih remaja, 17 tahun. Usai berikrar syahadat, Schroder terpaksa meninggalkan keluarganya dan pindah ke Potsdam dekat Berlin. Padahal, ia lahir dari keluarga dengan ekonomi berkecukupan.

“Ketika saya tinggal dengan ibu dan ayah tiri saya memiliki segalanya; sebuah rumah besar, uang, tv, dan play station. Tapi saya tidak senang. Aku sedang mencari sesuatu yang lain,” kenang Schroder.

Perkenalannya dengan Islam bermula ketika ia bertemu dengan komunitas Muslim di Potsdam melalui ayah kandungnya yang telah lebih dahulu bersyahadat pada 2001.

Schroder mengunjungi ayahnya sekali sebulan. Saat mengunjungi ayahnya, ia ikut menghadiri pertemuan komunitas Muslim yang diadakan pada Ahad. Momentum itu membuatnya mulai tertarik dengan Islam.

Sang ayah yang mulai menyadari ketertarikan putranya justru mengatakan bahwa ia tidak akan berbicara tentang Islam kepada putranya.

Ayahnya menginginkan Schroder mempelajari agama ini dari orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih besar dari dirinya.

Ayahnya tidak ingin Schroder berstatus Muslim hanya karena dirinya. Hal itu haruslah karena pengenalan dan pemahaman yang ia rasakan sendiri.

Sejak itulah, Schroder mulai mengunjungi komunitas Musim setiap bulan dan belajar banyak tentang Islam. Hingga, suatu hari ia mengalami kecelakaan yang cukup fatal saat mengikuti kegiatan tersebut.

Schroder mengikuti kegiatan renang bersama komunitas Muslim, tapi nahas, saat akan melompat ke kolam renang ia mendarat dengan kepala di bawah. Kejadian ini membuat ia mengalami luka serius, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.

Sang dokter mengatakan, luka yang dialami Schroder cukup serius sehingga jika ia melakukan gerakan gerakan yang salah maka akan menyebabkan kecacatan.

Dari sinilah kisah perjalan spiritual Schroder dimulai. Sebelum memasuki ruang operasi, salah seorang teman dari komunitas Muslimnya mengatakan sesuatu kepada dirinya. Bahwa, hidup dan mati hanya ada di tangan Allah SWT. Manusia harus percaya akan hal itu dan menikmati setiap perjalanan hidup yang diberikan oleh Sang Pencipta, termasuk bentuk ujian.

Ucapan tersebut benar-benar membantu Yahya. Ia merasa lebih baik dan siap memasuki ruang operasi. Operasi berlangsung lima jam. Schroder mulai sadar dari operasinya setelah tiga hari. Saat siuman, ia tidak bisa menggerakkan lengan kanannya. Tapi, entah mengapa ia merasa seperti orang paling bahagia di bumi ini.

“Saya mengatakan kepada dokter bahwa saya tidak peduli lengan kanan saya. Saya sangat senang bahwa Allah telah membiarkan saya hidup,” ujarnya.

Para dokter meminta Schroder tinggal di rumah sakit selama beberapa bulan.

Akhirnya, karena semangat yang ia miliki, Schroder hanya melalui masa pemulihan di rumah sakit selama dua pekan. Selama dua pekan ini, ia sudah bisa menggerakkan lengan kanannya. Bagi Yahya, kecelakaan ini banyak mengubah kepribadiannya.

Ketika Allah menginginkan perubahan dalam kehidupan seseorang, hal itu akan terjadi. Ia mulai serius memikirkan tentang dirinya dan Islam.

Keinginannya memeluk Islam begitu kuat. Ia memilih meninggalkan keluarganya, seperti ayah tiri, ibu kandung, dan gaya hidup mewah.Mualaf (ilustrasi).
Muslim Jerman

Schroder memilih tinggal bersama ayah kandungnya di sebuah apartemen sederhana. Apartemen ayahnya kecil, bahkan ia harus memanfaatkan dapur untuk tempat tinggal.

Ia mengatakan, bagi sebagian orang, kondisinya tersebut tampak seperti ia kehilangan segalanya. Namun, ia justru merasa begitu senang, seperti saat ia terbangun dari operasinya.

Hari berikutnya adalah hari pertama Ramadhan. Esoknya adalah hari pertama Schroder bersekolah di sekolah barunya. Sehari setelah itu, Yahya memutuskan untuk bersyahadat.

“Jadi, segala sesuatu yang baru bagi saya, apartemen baru, sekolah baru, dan pertama kalinya tanpa keluarga saya,” katanya.

Saat berada di sekolah barunya, Schroder mendapat perlakuan diskriminatif karena ia Muslim. Teman-temannya mengejek keyakinan yang dianut Schroder.

Schroder dipanggil dengan sebutan teroris. Bahkan, beberapa orang menyebutnya gila dan tidak percaya bahwa ia adalah warga Jerman.

Seiring berjalannya waktu, setelah 10 bulan menjadi mualaf situasi mulai berubah. Schroder berdakwah ke banyak teman sejawatnya di sekolah.

Bahkan, ia telah memiliki tempat ibadah di sekolah walaupun ia hanya satu-satunya Muslim di sekolah tersebut.

Teman sekelas yang antipati dulu kini malah tertarik berdiskusi serius tentang Islam. Bagi mereka, Islam berbeda dengan agama-agama lainnya.

Menurut Schroder, teman sekelasnya melihat Islam adalah agama yang keren. Umat Islam memiliki adab (sopan santun) dalam berinteraksi dengan orang lain.

Untuk tetap eksis, umat Islam bisa independen dan tidak bergabung dengan kelompok manapun. Di sekolahnya, terdapat tiga kelompok utama yang dikui dipergaulan. Yakni, orang-orang hip hop, punk, dan orang-orang partai.

“Semua orang mencoba untuk menjadi anggota dari satu kelompok, sehingga dapat diterima oleh orang lain. Kecuali saya! Saya bisa berteman dengan semua orang. Saya tidak harus memakai pakaian khusus untuk menjadi keren,” ujarnya.

Walaupun tidak berada dalam kelompok manapun, Schroder tetap dihormati oleh teman-temannya sebagai Muslim.

Schroder mendapatkan perlakuan istimewa dari teman-temannya. Khususnya, terkait makanan.

Ia difasilitasi saat ingin memakan makanan halal. Baginya, saat ini orang-orang Jerman sudah sangat terbuka dengan Islam dan Muslim. (sumber: ROL)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>