Menyerap Budi Pekerti Rasulullah SAW

Alquran surah al-Ahzab ayat 21 telah menerangkan, betapa pada diri Nabi Muhammad SAW terdapat suri teladan yang baik. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengungkapkan misi utamanya, Innama bu’itstu liutammima makaarima al-akhlaq. Sesungguhnya aku (Nabi SAW) diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.Jelaslah bahwa untuk menjadi umatnya yang ideal, seseorang tidak cukup mengamalkan rukun iman dan rukun islam, tetapi juga berakhlak baik.

Alangkah beruntungnya mereka yang sempat berjumpa dengan Rasulullah SAW, sekaligus beriman dan berjuang di sisinya.Bagi kaum Muslimin pada zaman sekarang, tentunya ada jarak perjumpaan dengan Nabi Muhammad SAW, yang hidup lebih dari 1.400 tahun silam.

Namun, keteladanan yang tecermin dari perikehidupannya dapat diresapi melalui buku-buku sejarah, biografi, ataupun panduan tentang sang utusan Allah SWT tercinta. Salah satunya adalah karya Dr Ahmad Muhammad al-Hufy, Min Akhlaqin Nabi.

Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Pustaka Akhlak dengan judul Rujukan Induk Akhlak Rasulullah.Buku yang terbit perdana pada Oktober 2015 itu tidak sekadar menyajikan kisah budi pekerti Nabi Muhammad SAW.

Lebih jauh, penulis yang juga alim asal Mesir itu memerinci konsep akhlak, baik secara ontologis maupun beragam perspektif atau sudut pandang tentangnya. Pokok persoalan awal yang diperkenalkannya adalah apa itu akhlak dan mengapa akhlak islami menjadi penting.

Pembaca kemudian diajak untuk menelusuri berbagai pemikiran para filsuf, sejak zaman pra-Islam hingga era modern, yang membahas landasan perbuatan baik. Di dalam buku ini, tampak bahwa Muhammad al-Hufy tidak membatasi karyanya hanya bagi kalangan Muslim, tetapi juga khalayak umum yang ingin menyelami way of life sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi SAW.

Oleh karena itu, pada bab berikutnya penulis buku tersebut menempatkan Islam sebagai basis dan ketakwaan kepada Allah sebagai poros perbuatan-perbuatan baik yang islami. Hal itulah yang menjadikan akhlak Rasulullah SAW hanya tepat dikaji dari perspektif Islam, bukan cabang-cabang pemikiran falsafafiyang abai tauhid.

Berangkat dari pemahaman ini, Muhammad al-Hufy kemudian menguraikan 19 contoh akhlak yang mulia, yakni berani, pemurah, adil, menjaga diri (iffah), jujur, amanah, sabar, lapang hati, pemaaf, kasih sayang, cinta perdamaian, zuhud, malu, tawadu, kesetiaan, musyawarah, pergaulan yang baik, cinta bekerja, dan menyenangi kegembiraan atau humor.

Setiap perbuatan yang dibahasnya itu juga disingkap secara detail dan diletakkan dalam konteks-konteks tertentu. Sebagai contoh, keberanian–sebagai sebuah akhlak islami–tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang fisik, yakni sikap heroik tidak takut mati, tetapi juga penegasan sikap pribadi di tengah masyarakat.

Al-Hufy memberikan misal tentang Rasulullah SAW pada masa permulaan dakwah di Makkah. Nabi SAW berani tampil di hadapan publik untuk menyampaikan risalah kebenaran. Percakapannya dengan Utbah bin Rabiah, yang saat itu masih sepihak dengan kaum kafir, menunjukkan sisi berani Nabi SAW dalam mengemukakan pendapatnya.

Beliau teguh menyampaikan wahyu Allah yang sampai kepadanya, sekalipun banyak orang yang menentangnya habis-habisan.Akhirnya, Utbah kembali dan berkata kepada kaumnya, Demi Allah, kata-kata (ayat Alquran) yang kudengar darinya akan mempunyai peranan besar di kemudian hari.

Agar pembaca dapat memaknai secara mendalam akhlak Rasulullah SAW, al-Hufy tidak berhenti pada argumentasi tentang keutamaan seorang Muslim untuk mengikuti sang suri tauladan. Dengan bahasa yang indah, dia menerangkan bagaimana satu perbuatan baik dari Nabi SAW berkaitan dengan perbuatan-perbuatan baik lainnya di tengah umat manusia. Misalnya, saat mende dah ihwal sifat pemurah.

Secara kebahasaan, karakteristik tersebut merupakan lawan sifat kikir. Akan tetapi, aplikasinya menurut perikehidupan Rasulullah SAW tidak sekadar gemar menderma harta benda kepada mereka yang membutuhkan. Sifat pemurah beliau menjadi istimewa karena tidak pernah merasa istimewa dengan kepemilikan bendawi.

Rasulullah SAW hidup sederhana di tengah khalayak masyarakatnya, dekat dengan mereka yang hidup serbakekurangan.Makanan favoritnya adalah makanan yang di makan banyak orang. Dalam sebuah riwayat, kedermawanan beliau diibaratkan angin yang berembus, menyejukkan seluruh manusia.

Sifat pemurah yang sedemikian anggun bertautan dengan jalan hidup zuhud. Al- Hufy dalam bukunya ini berupaya meluruskan kekeliruan yang jamak muncul ketika mengartikan sifat zuhud. Menurutnya, seorang yang zuhud berarti tidak berhasrat pada hal-hal yang dibolehkan (mubah), padahal orang tersebut mampu mendapatkannya. Arti lainnya adalah, seseorang lebih mendahulukan kepentingan umum daripada dirinya sendiri.

Maka dari itu, orang yang tidak berhasrat pada hal-hal mubah lantaran tidak mampu meraihnya bukanlah zuhud. Demikian pula dengan orang yang menundukkan nafsu terhadap hal-hal yang diperbolehkan tanpa memberikan manfaat bagi umat.

Orang yang seperti ini berlaku ke pendetaan (rahbaniyah), semisal petapa di biara- biara, bukan pengamal sifat zuhud. Dalam Islam, ada larangan terhadap rahbaniyah, sebagaimana termuat dalam Alquran surah al-A’raf ayat 31-32.

Zuhudnya Rasulullah SAW, lanjut al- Hufy, semata-mata mendidik umatnya agar tidak tunduk pada kemauan hawa nafsu.Pada zamannya, para sahabat terutama yang berasal dari kalangan berada mengikuti sifat mulia ini. Umar bin Khaththab, misalnya, sejak memeluk Islam begitu lurus dalam kehidupan sederhana dan menjauhi kegemaran terhadap harta benda.

Zuhudnya terus diamalkan bahkan ketika menjadi seorang khalifah, yang wilayah kekuasaannya membentang hingga Persia dan Afrika Utara. Dengan mempraktikkan akhlak islami ini, dia termasuk golongan pemimpin sukses yang akan terus dikenang, menginspirasi dalam sejarah umat manusia.

Keteladanan indah lainnya dari Rasulullah SAW yang disuguhkan melalui buku ini berkenaan dengan iffah. Singkatnya, hal itu adalah menahan lisan dan perbuatan dari kemunkaran. Rasulullah SAW merupakan pribadi yang anggun.

Tidak pernah sekalipun kata-kata yang berujung keburukan keluar dari lisannya.Al-Hufy mengutip suatu kisah ketika Perang Uhud usai dan umat Islam menderita kekalahan. Seseorang lantas memohon kepada Rasulullah SAW agar berdoa sehingga kaum Quraisy memperoleh musibah.

Dijawabnya, Sesungguhnya aku diutus sebagai rahmat dan bukan pelaknat. Ya Allah, berilah ampunan kepada kaumku karena mereka sesungguhnya belum mengerti.Alih-alih kebinasaan, para musuh itu diharapkannya kembali kepada jalan kebenaran.

Tidak ada satu pun riwayat yang menceritakan, Nabi SAW dalam sebuah pertempuran dengan musuh-musuhnya mendoakan kehancuran bagi kaumnya. Iffah daripada lisan Rasulullah SAW tentunya berkenaan pula dengan akhlak lainnya dari beliau:kesabaran. Al-Hufy menyebutkan, kalangan ulama berbeda pendapat mengenai definisi sabar.

Imam Ghazali, misalnya, menjelaskan hakikat sabar sebagai tahan menderita dari gangguan orang lain, yakni dengan tidak mengeluh. Lawan daripada sabar adalah kegelisahan.

Akan tetapi, kunci kesabaran adalah menahan diri agar tidak menuruti hawa nafsu. Oleh karena itu, menurut al-Hufy, dapat dikatakan bahwa semua akhlak terpuji tergolong kategori sabar. Dalam sebuah riwayat, Nabi SAW pernah ditanya tentang iman maka beliau bersabda, Iman itu adalah sabar, karena sebagian besar amal tergantung kepada sabar dan sabar itulah yang terpenting.

Salah satu momentum, yang darinya kita dapat belajar hakikat kesabaran, adalah peristiwa wafatnya putra kesayangan Rasulullah SAW, Ibrahim, yang hanya berumur belasan bulan lantaran sakit. Saat Ibrahim dalam keadaan sakaratul maut, Nabi SAW bersandar pada sahabatnya, Abdurrahman bin Auf karena saking sedihnya.

Hati siapa yang tidak bersedih dengan kepergian anak yang kehadirannya telah lama diidam-idamkan? Orang tua mana yang tidak perih perasaannya mengangkat jasad anaknya yang terbujur kaku, memasukkannya ke dalam liang lahat dengan kedua tangannya sendiri? Itulah yang telah terjadi pada Nabi SAW.

Cobaan kian berat karena kaum kafir Quraisy justru mencemooh beliau, alih-alih ikut merasakan duka.Bahkan, beberapa di antaranya mengatakan dengan keji bahwa meninggalnya Ibrahim menandakan terputusnya keturunan Rasulullah SAW–ujaran yang kemudian dibantah Allah SWT melalui surah al-Kautsar ayat 3.

Menghadapi ujian yang berat itu, Nabi Muhammad SAW tetap mampu menjaga dirinya dari perkataan dan perbuatan tercela.Beliau semata-mata bersabar dan menyerahkan diri kepada Allah SWT.

Saat itu, usianya mencapai 60 tahun. Di dekat pusara Ibrahim, beliau berkata pada gunung yang menjadi tempat terakhir putranya disemayamkan, Wahai gunung, bila engkau merasakan apa yang kurasakan, pastilah engkau hancur. Tapi, kita adalah kepunyaan Allah dan kepadanya kita akan kembali. Kepada Ibn Auf, beliau mengatakan, Sesungguhnya mata memang mencucurkan air mata dan hati sangat sedih, namun kita tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai Allah. (sumber: ROL)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>