William, Tes Online yang Mengubah Jalan Hidupnya
William, pemuda Amerika Serikat, itu masuk Islam sekitar empat tahun yang lalu. Pemuda kelahiran Dallas, Texas, ini dibesarkan di lingkungan keluarga Kristen. “Keluargaku tidak sepenuhnya ultrareligius seperti stereotipe kebanyakan warga Texas. Kami hanya tipikal keluarga Kristen religius yang moderat,” kata William menjelaskan kultur keagamaan keluarganya.
Sejak kecil, William berada di tengah lingkaran sosial yang mapan. Ia memiliki fasilitas penuh dan kenyamanan di tengah lingkungan kulit putih kelas menengah atas. Satu-satunya masalah, remaja ini terlahir dalam kondisi autis. Fungsi sosialnya terganggu. Ia sedikit canggung saat berhadapan dengan orang lain. Lantaran kondisi itu, William merasa tidak cocok dengan masyarakat di sekitarnya.
Kendati dia tidak terlalu penyendiri atau tampak seperti orang buangan, jelas William, dia tetap tidak terlalu populer. Dia kurang menaruh perhatian terhadap aspek sosial. Usianya masih terlalu muda waktu itu. Dia cenderung menghabiskan waktu sehari-hari bersama video game. “Aku hanya peduli pada video game, jauh dibanding agama,” ucapnya.
Bagi William, gagasan bahwa manusia akan pergi ke surga ada dalam benaknya hanya karena dia percaya pada Yesus Kristus. Menurut dia, itu terdengar seperti ide yang bagus. Sangat keren. Jadi, ayo kita bermain video game seumur hidup, kemudian pergi ke surga. Itu yang dia angankan.
Pada umur 11 tahun, benih-benih ketidakpercayaan terhadap ajaran agama yang dia anut sejak kecil mulai muncul di pikiran William. Remaja ini memiliki masalah dengan konsep trinitas. Para pemuka Kristen menjelaskan, Tuhan itu tiga, tetapi satu. William merasa itu tidak masuk akal. “Oke. Saya pikir kita memiliki satu Tuhan, bukan tiga,” tegas dia.
Buat dia, konsep trinitas berarti politeisme, bukan monoteisme. Sementara, Kristen menyebut ajarannya bersifat monoteisme. William merasa sulit membayangkan aplikasi konsep itu, jadi dia menolaknya. Waktu itu, dia hanya menolak gagasannya, bukan ajaran agamanya.
Ketika William duduk di bangku SMA, dia mulai sedikit lebih peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi di dunia. Pemuda itu masuk ke ranah politik di sekolah, kemudian dia juga benar-benar mendalami agama. Alih-alih mendapatkan kembali kepercayaannya, sekarang William menolak gagasan Protestan secara umum. “Masalahnya, tidak ada satu pun sekte Kristen yang saya setuju dengannya,” keluh William.
Pertama kali William mengenal agama-agama lain melalui sang ibu. Ketika dia beranjak remaja, kedua orang tuanya bercerai. Peristiwa itu menimbulkan trauma yang cukup dalam dan memaksa ibunya mencari alternatif spiritual. Seiring waktu, William pun mengalami kekosongan yang sama.
Dia rindu menemukan spiritualitas yang tepat mengisi untuk ceruk hatinya. Kedengaran konyol, tapi nyata. Ibunya merekomendasikan William untuk mengikuti tes online. Tes itu akan merekomendasikan agama apa yang paling cocok untuk si pengguna.
Meski terdengar tidak masuk akal, William duduk di depan laptop dan melakukan tes. Alangkah terkejutnya dia mengetahui bahwa Islam ada di peringkat kedua agama yang paling cocok dengan kompabilitas sekitar 98 persen. Sementara, agama pertama yang paling cocok untuknya versi tes tersebut adalah Yahudi Ortodoks.
Jalan hidayah memang sulit ditebak. Kendati William menaruh ketertarikan pada Yudaisme, tidak ada yang lebih menahan rasa penasarannya dibanding Islam. Buat dia, Islam itu, seperti kata orang kebanyakan, terlalu asing. Tapi, justru nuansa asing itu yang memikatnya. “Saya sering berpikir, “Oh, ini terlihat sangat menarik,” kenang William.
Jadi, William mulai melirik Islam. Dia membaca informasi di Wikipedia. Mencermati prinsip-prinsip keimanan, mencoba memahami aturan, apa yang harus dilakukan, dan mana saja yang dilarang. Dia lantas jatuh cinta dengan agama ini. William pikir banyak aturan itu yang masuk akal dan dia sepakat.
Misalnya, soal konsep ketuhanan. William sejak awal sudah percaya bahwa Yesus bukan anak Allah, bahkan bukan Allah. Dia hanya seorang guru, seorang guru yang harus kita teladani. Jadi, gagasan Yesus sebagai seorang nabi atau utusan Allah sangat tidak asing buat dia. Sesuatu yang memang dia yakini selama ini.
Detik itu juga, William memutuskan untuk mengambil Alquran. Dia mulai membaca lembar demi lembar. “Ini menakjubkan. Kitab ini menjelaskan segala sesuatu yang saya cari. Saya sepakat dengan keseluruhan ini,” ujar William. Keyakinan itulah yang menuntun William untuk memutuskan masuk Islam.
Ada sebuah masjid di samping sekolah. Lelaki itu memilih mengikrarkan syahadat di sana. Selain dia tidak tahu lokasi masjid lain di Dallas, masjid itu paling mudah dia jangkau. Lokasi masjid dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki sewaktu istirahat sekolah.
Ketika William menyampaikan pada kedua orang tua perihal keislamannya, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan. Mereka justru antusias dengan keputusan putranya. Keduanya bergelut di bidang medis sehingga sering terpapar dengan berbagai kelompok etnis dan agama yang berbeda. Tak terkecuali, Muslim.
Kedua orang tuanya menyukai gagasan keislaman William lantaran mengira itu akan membantu putra mereka lebih peduli dan mencintai sesama. Waktu itu, William mengakui, dia termasuk orang yang benci pada orang lain (misanthrope). Tak heran, bila orang tuanya bersemangat melihat William terketuk untuk memeluk suatu agama.
“Hal utama yang berubah ketika saya masuk Islam adalah sekarang saya menikmati membantu orang banyak. Kepedulian saya dengan orang-orang jauh lebih besar daripada yang saya miliki sebelumnya,” ucap lelaki itu. William tidak ingin mengatakan, dia dulunya pembenci orang lain, tapi dia dulu cenderung untuk tidak memercayai orang. Dia relatif introvert. Juga lebih egois.
Kini, sejak masuk Islam, dia belajar untuk mencintai orang lain. Belajar untuk peduli pada mereka. Belajar membantu mereka. Dan, yang terpenting, William mendapat kebahagiaan dari tindakannya membantu orang lain. “Jadi, buat saya, saya pikir ini perubahan terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya.” (sumber: oase republika)
Leave a Reply