MUI Kritik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Definisi kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang menggarisbawahi relasi gender dan relasi kuasa sebagai penyebab dari kekerasan seksual, dikritik oleh Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rida Hesti Ratnasari.

Dalam Seminar Muslimah Persaudaraan Alumni 212 di Gedung Dewan Da’wah Indonesia (DDII), Jakarta, Sabtu (09/02/2019) pekan kemarin, lansir Indonesia Inside, Rida Hesti menjelaskan, akar permasalahan dari masalah kejahatan seksual adalah hilangnya peran keluarga sebagai unit perlindungan terkecil dalam masyarakat.

“Hilangnya peran keluarga ini justru disebabkan adanya upaya untuk menjadikan relasi gender dan relasi kuasa sebagai konsep utama dalam melihat hubungan laki-laki dan perempuan,” kata Rida Hesti.

Terang Rida Hesti, perempuan dan seksualitasnya dalam konsep kekerasan seksual diarahkan kepada individualisme dan tidak menunjukkan relasi atau kaitannya dengan konsep keluarga.

Ia mengatakan, menilai istilah maupun definisi dari bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam RUU ini juga kurang tepat apabila digunakan sebagai delik genus. Salah satunya adalah adanya upaya untuk menerima kegiatan pelacuran sebagai sebuah norma yang tidak bertentangan dengan norma positif.

Dalam RUU P-KS disebutkan bentuk kekerasan seksual adalah “pemaksaan pelacuran”, sedangkan pelacuran sendiri tidak dijadikan bentuk kekerasan seksual.

“Seharusnya norma-norma mengenai kategori sebagai kejahatan seksual tidak menciptakan ambiguitas yang tidak memiliki dasar kebutuhan dalam masyarakat Indonesia,” saran Rida Hesti.

Sehingga secara umum, DPR RI memiliki usulan untuk mengubah RUU kekerasan seksual menjadi RUU kejahatan seksual. Selain itu, bentuk-bentuk kekerasan seksual diubah menjadi bentuk-bentuk kejahatan seksual, yaitu perkosaan, pelacuran, perzinaan, aborsi, pemaksaan kontrasepsi, dan sodomi.

Sedangkan penyimpangan seksual termasuk masokhisme, voyeurisme, eksibisionisme, sadisme, bestialitisme, nechrophilie (ketertarikan seksual pada mayat), homoseksual, anal seks, dan hubungan seksual suami-istri di saat istri tengah menstruasi.

“Perkosaan, perbudakan seksual dan lain-lain dalam konsep kekerasan seksual telah dimaknai secara liberal sehingga tidak sesuai dengan norma-norma sosial, budaya, dan agama masyarakat Indonesia. Maka, sinergi yang harus dilakukan adalah dengan membangun kesadaran kolektif yang hakiki, bukan false consciousness,” tandasnya. (sumber: hidayatullah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>