Aysha Rasakan Pengalaman Luar Biasa Saat Berpuasa

Namanya Aysha. Sebutan itu sudah menjadi identitasnya sejak bersyahadat beberapa waktu la lu. Wanita muda ini ber asal dari Hongaria, negeri minoritas Muslim. Berbagai agama tumbuh di sana dengan bebas. Sesekali dia mengenang masa kecilnya sebagai penganut Katholik. Setiap akhir pekan selalu menyempatkan diri mengunjungi gereja untuk sembahyang dan mengucapkan aneka pujian.

Namun, itu bukanlah jaminan keyakinan nya semakin mantap. Meski sering melaksanakan ritual religius tersebut, tetap ada saja rasa yang mengganjal. Ada saja pertanyaan tentang kejelasan konsep Tuhan yang selama ini diyakini. Bagaimana bisa Tuhan memiliki anak? Soal itu sering tebersit dalam hatinya.

Sementara itu, Aysha mempelajari sejarah dunia sejak kecil. Salah satu materinya adalah Turki Usmani, dinasti Islam yang pernah mewarnai kehidupan Hongaria selama 150 tahun. Dari situ dia mendapatkan gambaran mengenai peradaban Islam yang sangat berpengaruh.

Namun, di sisi lain, dia juga ‘diracuni’ dan disesatkan dengan berbagai fitnah dan penghakiman bahwa Islam adalah agama yang buruk. Pada saat kecil dia belum berpikir kritis. Namun, ketika beranjak dewasa duduk di perguruan tinggi, berbagai literatur mulai dibedahnya.

Pandangan tokoh yang memandang Islam secara objektif menyegarkan pemahamannya tentang peradaban tersebut. Aysha mulai memahami bahwa peradaban Islam tak hanya lahir dari kreativitas manusia, tapi juga cahaya Ilahi.

Sementara itu, pergaulannya makin luas. Dia berteman dengan banyak orang de ngan latar belakang keagamaan beragam. Di antaranya adalah mereka yang beragama Islam. Suatu ketika Aysha dan para sobat Muslim bertatap muka. Perbincangan mengalir di antara mereka tentang banyak hal.

Tiba-tiba azan berkumandang. Allahu Akbar, Allahu Akbar, suara azan menggema. Spontan saja para sobat Muslim terdiam dan mendengarkan se ruan shalat tersebut. Aysha tetap berbicara. Teman-temannya yang Muslim memintanya untuk men dengar kan suara azan. Wanita itu diminta tenang dan meng hormati panggilan Ilahi tadi.

Pulang dari pertemuan tadi, Aysha bertanya di dalam hati, mengapa harus meng hormati azan dengan cara diam? Mengapa Muslim begitu antusias menyimak pang gilan tadi? Saya sangat terkesan. Suasana khidmat mendengarkan azan bagi saya adalah sesuatu yang unik, katanya.

Setelah perbincangan itu, tepat di musim panas dia mengunduh program Alqur an. Dia mendengarkan qari membaca Alquran dengan suara indah. Tak puas, Aysha kemudian mencari tahu terjemahan Alqquran ke Bahasa Inggris. Di sana dia mendapatkan pemahaman tentang keesaan Tuhan, sesuatu yang unik dan lebih masuk akal.

Antusiasnya tentang Islam makin tinggi. Dia pun banyak memikirkan tentang aga ma yang menyentuh hati. Untuk me nambah pengetahuan, dia mulai membaca buku mengenai Islam. Dua bulan kemu dian, dia merasa makin mantap untuk mengubah keyakinan. Aysha memutuskan untuk bersyahadat di hadapan kedua temannya.

Sejak memeluk Islam, dia tak lagi sejalan dengan saudara, orang tua, dan sejumlah teman. Meski berbeda ke akinan, Aysha tetap mencoba untuk menjalin silaturahim dengan semuanya, karena mereka adalah bagian dari kehidupan yang dijalaninya.

Aysha memutuskan untuk memulai hidup baru sebagai muslim dengan berpuasa. Sungguh ini merupakan pengalaman luar biasa. Sebab baru pertama kali menahan lapar dan haus sepan jang hari.

Awalnya sungguh berat. Namun, tekad yang kuat memotivasinya untuk terus ber puasa. Akhirnya terbiasa juga. Aysha bersyu kur dapat menja lani ibadah wajib tersebut dengan lancar. Awal nya sangat sulit, karena orang-orang di sekitar saya tidak mempraktikkan Islam.

“Jadi, saya ti dak bisa bertanya kepada siapa pun,” katanya. Aysha kemudian membaca berba gai pen jelasan tentang Islam dengan berselancar di dunia maya. Dengan cara itu dia mengetahui gerakan dan ba caan shalat. Juga cara bersuci se perti wudhu, tayamum, dan mandi besar. Semua itu tak ditemuinya di masa kecil.

Wanita ini menjelaskan penga laman nya dengan seorang teman yang mem buat nya sedih. Teman itu menga takan bahwa Aysha tidak akan per nah mengerti Islam. Alasannya karena tidak dilahirkan sebagai seorang Mus lim. Pada waktu itu saya baru memeluk Islam, sungguh perkataannya mematahkan semangat, ceritanya.

Aysha sangat ketakutan karena khawatir jika tidak bisa berdoa de ngan bahasa arab maka tak akan di terima. Saat itu dia juga tidak memi liki mukena dan sajadah untuk shalat. Tak ada juga orang yang membantu dan menuntunnya.

Namun, ketika mulai berdoa, Aysha berpikir, Allah pasti tersenyum kepadanya sekarang. Karena dia biasa menuliskan teks doa shalat di atas kertas dan panduannya. Dia kemudian menggenggam ker tas tersebut di tangan kanan dan mem bacanya dengan keras sambil melakukan gerakan shalat.

Mungkin bagi Muslim lainnya terlihat sangat lucu. Setelah melakukannya beberapa kali, Aysha mulai terbiasa. Kemudian Aysha berselancar di media sosial dan mendapat banyak teman baru. Di sana dia mencurahkan isi hatinya tentang berbagai tantang an menjadi mualaf. Kemudian se orang lelaki Muslim melamarnya dan membelikan jilbab pertama, sajadah serta buku Islam.

Aysha juga mendapat Alquran berbahasa Arab pertama dari Yor dania yang dikirim melalui pos. Ra sa nya bangga sekali bisa memegang kitab suci tersebut. alhamdulillah, imbuhnya. Meski belum lama memeluk Islam, Aysha sudah membiasakan diri menutup aurat. Penampilannya menjadi lebih anggun dan berwibawa di tengah ruang publik.

Kesan yang melukai hati diterimanya setelah memeluk Islam. Datangnya bukan dari orang jauh, tapi orang dekat dengannya. Orang itu adalah ibu yang telah melahirkannya. Dengan kecewa, sang ibu mengatakan, dengan memeluk Islam, Aysha akan menjadi teroris dan antinegara. “Saya mengalami masa yang sangat buruk dengan ibu saya, ujar Aysha sedih.

Tak hanya dengan perkataan, sang ibu bahkan berpandangan sinis menyaksikan anaknya melaksanakan shalat dan mengenakan jilbab. Aysha kemudian mendirikan shalat di kamar lantai kedua rumah yang ditempatinya Hubungan mereka menjadi tidak baik.

Namun, Aysha tidak pernah kasar kepada ibunya. Lambat laun perlakuan sang ibu semakin baik. Meskipun berbeda keyakinan, orang tuanya dengan perlahan bisa menerima pilihan hidup sang anak “Saya tidak berbicara dengan ayah saya sepanjang hidup saya dan dia tidak ingin melihat saya.

Tapi, sekarang, karena Islam, saya membuka diri dan dia mengunjungi kami secara teratur,” ujarnya. Pengalamannya memeluk Islam diceritakan kepada para mualaf. Ibrah berharga itu memotivasi mereka yang baru bersyahadat untuk tetap menjaga keimanannya hingga akhir hayat. (sumber: ROL)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>