Komunitas Pecinta Keluarga Depok Deklarasi Tolak RUU P-KS

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) terus menuai polemik karena tidak saja dipandang multitafsir, tetapi juga dinilai mendekonstruksi upaya pengokohan ketahanan keluarga Indonesia.

Hal itulah di antara yang menjadi kekhawatiran jaringan Komunitas Pecinta Keluarga (KIPIK) Depok sehingga melakukan deklarasi menolak RUU P-KS dalam acara talkhshow “Lindungi Keluarga dan Generasi Islam” di bilangan Kalimulya, Kebon Duren, Kota Depok, Jawa Barat, Senin (18/02/2018).

Pendiri KIPIK, Dr Sabriati Aziz, yang juga menjadi narasumber acara yang ditemui di lokasi, mengatakan ada kekhawatiran para orangtua akan kian maraknya praktik prostitusi dan praktik lesbianisme, gay, biseskual, dan transgender (LGBT).

Namun, katanya, muatan RUU P-KS tak cukup lugas keberpihakannya pada ketahanan keluarga dan moral bangsa.

“Filosofi mendasar dari konsep kekerasan seksual atau RUU P-KS ini bukan pada baik buruk atau buruk haramnya suatu perilaku seksual, tetapi pada suka atau tidak sukanya si pelaku melakukan perbuatan-perbuatan tersebut,” kata Sabriati.

Sabriati menilai, RUU P-KS menjadikan feminist jurisprudenci dan feminist legal theory sebagai dasar pembentukan RUU RPKS.

Ibu sembilan anak ini mensinyalir tujuan RUU P-KS bertujuan untuk mengubah pola pikir masyarakat agar mengadopsi cara pandang feminisme yang tertentangan dengan agama, budaya, dan Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia.

“Di antara kekeliruan cara pandang tersebut adalah dimana setiap bentuk pengaturan terhadap tubuh dan perilaku seksual perempuan, mereka anggap sebagai bentuk kekerasan berbasis gender atau kekerasan seks,” imbuhnya.

Dia menjelaskan, menurut pemikiran feminisme yang dinilai telah merasuki RUU PkKS, adalah tidak ada siapapun baik itu orangtua, nilai agama, atau negara, yang berhak mengontrol dan mengatur perempuan ingin berpakaian seperti apa, ingin berperilaku seperti apa dan dengan siapa.

“Ini yang menjadi kekhawatiran kita. Jangan sampai RUU ini mengeksklusi praktik seks tertentu di satu sisi dan di sisi yang lain menegasi hak-hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman perilaku menyimpang,” kata Sabriati.

Karena itu, sambung dia, tolak RUU P-KS merupakan salah satu ikhtiar, amal jariyah, untuk menjaga dan melindungi keluarga Indonesia dan generasi bangsa.

Salah seorang peserta, Desi Noor, mengaku sangat bersyukur dan senang bisa mengikuti acara ini karena semakin mendapatkan tambahan wawasan dan kajian ilmiah tentang perundang-undangan khususnya yang memiliki ikatan erat dengan masalah keluarga.

“Saya senang mengikuti acara ini walaupun sebetulnya masih besar harapan saya acara ini bisa lebih secara sporadis dilakukan di banyak tempat dengan beragam kalangan ibu-ibu,” kata Desi.

Desi mengatakan, talkshow ini penting bagi para orangtua khususnya para ibu. Sebab, menurutnya, walaupun sedang digodok dan masih terus diperjuangkan oleh legislatif, orangtua yang justru hari-harinya yang menghadapi, bingung apa yang harus dilakukan.

“Kalau saya sendiri, setelah tahu adanya sepeti ini, yang kepikiran oleh saya adalah so what. Kita ibu-ibu ini harus ngapain nih. Ternyata, satu, tanda tangan yang sangat berarti. Kemudian kesaksian di hadapan Allah, itu yang akan menjadi hujjah kami pribadi maupun bagi kebaikan negeri ini,” imbuhnya.

Selain itu, Desi menambahkan, kesadaran akan hak-hak hukum juga penting dipahamkan kepada keluarga Indonesia agar perjuangan di parlemen juga mendapatkan dukungan maksimal.

“Ayo kita bersingeri. Permasalahan kita sama sebab kita tinggal di bumi yang sama,” pungkasnya.

Senada dengan itu, peserta lainnya, Fiqih Ulyana, mengatakan jika RUU ini berlaku dikhawatirkan dan berpotensi melegalkan perzinaan karena tidak dianggap kekerasan jika dilakukan atas dasar suka sama suka.

RUU P-KS juga dipandang berpotensi menyuburkan praktik LGBT serta melegalkan prostitusi dan aborsi, apabila perilaku tersebut dilakukan atas kesadaran sendiri.

Apalagi, perkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk bentuk kekerasan seksual dalam RUU PKS ini dimaknai secara liberal dan multitafsir. “Sehingga berpotensi mengkiriminalisasi hubungan seksual yang halal karena dianggap sebuah pemaksaan,” ujarnya. (sumber: hidayatullah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>