PP Salimah Tolak RUU P-KS: Muatan Liberalismenya Lebih Kental

Sebagai ormas perempuan yang peduli terhadap peningkatan kualitas hidup perempuan, anak, dan keluarga Indonesia, sebagaimana visi organisasi, Persaudaraan Muslimah (Salimah) menyatakan menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).

RUU P-KS saat ini sedang dibahas DPR RI dan rencananya diselesaikan di penghujung periode anggota dewan yang segera habis beberapa waktu lagi. PP Salimah menolak RUU P-KS dengan sejumlah pertimbangan. Pertama, RUU P-KS dinilai tidak mengacu bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, terutama Sila Pertama dan Sila Kedua.

“Muatan RUU (P-KS) jauh dari adab ketimuran yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia. Semua tindakan yang bukan karena paksaan akan dilindungi oleh RUU ini. Padahal adab ketimuran mengajarkan kebaikan, kesantunan, dan kepatuhan yang menjadi budaya luhur bangsa Indonesia,” bunyi pernyataan sikap dari Humas PP Salimah, Rahmah, di Jakarta kepada hidayatullah.com, Senin (22/07/2019).

Menurut PP Salimah, tidak semua yang dipaksa itu buruk, sebagaimana semangat menjalankan aturan agamanya masing-masing, sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 UUD 1945. Kedua, menurut Salimah, RUU P-KS lebih bermuatan kebebasan daripada penyelamatan generasi bangsa berbasis budaya dan kearifan lokal. “Muatan liberalisme lebih kental daripada upaya menyelamatkan anak bangsa itu sendiri,” ungkapnya.

Ketiga, terminologi kekerasan yang dipakai pada RUU P-KS tersebut dinilai multi tafsir, hanya berlandaskan tindakan yang tidak boleh dipaksa dan persetujuan dalam keadaan bebas.

“Hal ini bertentangan dengan aturan yang mengikat sebagaimana aturan agama. Terminologi kekerasan diartikan sebagai perbuatan yang menyebabkan kesengsaraan dan mengakibatkan penderitaan. Hal ini dapat menimbulkan tafsiran yang sangat luas tanpa penjelasan, sehingga menimbulkan disharmoni dalam keluarga dan kehidupan beragama di Indonesia,” ujarnya.

Dalam hal ini, PP Salimah mengusulkan antara lain agar terminologi yang dipakai dalam RUU tersebut adalah kejahatan seksual, karena lebih jelas batas dan aturannya.

Menurut PP Salimah, undang-undang yang telah ada sebenarnya sudah cukup melindungi anak, perempuan, dan keluarga Indonesia. Seperti UU Perlindungan Korban, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, UU Perkawinan, UU ITE, dan lain-lain.

“Permasalahannya justru terletak pada penegakan hukum, atau kurangnya kesadaran hukum pada lapisan masyarakat untuk melapor kepada pihak yang berwajib atau enggan mengikuti prosesnya, sehingga kasus-kasus kekerasan seksual tidak terselesaikan dengan baik,” pungkasnya.

Sementara itu, di sisa periode saat ini, anggota DPR RI segera menyelesaikan pembahasan RUU P-KS. Komisi VIII telah menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan daftar Anggota Panitia Kerja (Panja) Pemerintah terkait pembahasan RUU P-KS.

Anggota Komisi VIII DPR RI Endang Maria Astuti optimistis Komisi VIII DPR RI bisa menuntaskan pembahasan undang-undang ini sebelum dewan periode 2014-2019 selesai masa jabatannya.

“Mengingat waktu yang tinggal dua bulan ini, ya bisa saja selesai, tergantung dari pada personalitas panja dalam membahas. Bisa saja nanti kita konsinyering untuk mempercepat. Jadi harapan kita tentu bisa selesai (periode ini),” ujar Endang di sela-sela rapat Komisi VIII DPR RI dengan Panja Pemerintah RUU P-KS di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (18/07/2019) lansir Parlementaria, Jumat.

Panja Pemerintah yang diketuai oleh Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Vennetia Danes, juga terdiri dari perwakilan dari Komnas Perempuan, Kementerian Hukum dan HAM.

Hingga pertengahan Juli 2019, pembahasan RUU P-KS sudah memasuki pembahasan kedua antara Komisi VIII DPR RI bersama Panja Pemerintah. Untuk mempercepat pembahasan, Endang menyebut perlu ada kesepakatan poin-poin penting dan krusial terlebih dahulu.

“Kita sepakati dulu poin-poin pentingnya yang krusial, supaya mempercepat pembahasan. Karena pada poin-poin krusial ini termasuk poin pemidanaan dan juga judul, saling terkait dengan satu lainnya. Secara intens akan kita bahas di Panja bab per bab, dan pasal per pasal,” ujar legislator Fraksi Partai Golkar ini.

Mengenai judul, baik pihak Komisi VIII DPR RI dan RUU P-KS juga belum menyepakati usulan penggantian judul, yaitu perubahan kata ‘kekerasan’ menjadi ‘kejahatan’.

“Judul bisa saling terkait dengan keseluruhan, apakah tetap menjadi ‘kekerasan’ atau diganti ‘kejahatan’. Tidak hanya judul, ada juga asas dan tujuan, terlihat remeh tapi tidak bisa dilepaskan dari judul. Ditambah lagi pembahasan tentang rehabilitasi dan pencegahan,” sebut Endang.

Soal lain yang menjadi perhatian adalah tentang pasal-pasal pidana dalam RUU P-KS yang bisa saling terkait dengan RUU KUHP yang sedang dibahas di Komisi III DPR RI.

“Pemidanaan ini tidak bisa terlepas dari peran serta Komisi III, karena mereka sedang membahas KUHP, enggak bisa kita tabrak-tabrak. Ini yang perlu pemikiran ekstra dan sinkronisasi,” pungkas legislator dapil Jawa Tengah IV ini.

Pada akhir rapat, Ketua Panja RUU P-KS Marwan Dasopang mengatakan, Komisi III DPR RI akan dimintakan pendapatnya terkait pasal-pasal pidana. “Meski sebatas meminta masukan, pembahasan dengan Komisi III dilakukan demi mendapatkan pengaturan sanksi pidana yang baik. Kita RUU P-KS akan terus dibahas dan diupayakan selesai sebelum periode berakhir,” kata pimpinan rapat sekaligus Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI ini. (sumber: hidayatullah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>