Muallaf Mau Menikah, Perlu Surat Muallaf?

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh

Saya adalah seorang mualaf pada tanggal 5 Juni 2019, dan saya ingin menikah pada tahun 2020. Di sini status saya sebagai mualaf dan keluarga saya non Muslim. Saya hanya punya ibu, sedangkan ayah saya telah lama meninggal.
Saya punya 2 saudara laki-laki dan 2 saudara perempuan. Saya merupakan anak ketiga. Di sini saya ingin bertanya: apakan jika saya hendak menikah perlu surat mualaf? Dan apakah abang kandung saya boleh menjadi wali nikah saya?

Rika
Verdianarika98@gmail.com

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudari Rika yang dirahmati Allah SWT, kami sangat bahagia mendengar kabar Anda menjadi muallaf dan ingin segera menikah.
Untuk menjawabnya, kami memiliki dua sumber informasi yang kiranya dapat membantu memecahkan masalah Saudari. Berikut penjelasannya:

Salah satu permasalahan yang muncul dalam hal pernikahan adalah persoalan wali nikah bagi seorang perempuan mualaf. Yang dimaksud perempuan mualaf di sini adalah seorang perempuan non-Muslim yang lahir dari pasangan suami istri non-Muslim dalam sebuah perkawinan yang dilakukan tidak secara Islam dan kemudian perempuan tersebut memeluk agama Islam.

Tidak sedikit masyarakat yang memahami bahwa seorang perempuan mualaf yang hendak melakukan pernikahan maka yang bisa menjadi wali nikahnya adalah wali hakim, bukan ayah kandungnya meskipun telah menjadi Muslim. Pemahaman seperti ini berangkat dari satu kenyataan bahwa sang anak lahir dari perkawinan yang tidak secara Islam dan juga dari orang tua yang tidak beragama Islam.

Anak yang demikian—menurut mereka—tidak bisa dinasabkan kepada orang tuanya. Lalu bagaimana sesungguhnya fiqih Islam mengatur permasalahan ini? Apakah yang dipahami oleh masyarakat sebagaimana di atas memang demikian benarnya menurut hukum fiqih Islam? Sebelum lebih jauh membahas tentang wali nikah bagi seorang perempuan mualaf ada baiknya bila kita menilik kembali beberapa aturan fiqih Islam perihal wali nikah.

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa seorang perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan maka ia harus memiliki wali. Keberadaan wali ini merupakan salah satu rukun nikah yang bila tidak terpenuhi maka akad nikah menjadi batal. Di dalam fiqih para ulama menetapkan beberapa persyaratan bagi seorang wali nikah.
Di antara persyaratan itu adalah seorang wali harus beragama Islam. Seorang non-Muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan Muslimah (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, [Bandung: Al-Ma’arif, tt.], juz II, hal. 49). Ini didasarkan pada firman Allah pada ayat 71 Surat At-Taubah: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ Artinya: “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.”

Dari penjelasan ini sudah dapat diambil satu pemahaman bahwa bila ayah kandung perempuan mualaf yang hendak menikah telah masuk Islam maka ia dapat menjadi wali dalam akad nikahnya. Namun bila sang ayah masih tetap pada agama asalnya maka ia tidak dapat menjadi wali nikah bagi putrinya yang telah memeluk agama Islam.
Bila demikian adanya—sang ayah masih non-Muslim—lalu siapa yang dapat menjadi wali nikah baginya? Bila telah jelas sang ayah tidak dapat menjadi wali nikah karena perbedaan agama maka diruntutlah daftar orang-orang yang dapat menjadi wali nikah sesuai dengan urutannya, bila memang di antara mereka ada yang beragama Islam.
Adapun urutan orang-orang yang dapat menjadi wali nikah sebagaimana ditulis oleh Al-Hishni di dalam kitab Kifâyatul Akhyâr adalah ayah, kakek (bapaknya bapak), saudara laki-laki sekandung (seayah seibu), saudara lak-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), dan anak laki-lakinya paman (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, hal. 51). Bila ada salah satu dari orang-orang tersebut yang beragama Islam dan kedudukannya lebih dekat maka ia berhak menjadi wali bagi sang perempuan mualaf.

Namun bila dari daftar urutan itu sama sekali tidak ada yang beragama Islam maka berlaku wali hakim yang dalam tata perundangan di Indonesia dilaksanakan oleh Kepala KUA Kecamatan setempat. Pertanyaan dan permasalahan berikutnya adalah bukankah perempuan mualaf tersebut lahir dari pasangan suami istri non-Muslim yang menikah dengan tata cara yang berbeda dengan tata cara pernikahan Islam? Bagaimana status nasab anak yang lahir dalam kondisi demikian?
Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa Islam mengakui keabsahan pernikahan sepasang suami istri non-Muslim yang menikah tidak dengan tata cara Islam selama di antara keduanya tidak ada halangan untuk menikah secara Islam. Sebagai contoh, pasangan suami istri non-Muslim yang keduanya memiliki hubungan mahram sehingga semestinya tidak diperbolehkan menikah, seperti seorang laki-laki yang menikah dengan adik kandungnya sendiri. Pernikahan non-Muslim semacam ini tidak diakui keabsahannya oleh Islam. Di dalam kitab Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan: فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ عَلَى الصَّحِيحِ وَالْحَنَابِلَةُ وَقَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – إِلَى أَنَّ نِكَاحَ الْكُفَّارِ غَيْرِ الْمُرْتَدِّينَ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ صَحِيحٌ Artinya: “Jumhur fuqaha—ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah menurut pendapat yang sahih, ulama Hanabilah, dan sebuah pendapat dalam kalangan ulama Malikiyah—berpendapat bahwa pernikahan orang-orang kafir selain orang-orang yang murtad adalah sah.” (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah, [Kuwait: Kementerian Wakaf dan Islam, 1983], juz XXXXI, hal. 319) Penjelasan tentang keabsahan pernikahan non-Muslim juga bisa mengambil dalil dari sahabat Ghailan dan lainnya yang ketika masuk Islam mereka memiliki istri lebih dari empat orang.

Maka kemudian Rasulullah memerintahkan untuk tetap memegang empat orang istri dan menceraikan lainnya. Pada saat bersamaan Rasulullah juga tidak menanyakan perihal persyaratan nikah yang dahulu dilakukan sebelum masuk Islam (Muhammad Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtâj, [Beirut; Darul Fikr, 2009], juz III, hal. 247 – 248). Ini semua menunjukkan bahwa Rasulullah mengakui keabsahan pernikahan yang telah terjadi sebelum masuk Islam. Karenanya bila pernikahan non-Muslim sebagaimana di atas dianggap sah oleh Islam maka anak yang lahir dalam pernikahan itu pun dianggap sebagai anak sah yang bernasab kepada kedua orang tuanya. Dengan demikian seorang perempuan mualaf yang hendak melakukan pernikahan, sedangkan ayahnya juga telah memeluk agam Islam, maka sang ayah dapat menjadi wali nikah baginya. Wallâhu a’lam. Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/103056/wali-nikah-bagi-perempuan-mualaf

Sahkah Perkawinan Mualaf yang Belum Ber-KTP Islam?
Sebagai informasi bagi Saudara bahwa ketentuan atau aturan yang mengatur mengenai perkawinan adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan untuk yang beragama islam perkawinan juga diatur lebih lanjut dengan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Perkawinan menurut Pasal 1 UUP adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan menurut Pasal 2 KHI perkawinan adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon ghooliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Berikut ini pemahaman dan jawaban kami terhadap pertanyaan dari Saudara:
1. Syarat sahnya Menikah secara Islam
Pasal 4 KHI menyebutkan bahwa:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dan Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”
Dengan arti kata, bahwa perkawinan dalam Islam adalah sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya perkawinan menurut hukum Islam yakni harus ada (Pasal 14 KHI):
1) Calon suami ;
2) Calon istri ;
3) Wali nikah ;
4) Dua orang saksi dan ;
5) Ijab dan qabul
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 KHI ini, dapatlah dipahami dan diketahui bahwa tidak ada satupun syarat dan rukun mengenai sah atau tidaknya perkawinan karena dilaksanakan melalui pembantu penghulu atau amil kelurahan, sebagaimana Saudara sampaikan. Sepanjang perkawinan itu memenuhi syarat dan rukun sebagaimana disebut di atas, maka perkawinan tersebut secara hukum Islam adalah sah.
Namun demikian, karena negara Indonesia adalah negara hukum yang segala sesuatu peristiwa harus dicatat, maka perkawinan tersebut harus dicatat sebagai bukti bahwa telah terjadi sebuah perkawinan (Pasal 2 ayat [2] UUP).
Ketentuan lebih lanjut mengenai pentingnya pencatatan perkawinan dapat Saudara lihat dan baca ketentuan Pasal 5 KHI, yang menyebutkan:
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Selanjutnya, di dalam Pasal 6 KHI diatur bahwa:
1) Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dengan demikian, apabila merujuk pada ketentuan undang-undang, maka perkawinan seharusnya dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (Kantor Urusan Agama setempat) supaya perkawinan Saudara tercatat dan mendapatkan Kutipan Akta Nikah serta perkawinan Saudara dapat dibuktikan secara hukum;
2. Dalam Kartu Tanda Penduduk (“KTP”) masih ditulis beragama non-Islam, namun melangsungkan perkawinan secara hukum Islam.
Melangsungkan perkawinan secara hukum Islam adalah bentuk penundukan hukum dari Saudara, yang tentunya wajib memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam.
Jika pada saat melangsungkan perkawinan secara hukum Islam tapi di dalam KTP Saudara masih tertulis agama lain, hal itu adalah persoalan administrasi kependudukan saja. Dalam hal ini, seharusnya Saudara memperbaharui data kependudukan Saudara. Namun, menurut kami, sepanjang Saudara dan istri saat melangsungkan perkawinan telah memeluk agama Islam (muallaf) dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan, sebagaimana ketentuan Pasal 2 UUP dan Pasal 4 KHI sebagaimana disebut di atas, maka perkawinan Saudara tersebut adalah sah.
3. Prosedur Pindah Agama/Kepercayaan
Sepanjang yang kami ketahui tidak ada “akta” (sertifikat, red.) sebagai syarat yang ditentukan untuk bisa masuk Islam. Karena, sepanjang pemahaman kami, seseorang yang hendak masuk Islam persyaratan utamanya adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini sebagaimana hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum ahli kitab, maka hendaklah pertama kali yang engkau ajakkan kepada mereka adalah syahadat La Ilaha Illallah.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat lain: “Ajaklah mereka untuk bersyahadat La Ilaha Illallah Wa Anna Muhammadan Rasulullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Tata cara masuk Islam di beberapa masjid di Indonesia, contohnya Masjid Istiqlal tidak ada persyaratan sertifikat sebagaimana yang Saudara tanyakan. Meskipun ada persyaratan, itu hanya persyaratan administratif saja, misalnya mengisi formulir pendaftaran, membawa KTP, dsb. Lebih lanjut Saudara bisa melihat di alamat webnya Masjid Istiqlal di : masjidistiqlal.or.id
Namun, secara status kependudukan Saudara harus melaporkan perubahan status agama di KTP dengan mengisi formulir isian di Kantor Kelurahan sesuai domisili Saudara.
Demikian Jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
PENJAWAB : Liza Elfitri, S.H., M.H.
Sumber: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt507327465b2af/pernikahan-islam-/


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>