Ramadhan Kian Dekat, Yuk Kita Bersiap

RAMADHAN selalu istimewa. Ia dinanti, walau seringkali tak maksimal dibersamai. Banyak yang bersemangat, walau tak sampai Ramadhan tamat, kembali lagi dibayang maksiat.
Istiqamah memang sulit tuk digapai, satu dari sekian amalan yang terus diusahakan tanpa henti. Walau seringkali bayangan lelah dalam amal menghantui.

Ramadhan datang silih berganti, menyapa berkali kali, tapi kerap kita abai, padahal tak semua bisa menjumpai. Ramadhan kini akan tiba kembali, kita pun berharap dapat menjumpai, memaksimalkan diri dalam ibadah sebagaimana salafus salih.

Siapa mereka? Adalah mereka yang difirmankan Allah jalla wa ‘ala,

وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَٰجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang sanggup mereka persembahkan sementara hati mereka itu merasa takut; bagaimanakah kiranya keadaan mereka ketika dikembalikan kepada Rabbnya.” (QS. al-Mu’minun : 60).

Mereka telah berusaha sedemikian rupa untuk mempersembahkan amalan terbaik, doa terbaik, dan tilawah terbaik. Tapi mereka masih hawatir, Allah murka, mereka masih takut amalannya tidak di terima, bahkan mereka gamang dengan seluruh ibadahnya adakah semua itu bisa menolong dihadapan Allah Jalla wa ‘ala.

أُو۟لَٰٓئِكَ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَهُمْ لَهَا سَٰبِقُونَ
“Mereka itulah orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan dan mereka berlomba-lomba untuk meraihnya.” (QS. al-Mu’minun : 61).

Mereka -salafus shalih- itu tidak ingin sedikitpun menyia-nyiakan waktu di bulan Ramadhan walau sekejap, kecuali mereka senantiasa berusaha mempersembahkan amal shaleh di dalamnya.

Itulah mengapa seringkali kita dibuat terhenyak membaca kisah spiritual mereka. Bagaimana mereka menghabiskan waktu dengan ibadah namun hati mereka menangis karena takut ibadah mereka tak diterima oleh Allah.

Ibadah yang sangat luar biasa itu masih menghawatirkan mereka, lalu bagaimana dengan kita yang tak se-luar biasa mereka?

Seringkali kita dibuat kagum, mengapa mereka sedemikian itu dalam hal ibadah, tilawah dan amal shaleh. Keasyikan mereka dalam tilawah Qur’an bukan lagi karena mengejar bata-bata pahala sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah, baginya satu kebaikan. Satu kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh. Aku tidak mengatakan ‘alif laam miim’ itu satu huruf, akan tetapi, Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi no. 2915).

Tidak, tapi tilawah mereka berisi semacam keasyikan berbincang pada Allah lewat ayat-ayatNya. itulah mengapa ada di antara mereka yang khatam Qur-an hingga 60 kali, bahkan ada yang khatam setiap hari.

Sungguh sangat wajar jika kemudian Allah mengatakan,

أُو۟لَٰٓئِكَ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ
“Mereka itulah orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan.”

Bagaimana tidak Mu’alla bin Al-Fadhl, salah satu ulama tabiu’ tabiin bahkan berkata; “Dulu para Sahabat, selama enam bulan sebelum datang Ramadhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka selama bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264).

Sungguh Ramadhan terlalu istimewa untuk diabaikan, setiap detiknya mengandung kebaikan, itulah mengapa ia senantiasa dinantikan, betapa banyaknya pahala yang Allah janjikan, pada malam beribu-ribu bulan.

Alfun begitu Allah isyaratkan, disebutkan dengan angka tertinggi dalam Al-Qur’an, ulama pun tak mengartikan dengan seribu bulan tapi beribu-ribu bulan. Alfun adalah isyarat tanpa batas, agar kita mengetuk pintunya tanpa henti sembari menggumamkan munajat cinta;

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
“Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku”.

Betapa merugi sesiapa yang berjumpa Ramadhan, namun dosa tak terampunkan, kemaksiatan masih terus dikerjakan, kata keji masih juga dilontarkan bahkan menyakiti sesama masih menjadi kebiasaan.

Benarlah apa yang Nabi sabdakan;

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir)

Sungguh kita tidak ingin menjadi bagian, yang tak mendapat pahala kebaikan, di saat paling menentukan. Saat amalan diperhadapkan, lalu terhapus ia bagai debu yang beterbangan.

Maka dengarkanlah petuah Jabir bin ‘Abdillah saat ia berkata:

“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)

Ramadhan semakin dekat, memaksa kita untuk senantiasa bersiap. Karena sungguh salah satu petaka dan bencana kata Imam Abu Bakr Az Zur’i adalah;

اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ

“Kewajiban telah tiba, tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya.”

Bagaimana kita bisa tidak siap dengan keagungan yang mulia ini, keagungan yang Allah letakkan hanya pada Ramadhan tidak pada selainnya. Bagaimana mungkin tidak ada kegembiraan menyambutnya sedang Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan,

ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺑﻔﺘﺢ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺠﻨﺎﻥ ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻤﺬﻧﺐ ﺑﻐﻠﻖ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﻨﻴﺮﺍﻥ ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺑﻮﻗﺖ ﻳﻐﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﻳﺸﺒﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺯﻣﺎﻥ
“Bagaimana tidak gembira? seorang mukmin diberi kabar gembira dengan terbukanya pintu-pintu surga. Tertutupnya pintu-pintu neraka. Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak bergembira jika diberi kabar tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu menyamai waktu ini (Ramadhan).”

Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan;

شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع

“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi, dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”

Jika kita tidak pernah menanam, lalu apa kiranya yang coba kita petik? Jika tidak ada kebaikan yang pernah kita semai lalu apa yang coba kita harapkan tumbuh?

Dan akhirnya kita pantas untuk berdoa;

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264). (sumber: hidayatullah)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>