Dajjal: Antara Sosok dan Simbol

DALAM Islam, persoalan dajjal selalu menjadi trending topik sepanjang zaman. Ulama ahlus sunnah wal jamaa’ah meyakini bahwa dajjal itu bukanlah simbol, sifat laku dan kiasan belaka (majaaziy) sebagaimana pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum yang mengedepankan takwil lainnya.

Namun dajjal sosok makhluk yang sebenarnya ada (haqiiqiy) dengan segenap tanda-tandanya yang sangat jelas. Sekalipun dalam kenyataannya apa yang terjadi akhir-akhir ini hampir mendekati pada sifat-sifat tercela yang terjadi dalam hadits-hadits akhir zaman.

Sekedar menyebut contoh, munculnya buku: ‘Umru Ummatil Islaam wa Qurbu Zhuhuuril Mahdi ‘Alaihis Salaam (1996), Al-Qaulul Mubiin fil Asyraathis Shughraa Liyaumid Diin Istiqshaa-an wa Bayaanan Liwuquuihaa (1997) dan Raddus Sihaam ‘an Kitaabi ‘Umri Ummatil Islaam wa Qarbu Zhuhuuril Mahdi ‘Alaihis Salaam. Ketiganya merupakan karya Syaikh Amin Muhammad Jamaluddin dari Islamic Research Academy Universitas Al-Azhar yang ditanda tangani Syaikh Mamduh Mahir sebagai Dirut Bagian Penelitian, Penulisan dan Terjemah.

Kemunculan buku ini cukup menggemparkan, baik yang pro atau pun yang kontra. Selain itu, para ulama ushuluddiin kalangan Salaf, melarang adanya takwil yang terlampau jauh dalam perkara-perkara yang masih ghaib dan larangan merincikan apa yang tidak dirincikan Rasulullaah ﷺ. Di antara ulama kontemporer yang menguatkan pandangan tersebut adalah Syaikh Dr. Sulaiman Al-Asyqar (Kuwait) dan Syaikh Dr. Shalih Fauzan (Saudi Arabia).

Dajjal dalam Isyarat Al-Qur’an dan Hadits Nabi

Tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an, yang menyebutkan secara langsung kata dajjal. Akan tetapi, secara umum beberapa ayat menyebutkan; bahwa kata ba’dhu aayaati Rabbika dalam QS. Al-An’aam/ 6 :158 menunjukkan adanya tanda “akhir zaman”, berimannya ahlul kitab akan kemunculan Nabiyullaah ‘Isa ‘alaihis salaam sebelum wafatnya dalam QS. An-Nisaa [4]: 159, atau QS. Az-Zukhruf [43]: 61 yang menyebutkan bahwa ‘Isa adalah pengetahuan hari kiamat. Demikian pula dengan QS. Ghafir [40]: 57 yang menyebutkan bahwa kebanyakan manusia tidak mengetahui akan penciptaan-Nya yang lebih besar. Semua itu menunjukkan, bahwa dajjal pun diisyaratkan dalam Al-Qur’an.

Adapun data-data tekstual yang dapat dibaca pada sunnah Nabi terkait dajjal haqiqiy, di antaranya adalah:

Dajjal adalah manusia yang buta mata kanannya (a’war) sebagaimana dikabarkan Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya (serupa dengan seseorang yang bernama ‘Abdul ‘Uzza bin Qathn bin ‘Amrin al-Khuza’iy). Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anh.

Kejahatannya merupakan kejahatan tingkat tinggi yang paling berat, hingga para Nabiyullaah sejak Adam ‘alaihis salaam sampai Nabi akhir zaman mewaspadakannya. Demikian menurut HR. Bukhari-Muslim dari shahabat Anas bin Malik dan HR. Muslim dari ‘Imran bin Husain radhiyallaahu ‘anhum.

Tanda fisiknya terdiri dari: berambut sangat keriting dan gimbal (qathathun, ja’dun), matanya tidak bercahaya (thaafiyah), tidak tinggi (qashiir), tampak sombong (afhaj) dan antara dua matanya bertuliskan kaf fa ra. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an dan HR. Abu Dawud dari shahabat ‘Ubadah bin Shamith radhiyallaahu ‘anhum.

Senang demonstrasi “kesaktian” dengan sihir-sihir sesatnya; membawakan sungai air dan sungai api, menghidupkan tumbuhan bumi, menghidupkan orang mati, membuat paceklik bagi yang menolaknya. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah, HR. Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an dan HR. Ibnu Majah dari shahabat Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhum.

Dajjal akan keluar dari celah antara Syam dan Iraq, tepatnya bumi bagian Timur bernama Khurasan dan diikuti oleh 70.000 Yahudi Ishfahan (keduanya ada di negeri Iran), para wanita dan anak-anak bodoh. Demikian menurut HR. Muslim dan Ahmad dari shahabat Anas, HR. Ahmad dari Ibnu Umar, HR. Ahmad dari shahabat Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhum.

Baca: Sinyal Dajjal di Era Digital

Dajjal hidup di muka bumi dengan masa 40 hari; yang hari pertama serasa satu tahun, hari kedua serasa satu bulan, hari ketiga serasa sepekan dan berikutnya sama seperti hari-hari biasa, hingga akhirnya Nabiyullaah ‘Isa ‘alaihis salaam (yang turun dekat menara putih Damaskus) dan membunuh dajjal di suatu tempat bernama Baab Ludd. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an radhiyallaahu ‘anhum.

Dajjal terus melakukan kerusakkan, hingga tidak ada satu kota pun yang tidak dimasukinya kecuali kota Makkah dan Madinah yang dijaga setiap celahnya oleh barisan malaikat. Selain itu, Madinah diguncang gempa sebanyak 3x hingga dikeluarkannya orang-orang kufur dan munafiq. Demikian menurut HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anh).

Sebagaimana dinukilkan Imam An-Nawawi (Damascus, 631-676 H.), bahwa Qadhi ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh (Maghribi, 476-544 H.) menuturkan: “Hadits-hadits tentang dajjal merupakan hujjah ahlus sunnah tentang keshahihan adanya, ia merupakan sosok tertentu yang dengannya Allah menguji para hambaNya. Allah membekalinya dengan beragam kemampuan; menghidupkan mayat yang telah dibunuhnya, ia seolah-olah dapat menciptakan segala kemewahan dunia, sungai-sungai, surga dan neraka. Tunduknya segala kekayaan bumi, menurunkan hujan, menumbuhkan tumbuhan. Semua itu atas kehendak Allah, kemudian ia dilemahkan sehingga tidak mampu untuk membunuh seorang pun juga. Namun, tidak ada yang bisa membunuh dajjal dan menghentikannya, melainkan Nabiyullaah ‘Isa bin Maryam. Pemahaman ini mendapat penentangan dari kalangan Khawarij, Jahmiyyah dan sebahagian Mu’tazilah.” (Lihat: Syarah Shahih Muslim 18/ 58).

Para ulama klasik telah menunjukkan dalil-dalil itu secara panjang lebar beserta syarahnya, di antaranya Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir dalam kitabnya Nihaayatul Fitan wal Malaahim sebagai pembahasan akhir dari kitab besarnya Al-Bidaayah wan Nihaayah. Seperti dinukilkan Sulaiman bin Muhammad Al-Luhaimid dalam risalahnya Tahdziirul Ajyaal min Fitnatil Masiihid Dajjaal (tanpa tahun), bahwa sebelum kemunculan dajjal ada peristiwa-peristiwa yang melintas sebelumnya; penaklukkan Konstantinopel, terjadinya tahun-tahun penuh tipu daya dan dunia dilanda kekeringan yang sangat dahsyat.

Dajjal; Sosok atau Simbol?

Pemaknaan terhadap sikap laku yang jahat atau perilaku moral yang semena-mena (kedustaan, kepongahan, ketidak adilan, intimidatif, peradaban yang buruk dan lain-lain) tidak bisa dilepaskan dari perilaku dajjal yang sesungguhnya, karena itulah Rasulullaah ﷺ mengisyaratkan dalam sebuah haditsnya:

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ، يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُمْ

“Akan ada pada akhir zaman dajjal-dajjal pembohong yang membawa kepada kalian perkataan-perkataan yang tidak pernah kalian dengar, tidak pula ayah-ayah kalian. Maka hati-hatilah kalian dan awasilah mereka, jangan sampai mereka menyesatkan kalian dan jangan sampai kalian terfitnah.” (Lihat: Muqaddimah Shahiih Muslim, no. 16 dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh).

Maka sangatlah wajar, sekaliber Ibnu Manzhur (pemilik kitab Lisaanul ‘Arab) mengatakan:

كُلُّ كَذَّاب فَهُوَ دَجَّال، وَجَمْعُهُ دَجَّالون، وَقِيلَ: سُمِّي بِذَلِكَ لأَنه يَسْتُرُ الْحَقَّ بِكَذِبِهِ.

“Setiap pendusta maka dia adalah dajjal, dan jamaknya adalah dajjaaluun (dajjal-dajjal). Dikatakan dengan penamaan demikian, karena dia menutupi kebenaran dengan kedustaannya.” (Lihat: Ibnu Manzhur 11/ 237).

Dalam definisi yang lebih lengkap disebutkan:

سمي الدجال دجالا لأنه يغطي الحق بالباطل، أو لأنه يغطي على الناس كفره بكذبه وتمويهه وتلبيسه عليهم. وسمي الدجال مسيحا، لأن إحدى عينيه ممسوحة، أو لأنه يمسح الأرض أربعين يوما

“Dinamakan dajjal itu dengan dajjal, karena kebatilan menutupi kebenaran, atau kekufurannya mengelabui orang banyak dengan kedustaan dan kepiawaian tipuannya. Dikatakan dajjal itu masih, karena salah satu matanya mamsuh (terusap, tertutup). Atau dikarenakan dajjal tersebut mengusap melewati bumi selama 40 hari.” (Lihat: ‘Audh bin ‘Ali bin ‘Abdillah, Mukhtashar Asyraatis Syaa’ah; As-Shughraa wal Kubraa, 1420: hlm. 36).

Ada banyak kasus dan peristiwa yang muncul di depan mata, baik berskala dunia atau pun lokal, bernuansa politik atau pun ideologi; mulai dari semakin pongahnya peradaban Barat, Eropa dan lain-lain dengan penuhanan materialisme (maaddiyah) yang dianutnya (memandang segala sesuatu dengan sebelah mata), sekularisme (ilmaaniyyah), atheisme (ilhaadiyyah), zionisme (shuhyuuniyyah), serta munculnya sekte-sekte yang dengan berterus terang memuja Iblis (Lucifer), kemunculan Nabi-nabi bayangan dan Imam Mahdi palsu di belahan Benua India, Afrika dan Negara-negara berperadaban Persia dengan sisa-sisa zoroaster-nya (mazdaqiyyah, majusiyyah). Mulai dari Mirza Ghulam Ahmad, Bahauddin al-Baab, hingga Sathya Sai Baba. Tidak terkecuali di Negara-negara Asia dan Asia Tenggara. (Lihat: Abu Fatiah al-Adnani, Dajjal Sudah Muncul dari Khurasan: 2006, Yusuf Burhanuddin, Kemunculan Dajjal Palsu: 2007 dan Hartono A. Jaiz, Nabi-nabi Palsu & Penyesat Ummat: 2008).

Semua itu menunjukkan, betapa fenomena kemunculan fitnah dajjal dengan beragam kerusakkan dan kemungkaran yang terjadi merupakan keniscayaan yang dialami ummat manusia zaman ini. Sebahagian kalangan menyebutnya dengan fitnatus shugraa. Adapun kemunculan dajjal (dalam makna sosok), mereka menyebutnya dengan fitnatul kubraa.

Baca: Arti Kemakmuran di Sistem Dajjal

Penutup

Terlepas dari pemaknaan haqiiqiy atau pun majaaziy, berbeda dengan kalangan yang disebut-sebut menganut faham rasionalisme (‘aqlaaniyyah) semisal Syaikh Muhammad ‘Abduh (Al-Manaar [3] 317) yang diikuti pengikutnya Abu ‘Ubayyah bahwa dajjal itu “simbol kejahatan”, bukan Bani Adam. Ulama lain abad ini (Syaikh Nashir ‘Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi) lebih condong bahwa dajjal membawa dua fitnah besar; fitnah sebagai sosok dan fitnah sebagai sistem atau simbol.

Sebagai kalimat akhir, dengan menelaah paparan sederhana ini, dengan segala keterbatasan ilmu, al-faqir berpandangan bahwa hakikat dajjal itu tidak sekedar bermakna simbol, melainkan bermakna sosok dan simbol sekaligus. Sekalipun demikian, dalam memaknai simbol tidak dibenarkan melakukan takwil-takwil yang tidak dikuatkan dalil syara’ yang bisa melahirkan sikap berlebihan (ghuluw), bahkan penyimpangan dalam beragama (inhiraafaat fid diin).

Dalam tugasnya sebagai Nabi akhir zaman, Rasulullaah ﷺ memberi ketauladanan kepada umatnya agar senantiasa memohon keselamatan dari fitnah dajjal ini (di antaranya membaca awal Surat Al-Kahfi dan do’a khusus terhindar dari fitnah dajjal). Lebih dari itu, banyak mengambil pelajaran dan merenungkan taujiih nabawiy agar diselamatkan dari berbagai fitnah yang semakin dahsyat ini dengan cara-cara berikut: mengokohkan ‘akidah, meminimalisir perpecahan, persengketaan dan mendorong umat akan pentingnya persatuan, mementingkan untuk tafaqquh fid diin, mengikatkan diri pada Al-Qur’an dan mengajak untuk melakukan hal yang sama, menjauhi sumber fitnah, shabar dan tetap istiqamah ketika terjadi fitnah, berlindung dari fitnah dan tawakkal pada Allah ‘azza wa jalla, serta selalu bertanya kepada ahli ilmu dalam menghadapi berbagai kesulitan. (sumber: hidayatullah/Teten Romly Qomaruddien)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>