Pernah Benci Islam hingga Pukul Seorang Muslim, Mualaf Eduardo Akhirnya Bersyahadat

Serangan 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat (AS), memunculkan stigma negatif kepada Islam. Berbagai pemberitaan menyebut para pelaku 9/11 berasal dari jaringan Alqaidah, organisasi ekstremis yang kerap mengatasnamakan agama.

Alhasil, sebagian masyarakat, khususnya di dunia Barat, memandang orang Muslim dengan penuh curiga. Dalam situasi demikian, Eduardo Alves Dos Anjos mulai peka terhadap Islam. Awalnya, ia seperti kebanyakan orang Amerika pascaperistiwa 9/11. Perspektifnya masih diwarnai Islamofobia yang pekat.

“Saya mengetahui tentang Islam untuk pertama kalinya pada 9/11. Jelas ketika itu saya ikut-ikutan mengasosiasikan agama ini dengan terorisme,” kata mualaf tersebut saat diwa wan carai Radio Canada International (RCI), dikutip Republika.co.id beberapa waktu lalu.

Eduardo Alves lahir di Brasil. Saat berusia dua tahun, ia dibawa ibundanya berpindah ke Kanada. Dirinya tumbuh besar di Montreal, kota terbesar kedua di seluruh negara tersebut.

Selepas momen 9/11, Islam pun dipandangnya sebagai ajaran yang asing di Kanada. Terlebih, ia menaruh syak wasangka bahwa Muslim amat sulit berbaur dengan orang-orang Barat. Mereka seakan-akan bangga dengan ciri pembeda, semisal dari penampilan hijab kaum perempuan.

Eduardo masih duduk di bangku SMA ketika itu. Pada suatu hari, ia tanpa sengaja melihat seorang siswi yang berbusana Muslimah di sekolahnya.

Tanpa basa-basi, remaja itu langsung mendekati dan melontarkan berbagai pertanyaan yang bernada sinis kepada perempuan tersebut. Baginya, ajaran Islam tentang menutup aurat sangat tidak masuk akal.

“Setiap melihat wanita berjilbab, yang langsung muncul di benak saya adalah pertanyaan. Mengapa memakai itu? Di negeri tempat saya berasal (Brasil), umumnya perempuan mengenakan busana yang lebih terbuka, lebih kasual,” ujarnya.

Dengan getir, Eduardo mengaku bahwa dirinya ketika itu sangat rasialis. Kebencian membuncah dalam dadanya begitu melihat orang Islam. Karena sikapnya itu, ia cenderung dijauhi kebanyakan murid yang berpandangan pluralis. Lingkaran pertemanannya diisi anak-anak muda yang kerap membuat onar di sekolah.

“Sebelum menjadi Muslim, keseharian saya tidak jauh dari dunia malam, menenggak minuman keras, pacaran, dan sebagainya. Walaupun tidak sampai terjerumus narkoba, saya ketika itu biasa berkelahi. Pernah saya meninju teman sekelas hanya karena dia Muslim,” katanya.

Perangai Eduardo ketika remaja sesungguhnya bertolak belakang dengan sifat kedua orang tuanya. Ayahnya merupakan seorang tokoh lokal yang dihormati komunitasnya, baik ketika masih tinggal di Brasil maupun sesudah menetap di Montreal. Ibunya sehari-hari mengurus rumah tangga dan terkenal sangat ramah terhadap para tetangga.

Beberapa tahun sesudah hijrah ke Kanada, keduanya bercerai. Sejak itu, Eduardo tinggal di Montreal bersama dengan ayahnya. Ibundanya memilih pulang ke Brasil. Kepergian sang ibu sempat membuat hatinya terpukul. Sebab, secara emosional ia merasa lebih dekat dengan perempuan yang telah melahirkannya ke dunia.

Situasi broken home agaknya mengubah sedikit kebiasaannya. Eduardo menjadi suka menyendiri. Ia pun mengurangi intensitas bersenang-senang bersama kawannya setiap malam akhir pekan. Anak muda ini kembali pada hobi lamanya sejak masa anak-anak, yakni membaca buku.

Eduardo saat itu mulai menggemari bacaan filsafat. Dari renungan-renungan para filsuf, ia belajar mengenai tujuan hidup. Beberapa pemikir condong pada pemahaman bahwa eksistensi manusia di dunia ini bukan untuk apa pun. Namun, remaja ini tidak tertarik pada ajakan nihilis.

Ia meyakini, kehidupan bukanlah tanpa arah. Bagaimana mungkin alam semesta yang penuh keteraturan tidak didesain oleh Tuhan? Keberadaan Tuhan pun mestinya berimplikasi pada adanya tujuan kehidupan. Dirinya tertegun, menyadari bahwa mencari Tuhan adalah sebuah upaya yang manusiawi.

Kawan dekat

Satu tahun menjelang lulus SMA, Eduardo berkenalan dengan seorang kawan baru, Oussama. Nama itu agak mirip dengan sosok gembong al-Qaida yang dipandang sebagai dalang 9/11. Yang cukup mengejutkannya, ternyata sifat teman sekelasnya itu sangat jauh dari stereotipe Muslim yang kaku.

Oussama sangat ramah dan supel dalam bergaul. Pemuda berdarah Arab itu sangat menyukai berbagai macam olahraga. Sering kali Eduardo dan dirinya bermain bola basket bersama, bahkan berada dalam satu tim. “Saya sangat terkesan dengan pembawaannya yang supel. Kami pun berteman dekat. Tidak jarang, saya bertamu ke rumahnya dan diterima dengan hangat oleh keluarganya,” ujar Eduardo.

Lama-kelamaan, sinisme terhadap Islam menghilang dalam hati dan pikirannya. Sosok Oussama dan keluarganya mengikis setiap prasangka yang dahulu diyakininya mengenai Muslimin.

Mereka bahkan tidak menyadari, keramahan yang ditunjukkannya secara autentik berdampak hebat bagi diri Eduardo.

“Inilah momen pertama kalinya saya tersentuh oleh ajaran Islam. Ketika itu, saya dan Oussama baru saja selesai berolahraga. Saat beristi rahat, saya banyak minum karena sangat kehausan. Anehnya, saya lihat Oussama tidak minum sama sekali, padahal kelelahan seperti saya,” katanya menceritakan.

Karena heran, Eduardo pun bertanya kepadanya. Rupanya Oussama tidak membawa minuman karena saat itu sedang berpuasa Ramadhan. Penasaran dengan jawaban tersebut, kawan Muslimnya itu pun diminta menerangkan perihal shaum dan bulan suci dalam ajaran Islam. Penjelasannya membuat Eduardo kian tertarik.

“Saya ingat, dia bilang, ‘Tidak semua orang bisa melakukannya (berpuasa).’ Wah, apa kau sedang memberikanku tantangan? Keesokan harinya, saya mencoba ikut puasa,” ujarnya.

Walaupun tidak berhasil menahan lapar dan dahaga selama seharian, Eduardo tetap tertarik pada amalan-amalan lainnya dari agama Islam. Oussama pun memberitahukan perihal beberapa ibadah, semisal shalat, wudhu, dan membaca Alquran. Pada malam harinya, ia pun ikut dengan teman Muslimnya itu ke sebuah mushala.

Tempat ibadah itu lebih menyerupai sebuah aula berukuran sedang yang lantainya dilapisi sajadah. Di ujung ruangan, terdapat mimbar kecil dan beberapa rak buku berukuran sedang.

Awalnya, Eduardo merasa takut dan ragu. Apakah orang-orang di sana akan mengusirnya karena dirinya adalah non-Muslim? Namun, prasangka itu tidak menjadi kenyataan. Malahan, banyak jamaah menyalaminya dengan senyum ramah sesudah sholat Tarawih usai.

Ketika mushala mulai agak lengang, Oussama kemudian memperkenalkan temannya itu kepada imam setempat. Darinya, Eduardo mendapatkan banyak pelajaran tentang intisari ajaran agama ini, termasuk rukun iman dan rukun Islam.

Ada salah satu penjelasan ustaz tersebut yang begitu mengena di hatinya, yakni ihwal tujuan kehidupan. Dai itu mengatakan, Alquran sejak ratusan tahun lalu telah memberikan petunjuk. Bahwa Tuhan menciptakan manusia di dunia agar mereka menyembah kepada-Nya. Dengan perkataan lain, hidup adalah untuk ibadah.  

Pernyataan itu membuat Eduardo lega, padahal dirinya belum menjadi Muslim. Saat pamit, ia dan kawannya diberi beberapa buku oleh imam mushala tersebut. Keduanya lalu menghaturkan terima kasih. Beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu.

Bulan suci Ramadhan pun telah usai. Namun, Eduardo masih saja mengingat dengan jelas uraian tentang Islam yang disampaikan mubaligh mushala tersebut.

Hatinya masih dirundung keraguan. Bukan sangsi terhadap ajaran Islam, melainkan kemantapan dirinya sendiri. Apakah ia pantas menjadi pengikut agama ini? Bukankah sebelumnya ia sangat rajin mencerca orang-orang Muslim, bahkan menuding mereka sebagai pendukung terorisme?

Eduardo pun kembali meminta bantuan Oussama untuk menemaninya ke mushala. Waktu yang mereka pilih adalah Maghrib, ketika banyak jamaah mendirikan sholat wajib di sana.

Dari sudut ruangan shalat, Eduardo menyaksikan betapa majemuknya para pemeluk agama ini. Di antara mereka yang sedang bersujud itu bukan hanya orang-orang keturunan Arab, melainkan juga banyak kelompok etnis lainnya, semisal Tionghoa dan India. Bahkan, ia mengamati beberapa orang kulit putih turut beribadah di mushala ini.

“Saya merasa bahagia melihatnya,” kata dia. “Sholat Maghrib tuntas dikerjakan jamaah. Kemudian, Eduardo mendekati imam untuk menyampaikan maksud kedatangannya: mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalimat itu dalam bahasa Arab yang berarti, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya.’ Itulah persaksian yang diucapkan bila seseorang hendak berislam,” ujarnya.

Dengan dibimbing dai tersebut, Eduardo pun resmi menjadi seorang Muslim. Saat itu, dirinya merasa seperti terlahir kembali. Ia bersyukur kepada Allah karena hatinya telah dibukakan pada hidayah Illahi.

Tidak lama kemudian, Eduardo mengungkapkan peristiwa penting dalam hidupnya itu kepada sang ayah di rumah. Bapaknya tidak begitu mempersoalkan keputusannya.
Lelaki Brasil itu memiliki prinsip bahwa setiap orang berhak mengikuti kata hati untuk mencapai kebahagiaan. Terlebih, putranya itu dipandang sudah cukup dewasa untuk melangkah sendiri.

Kepada tim RCI, ayah Eduardo membenarkan bahwa anaknya itu semakin santun dan disiplin sejak menjadi pemeluk Islam. Ia menjadi pribadi yang rajin dan tenang serta cinta kedamaian. Saya sangat bangga dengannya, ujar lelaki paruh baya itu. (sumber: ROL)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>