Eric Scrody, Penyanyi Rap Amerika yang Memeluk Islam

Eric Schrody memutuskan berislam saat dirinya berada di puncak karier sebagai musisi. Perkenalan penyanyi rap (raper) asal Amerika Serikat ini dengan Islam bermula saat menjalin hubungan dengan sang kekasih, Divine Styler. Anggota grup musik Everlast itu tidak pernah menyangka sebelumnya, perempuan itu ternyata cukup lama mendalami agama tauhid.

Eric Scrhody masih ingat betul, peristiwa itu terjadi pada 1980-an. Begitu sang kekasih memeluk Islam, ia masih menanggapinya secara santai dan wajar. Bahkan Schrody sempat menemani pujaan hatinya itu untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.

Setelah menyatakan berislam, Divine Styler memilih tinggal dengan keluarga sang guru, yaitu Abdullah Bashir. Schrody menganggap angin lalu ucapan syahadat yang diikrarkan oleh sang kekasih.

Seiring berjalannya waktu, Schrody seakan terus bersentuhan dengan agama yang berpusat pada ajaran Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW itu. Kali ini, Schrody mendengarkan dengan saksama arti dan makna kalimat syahadat, sebagaimana yang diutarakan seorang sahabatnya.

“Saya mendengar arti dari kalimat syahadat, lalu saya bertanya, ‘Apa ini? Saya orang kulit putih, dapatkah saya berada di sini? Apakah Anda tahu di sini Amerika, Islam seperti hanya untuk orang-orang kulit hitam?'” katanya mengenang.

Namun, celotehannya itu berujung pada jawaban yang justru menambahnya kian yakin. Pada faktanya, tak sedikit warga yang berkulit putih telah memeluk Islam di dunia ini.

Rasa penasaran di benak Schrody terhadap Islam semakin menguat. Terlebih begitu mendengar rekaman seorang tokoh Muslim Amerika, Warith Deen Muhammad, yang juga putra pendiri gerakan Nation of Islam, Elijah Muhammad. Seketika, Schrody merasa kepalanya seperti dibom saat mendengar bahwa tuhan yang diyakininya selama ini ternyata adalah manusia.

Rekaman pidato Warith jelas menegaskan bahwa tuhan yang ia yakini selama ini, tak ubahnya seperti dirinya, manusia biasa. Sementara, hati kecilnya meyakini bahwa Tuhan adalah Zat yang menciptakan segala. Tuhan tidak mungkin serupa dengan ciptaan-Nya.

Seketika itu juga Schrody berikrar syahadat. Menurut dia, dengan mengucapkan ikrar tersebut, dia telah menerima kebenaran. Sejak menjadi mualaf, demikian keterangan gurunya, dosa-dosa sebelumnya yang dilakukan seseorang telah termaafkan dan orang itu pun telah terselamatkan.

“Allah pun seperti membiarkan saya. Satu ketika, saya berada di satu titik merasa tidak puas secara spiritual, padahal telah memiliki segalanya: uang, mobil seharga 100 ribu dolar, serta penggemar yang dengan mudah didapatkan. Namun, untuk apa ini semua?” kata dia.

Schrody mulai berpikir, dengan segala yang dimilikinya, dia tetap tidak merasa bahagia. Setelah melakukan intropeksi diri, ternyata pria kelahiran New York tersebut menyadari, ia masih menjalani hidup dengan tidak benar.

Waktu itu, Schrody secara resmi sudah berislam karena telah bersyahadat. Namun, kehampaan terus menggelayuti hatinya.

Akhirnya, ia berbicara dengan seorang imam bernama Abdullah. Dengan kesadaran sendiri, Schrody pun kembali mengucapkan syahadat dan berniat melakukan yang terbaik dalam beribadah.

Ia meneguhkan komitmen untuk berubah. Berhenti menyiksa diri sendiri, yakni menenggak minuman beralkohol. Setop menggunjingkan keburukan orang lain.

Sejak saat itu, ia berani mengakui, ketika ada yang bertanya padanya, bahwa dirinya adalah seorang Muslim. “Saya Muslim, tetapi saya masih penuh dengan dosa dan saya mencoba pelan-pelan menjauhi dosa tersebut,” ujar Schrody.

Nihil tekanan

Keputusannya menjadi Muslim bukan datang dari tekanan siapa pun. Menurut Shcrody, Islam memang agama yang benar. Allah SWT adalah Tuhan alam semesta. Islam mengatur hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya. Begitu pula antara seseorang dengan sesama manusia dan lingkungan.

Bahkan, saat shalat di masjid, Scrody merasa sangat kerasan, seperti di rumah sendiri. Jamaah selalu menyapanya dengan hangat. Padahal, tutur dia, masjid bukanlah miliknya seorang. Pada kenyataannya, masjid menjadi milik semua Muslim, bahkan ketika dirinya berada di luar Amerika.

Satu pengalaman yang tak terlupakannya, ketika untuk pertama kalinya menyambangi masjid di New York. Bangunan itu cukup besar dan banyak orang yang datang ke sana.

Meski terkadang muncul perasaan tidak enak, karena sering menjadi satu-satunya jamaah yang berkulit putih, baginya tak masalah. Semua orang baik-baik kepadanya. Awalnya, sempat terpikir akan mengalami perlakuan yang berbeda. Kenyataannya, ia dianggap saudara atau sahabat dekat oleh jamaah seluruhnya.

Ia diajak temannya untuk shalat Jumat pertama kali di Brooklyn, New York. Semula, Schrody merasa gugup ketika berada di sana. “Ternyata, saya merasa senang. Orang-orang ramah dan tidak sedikit pun menganggap saya berbeda di masjid,” ujarnya.

Respons keluarga terhadap keputusan Schrody memeluk Islam sungguh di luar dugaan. Meski dibesarkan di lingkungan Katolik, tetapi ibunya ternyata berpikiran sangat terbuka. Sang ibu menyambut bahagia karena anaknya kembali beriman kepada Tuhan.

Sang ibu, pernah melihatnya sedang shalat. Wanita itu justru berkata, sangat bersyukur akan keadaan ini. Malahan, ibunya kemudian mendekati teman anaknya tersebut, yang telah memperkenalkan Islam kepada Schrody. Kepadanya, ia berterima kasih.

Berbeda saat masa anak-anak, mereka berdua terkenal sebagai bocah yang liar. Pergi pesta, bertengkar, dan melakukan apa pun sesuka mereka dengan sikap kasarnya. Ternyata, Islam mengubah watak Schrody menjadi sosok yang lebih tenang. (sumber: ROL)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>