Irena Handono, Temukan Islam Saat Jalani Pendidikan Biarawati

Irena Handono adalah seorang mualaf Indonesia yang terkenal. Dia aktif mendukung mualaf dan menyebarkan pesan Islam. Irena adalah pendiri Irena Center, sebuah sekolah Islam untuk para mualaf. Irena sendiri memeluk Islam pada 1983.

Kisahnya hingga memeluk Islam begitu inspiratif karena Irena dibesarkan dalam keluarga yang religius di Indonesia. Dia juga dibesarkan dalam keluarga terpandang dan kaya, serta tidak kurang dalam menerima pendidikan yang baik.

Bagi Irena dan keluarganya di zamannya, menjadi non-Muslim berarti mereka berbeda dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Mereka kaya, berpendidikan, dan memakai sepatu yang bagus di masa tahun 1990-an dimana kondisi masyarakat umumnya kala itu belum menerima pendidikan merata. Sementara itu, sebaliknya, Muslim tidak sebagus dalam pandangan mereka.

“Muslim, begitu kami percaya, miskin, tidak berpendidikan dan selalu memiliki sandal jepit mereka dicuri di depan masjid. Hanya lama-lama kemudian selama studi saya untuk menjadi seorang biarawati, saya mempertanyakan pandangan yang sangat dangkal ini,” tulis Irena, seperti dikutip dari About Islam.

Dalam benak Irena saat itu, ia hanya ingin mempersembahkan hidupnya untuk Tuhan. Sejak usia dini, ia telah menerima arahan agama. Saat remaja, ia aktif berpartisipasi dalam beberapa kegiatan di rumah ibadah lokal mereka. Ia ingat selalu memiliki cita-cita menjadi seorang biarawati.

Dalam agamanya terdahulu, meninggalkan kehidupan duniawi untuk tinggal di biara adalah hal yang paling mulia dilakukan. Irena mengaku ingin mendedikasikan hidupnya hanya untuk Tuhan. Setelah menyelesaikan sekolah menengah, ia mengikuti panggilan Tuhan dan memutuskan mendaftar di seminari.

Keputusannya menjadi seorang biarawati membuat orang tuanya terkejut. Irena adalah anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Karena itu mereka berharap bisa membuat Irena tetap dekat dengan mereka. Namun ketika melihat tekadnya, orang tua Irena mendukung keinginannya.

Irena tidak menemui kesulitan ketika mengawali kiprahnya dengan magang. Ia bahkan dipilih untuk pelatihan khusus di luar biara. Di sana, ia belajar tentang perbandingan agama di institut teologi filosofis. Kala itu, ia memilih fokus pada Islamologi.

“Itulah pertama kalinya saya belajar tentang Islam selain fakta saya lahir di negara Muslim terpadat di dunia,” ujarnya.

Di situlah ia menemukan prasangka yang sama tentang Muslim yang juga ada di komunitasnya, seperti miskin, tidak berpendidikan, tidak beradab. Karena baru berusia 20 tahun, ia tidak bisa menerima itu. Irena lantas mencoba menelitinya sendiri.

Ketika belajar tentang negara lain, sebagian besar negara mayoritas non-Muslim, ia menemukan negara lain memiliki masalah yang sama dengan kemiskinan dan pendidikan seperti di Indonesia. Saat itu yang ia temukan serupa adalah India, China, Filipina, Italia, dan banyak negara di Amerika Selatan.

Irena kemudian menemui dosennya dan mempresentasikan fakta-faktanya. Ia meminta izin belajar tentang Islam dan dosennya pun memberinya izin. Akan tetapi, tujuannya mempelajari Islam itu harus menemukan kekurangan, kesalahan, dan kelemahan Islam.

Mulailah Irena dengan misinya, ia mengambil Alquran dan niatnya menemukan semua yang bisa ia gunakan untuk melawan Islam. Irena membuka Alquran dengan terjemahan dan mulai membaca. Ia baru mengetahui Alquran seharusnya dibaca dari kanan ke kiri.

Saat itu yang mulai ia baca adalah surat Al Ikhlas. Di dalam surat itu dijelaskan tentang Keesaan Allah, Allah sebagai tempat perlindungan kekal, Allah tidak melahirkan atau dilahirkan, dan tidak ada yang setara dengan Allah.

“Saya kagum dengan surat ini. Hati saya setuju bahwa Tuhan itu Esa. Bahwa Tuhan tidak memiliki anak dan bahwa Dia tidak diciptakan dan tidak ada yang seperti Dia,” gumam Irena.

Setelah pertama kali membaca surat Al Ikhlas, ia pergi menuju pendetanya untuk bertanya tentang realitas Tuhan. Ia mengatakan kepadanya bahwa ia belum begitu memahaminya. Yang menjadi pertanyaan Irena, ‘Bagaimana mungkin Tuhan menjadi satu dan tiga pada saat yang bersamaan?’

Sang pendeta lantas mengatakan kepadanya Tuhan memang satu, tetapi memiliki tiga manifestasi atau kepribadian. Kala itu, Irena hanya mendengar penjelasannya. Namun pada malam hari, sesuatu mendorongnya untuk membaca surat Al Ikhlas kembali.

Keesokan harinya ia kembali menemui dosennya. Ia mengatakan kepadanya ia mengalami kesulitan memahami trinitas.

Sang dosen lantas menggambar segitiga di papan tulis dan menulis AB=BC=CA. Dia menjelaskan bahwa segitiga itu satu tetapi memiliki tiga sisi. Hal yang sama berlaku untuk Tuhan dan konsep trinitas.

Irena kemudian mempertanyakan jika suatu saat Tuhan mungkin berbentuk persegi empat dengan empat sisi. Namun, sang dosen berpendapat hal itu tidak mungkin. Irena yang bersikukuh bertanya mengapa, tidak bisa dijawab oleh sang dosen. Dosen tersebut kemudian mengatakan ia hanya harus menerima dogma trinitas tersebut meskipun ia tidak memahaminya.

“Terima saja. Cobalah untuk mencernanya. Jika Anda mempertanyakannya, Anda berdosa,” kata dosennya kala itu. Irena tetap tidak bisa mencernanya. Di malam hari, ia kembali membuka Alquran dan membaca surat Al Ikhlas. Hatinya semakin tertuju pada redaksi surat yang menyatakan Tuhan itu Esa, Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak ada yang seperti Dia.

Melalui penelitiannya sendiri, Irena mengetahui seluruh gagasan tentang trinitas adalah buatan manusia. Pada tahun 325 setelah Kristus selama konsensus Nizea, Keesaan Tuhan terbelah menjadi tiga. Fakta ini meninggalkan perpecahan menyakitkan yang mendalam dalam identitas agamanya kala itu. Keyakinan Irena menjadi tak sama seperti sebelumnya.

Butuh enam tahun lagi hingga ia menemukan keberanian untuk menjadi Muslim dan secara terbuka menyatakan keimanan barunya. Ketika ia ingin mengucapkan syahadat, ulama bertanya kepadanya apakah ia siap menanggung konsekuensinya. Sebab ulama itu mengatakan menjadi mualaf itu mudah. Akan tetapi, hidup dengan konsekuensi dari keimanan Islam itu bisa menjadi tantangan seumur hidup.

“Jadi saya siap. Saya harus menyelamatkan diri saya sendiri. Dan saya harus menyelamatkan jiwa saya. Saya tidak bisa kembali hidup hanya dengan menerima dogma-dogma palsu,” ungkap Irena.

Dengan langkahnya memeluk Islam, Irena kehilangan keluarganya dan kehilangan kekayaannya. Kala itu, Irena merasa sendirian. Mesti tidak mudah, ia tetap yakin Tuhan selalu bersamanya.

“Dia adalah tempat perlindungan saya. Satu-satunya tempat perlindunganku,” ujarnya.

Sebagai seorang Muslim baru, ia memahami tanggung jawabnya. Irena lantas mulai menjalankan sholat lima waktu. Ia juga mulai berpuasa di bulan Ramadhan dan menutupi kepalanya dengan jilbab.

Seperti sebelumnya, Irena berkeyakinan hidupnya ia dedikasikan untuk Tuhan, bukan untuk apa yang disebutnya doktrin dan dogma yang keliru. “Saya meninggalkan biara tetapi saya menemukan sebagai wanita Muslim yang shalih, seluruh hidup saya didedikasikan untuk Tuhan. Saya tidak harus meninggalkan kehidupan duniawi ini untuk dekat dengan Tuhan. Semua yang saya lakukan adalah untuk Tuhan. Hidupku untuk Tuhan. Alhamdulillah,” katanya. (sumber: ROL)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>