Segera Tinggalkan Mall, Mari Kembali ke Masjid!

Menjelang akhir Ramadhan, umat Islam umumnya berbondong-bondong menuju pusat perbelanjaan (mall). Bahkan, jauh-jauh hari, rencana belanja itu sudah ditetapkan sedemikian rupa, sehingga suasana belanja pun terasa sangat antusias dan meriah.

Seolah tidak ada waktu belanja lagi, mall-mall tampak penuh sesak. Pengunjung dan pembeli pun harus rela berjalan dengan suasana yang sangat sumpek dan berdesak-desakan. Tetapi, semua itu tidak mengurangi semangat berbelanja. Ditambah dengan iming-iming diskon dan lain sebagainya, mall pun menjadi tempat favorit mengisi akhir-akhir Ramadhan.

Sementara itu, kian menuju akhir Ramadhan, masjid yang semestinya dimakmurkan dengan i’tikaf dan berbagai kegiatan ibadah lainnya, justru semakin lengang, sepi. Semangat awal Ramadhan seolah lenyap tanpa jejak.

Inilah yang ironis. Justru di 10 malam terakhir di banyak para malaikan Allah turun dari langit mendoakan hamba-hambanya yang sujud, yang menangis dengan linangan air matanya, yang keningnya merapat ke lantai dan tangan-tangan mereka menengada ke langit guna meminta ampunan, justru  waktu paling mulia ini banyak ditinggalkan karena banyak hati-hati manusia masih tertambat di mall.

Padahal Rasulullah Muhammad berkali-kali meminta kita menghindari pasar dan mall.  “Negeri yang paling dicintai Alalh adalah masjid-masjidnya.” (HR. Muslim).

Banyak kaum Muslim sering lalai dan tak memiliki management waktu. Seharusnya belanja dilakukan sebelum masuknya hari-hari istimewa di penghujung Ramadhan, justru di saat hari-hari penuh berkah mereka sibuk menghadiri mall-mall dan meninggalkan tempat-tempat yang paling disukai Allah dan para malaikatnya, yakni masjid.

Dalam al-Qur’an Allah berfirman

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS: An Nuur [24]: 37).

Kemuliaan Hanya ada di Masjid

Suasana tersebut tentu berbanding terbalik dengan masa umat Islam di zaman Rasulullah. Di masa itu, umat Islam sangat antusias memakmurkan masjid, lebih-lebih di sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Dorongan keyakinan akan janji Allah begitu kuat, sehingga para sahabat tidak pernah meninggalkan masjid, kecuali memang jika ada udzur syar’i. Umat Islam kala itu benar-benar ingin meraih keutamaan-keutamaan yang Allah berikan hanya apabila umat Islam memakmurkan masjid.

Sebuah hadits memberikan penjelasan tentang keutamaan berangkat ke masjid. “Ada tiga (kelompok) manusia yang berada di dalam jaminan Allah Ta’ala; (pertama) orang yang berangkat ke salah satu masjid Allah; (kedua) orang yang keluar berperang di jalan Allah; dan (ketiga) orang yang berangkat menunaikan ibadah haji.” (HR. Imam Abu Nu’aim).

Selain itu, Allah akan memberikan ampunan kepada orang yang shalat berjama’ah di masjid. “Barangsiapa berwudhu untuk shalat, lalu ia menyempurnakan wudhunya, kemudian berangkat melaksanakan shalat wajib, lalu ia mengerjakannya bersama orang-orang atau jama’ah atau di masjid, niscaya Allah akan mengampuni baginya dosa-dosanya.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i).

Tidak saja itu, Allah bahkan akan memberikan balasan jannah. “Barangsiapa berangkat ke masjid dan pulang (darinya), niscaya Allah akan menyediakan baginya tempat tinggal di jannah (surge) setiap kali pergi dan kembali (darinya).” (HR. Baihaqi).

Dengan demikian, dapat dipahami dengan jelas, mengapa Rasulullah dan sahabat serta umat Islam kala itu, sangat ‘lengket’ dengan masjid. Bahkan, karena begitu lengketnya, tidak ada seorang sahabat pun yang absen dalam shalat jama’ah, kecuali Rasulullah bisa mengetahui ketidakhadirannya.

Termasuk jika ada sahabat yang tidak bisa mengikuti dzikir usai shalat, Rasulullah pun bisa mengetahui. Itulah kasus yang pernah dialami oleh Tsa’labah, sahabat Nabi yang karena tidak memiliki baju kecuali di badan yang dipakai secara bergantian dengan istrinya, sehingga setiap usai shalat Tsa’labah harus segera pulang, karena istrinya di rumah sedang menanti pakaian yang dikenakannya untuk mendirikan shalat.

Sungguh luar biasa tradisi umat Islam memakmurkan masjid di zaman Nabi. Jadi, seorang Muslim tidak semestinya meninggalkan masjid apalagi jika tanpa alasan syar’i. Karena hanya masjid-lah satu-satunya tempat yang Allah limpahkan keberkahan dan kemuliaan.

Oleh karena itu, siapapun, sejauh masih bisa melangkah ke masjid, maka wajib hukumnya shalat di masjid. Pernah suatu ketika, ada seorang sahabat buta bertanya kepada Nabi apakah dirinya diperbolehkan shalat di rumah karena kondisinya yang buta. Nabi menjawab, selama mendengar suara adzan berkumandang, maka wajib hukumnya datang ke masjid untuk shalat berjama’ah.

Apalagi, bagi kaum Muslimin yang rumahnya dekat dengan masjid, jelas tidak ada tawaran lagi, kecuali harus shalat di masjid. Rasulullah bersabda, “Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, selain (shalat) di dalam masjid (HR. Addarqathani).

Bukti Keimanan

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah [9]: 18).

Ayat tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa, hanya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, artinya orang yang benar-benar beriman secara haq yang tergerak hatinya untuk memakmurkan masjid-masjid Allah. Dengan kata lain, memakmurkan masjid adalah bukti keimanan seorang Muslim.

Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Apabila kamu melihat orang yang terbiasa masuk masjid maka saksikanlah bahwa dia beriman karena sesungguhnya Allah telah berfirman dalam surat Al-Taubah ayat 18: ““Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Nah, masihkah kita masih ingin berlama-lama dan bersibuk-sibuk di mall-mall yang sesungguhnya tempat paling kurang disukai Rasulullah? (sumber: hidayatullah.com/Imam Nawawi/1/8/2013)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>